oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Dalam upaya mewujudkan kehidupan beragama yang inklusif di Indonesia, Yayasan Inklusif memulai inisiatif penyusunan Protokol Pengelolaan Keberagaman Inklusif. Inisiatif ini adalah bagian dari kerja-kerja konsorsium INKLUSI, sebuah program kemitraan beranggotakan 8 lembaga, termasuk Yayasan Inklusif, untuk memperkuat kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan serta daya tahan masyarakat dalam beberapa sektor: media massa, pemerintah daerah, pendidikan, kepemimpinan perempuan, dan media sosial. Sebagai salah satu tahapan dari proses penyusunan protokol tersebut, Yayasan Inklusif menggelar focus group discussion (FGD) di Hotel Santika Depok pada Kamis (29/12/2022) dengan tajuk “Strategi Membangun Kehidupan Beragama yang Inklusif.” Bertujuan untuk merumuskan dan memperkaya kerangka konseptual dari protokol, kegiatan ini mengundang berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan masukan.
Diskusi ini pertama-tama dibuka oleh M. Subhi Azhari, Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif. Dalam sambutannya, Subhi menyoroti upaya untuk membangun kehidupan beragama yang inklusif. Menanggapi situasi heterogen yang muncul dalam kehidupan masyarakat Indonesia, Subhi mengajak serta peserta memikirkan bagaimana upaya yang perlu dikerjakan untuk mengelola keberagaman secara inklusif dan terbuka.
Selanjutnya, diskusi diteruskan dengan paparan narasumber dan dipandu oleh Gamal Ferdy selaku moderator. Hadir sebagai narasumber pertama, Dr. H. Wawan Junaedi, M.A., selaku Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI. Dalam paparannya, Wawan menyampaikan data-data terkait isu kerukunan dan upaya kontra narasi terhadap diskriminasi dan intoleransi di Indonesia.
“Kami mencatat isu-isu kerukunan, hal-hal baik yang dilakukan civil society dan aparatur negara, dalam upaya counter narasi yang sifatnya diskriminatif dan intoleran. Kegiatan negatif sekitar 200 lebih. Sepanjang 2022 ada 6 klaster,” ujarnya.
Enam klaster permasalahan yang diidentifikasi Wawan mencakup kekerasan dan persekusi, manipulasi agama, intoleransi dan diskriminasi, penyimpangan regulasi, berita bohong dan ujaran kebencian, serta beragama secara ekstrem. Ia menyoroti isu-isu seperti kekerasan seksual yang melibatkan oknum pemuka agama, penolakan pendirian rumah ibadah, serta intervensi forum internal agama ke ranah publik.
Narasumber berikutnya, Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, mengangkat isu kekerasan berbasis gender dalam ranah agama. Salah satu yang dipaparkannya mengenai munculnya kekerasan dan diskriminasi berbasis gender akibat kontribusi dan keberagaman regulasi seperti undang-undang dan kebijakan negara yang didasarkan pada pembenaran agama. Ia mencontohkan asumsi di masyarakat bahwa perempuan tidak bisa mengajukan perceraian dan adanya pasal-pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang menempatkan perempuan hanya di ranah domestik.
Aminah juga menyoroti kekerasan yang dialami perempuan minoritas agama, seperti penghinaan dan pelecehan yang dialami perempuan Ahmadiyah. Menurutnya, akibat yang diterima perempuan pada kasus kekerasan semacam ini lebih besar dibanding laki-laki. Oleh sebab itu, Aminah sangat mengapresiasi upaya-upaya untuk melakukan tafsir agama yang memihak perempuan.
“Bersyukur sekarang kita ada KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), yang berupaya melakukan tafsir agama yang memihak perempuan,” sambungnya.

Setelah para narasumber menyampaikan paparannya, FGD dilanjutkan dengan diskusi bersama peserta yang hadir. Dalam sesi ini, peserta memberikan masukan dari berbagai sudut pandang.
Mangaranap Sinaga, perwakilan dari PGI-S Depok, menekankan pentingnya mengawasi peran pemerintah dalam konflik keberagaman. Ia mengungkapkan pengalamannya di mana pihak kelurahan berperan dalam mengumpulkan tanda tangan palsu untuk mencabut izin gereja. Menurutnya, kehidupan yang inklusif tidak bisa tercapai ketika pemerintahnya provokatif.
Sementara itu, Cutra Sari sebagai penyuluh agama menyoroti diskriminasi terhadap perempuan dalam regulasi seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI). “UU Perkawinan tahun 1974 dan Pasal 79 ayat 1 KHI berbunyi ‘suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.’ Perempuan hanya di ruang domestik. Saya titip pada Mbak Ami bahwa, itu perlu revisi regulasi,” usulnya kepada Aminah.
Hanifah Haris dari Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menekankan pentingnya penguatan aktor di tingkat akar rumput dan keterlibatan pemuda. Selain itu, Hanifah juga menyoroti pentingnya memperbanyak dialog di antara kaum muda. Menurutnya, intervensi nilai pada kaum muda lebih mudah dibanding kepada orang tua.
Turut hadir sebagai peserta, Abdul Hafiz, perwakilan dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok. Ia menyampaikan pengalamannya menghadapi penyegelan masjid Ahmadiyah. “Contoh, penyegelan masjid Ahmadiyah kembali Oktober 2021. Satpol PP menyegel termasuk tanah kosong milik Ahmadiyah buat parkir. Pertahun padahal bayar pajak jutaan rupiah,” ungkapnya. Menurutnya, dialog dan silaturahmi menjadi kunci dalam mengelola keberagaman.
Di sisi lain, Abdul Charis yang menjabat sebagai pengurus Masjid Al Muhajirin Sukmajaya menyampaikan pandangannya tentang protokol. “Saya kurang begitu suka protokol dan SOP. Karena negara menciptakan sesuatu menjadi prosedural,” ujarnya. Meski demikian, ia mendukung upaya menjadikan masjid sebagai garda terdepan dalam membangun toleransi melalui komunikasi antar-rumah ibadah.
Sementara itu, Siti Kholisoh dari Wahid Foundation menyoroti isu kekerasan dalam rumah tangga dan perkawinan anak yang kerap terjadi. Oleh karenanya, ia mengusulkan agar protokol ini juga mencakup pencegahan kekerasan dan eksploitasi, khususnya pada perempuan dan anak. Diskusi ini menjadi kesempatan penting untuk menghimpun masukan dan kritik bagi perumusan Protokol Pengelolaan Beragama yang Inklusif. Harapannya, usul dan saran yang disampaikan narasumber dan peserta FGD dapat menghasilkan kerangka konseptual Protokol Kehidupan Beragama yang Inklusif dan menjunjung keadilan bagi semua pihak, termasuk kelompok-kelompok rentan.