Upaya PW Fatayat NU Jawa Timur dalam Membangun Masyarakat Inklusif lewat Sekolah Inklusi Perempuan

Loading

oleh     : Ryan Richard Rihi
editor   : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Dalam upaya menyemaikan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas berbasis gender, inklusi sosial, serta disabilitas, PW Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur menginisiasi Sekolah Inklusif Perempuan. Kegiatan ini merupakan bagian dari program INKLUSI yang didukung oleh Konsorsium INKLUSI.

Sebagai salah satu langkah awal dari inisiatif ini, PW Fatayat NU Jawa Timur menggelar Asesmen Modul Sekolah Inklusi Perempuan secara daring pada Jumat, 26 Mei 2023.

Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari institusi pemerintahan setempat, organisasi masyarakat, dan anggota konsorsium INKLUSI, seperti INFID, SETARA Institute, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), Savy Amira, Perkumpulan Pappirus, Pattiro Gresik, Komisi Penyiaran Indonesia Jawa Timur, Dinas DP3AK Provinsi Jawa Timur, Pengurus Wilayah Fatayat NU Jawa Timur, Yayasan Inklusif, dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Trenggalek.

Dalam sambutannya, Dewi Winarti, Ketua PW Fatayat NU Jawa Timur, mengemukakan alasan mengapa asesmen serta program ini dilaksanakan.

“Karena memang keresahan yang ada di Jawa Timur, dengan melihat kasus intoleransi yang melibatkan perempuan dalam gerakan radikalisme-terorisme, yang tadinya hanya menjadi supporting system saat ini telah bergerak cukup aktif,” ungkap Dewi.

Menurutnya, Sekolah Inklusi Perempuan ini menjadi wadah bagi Fatayat NU untuk membangun pluralisme serta menjadi wadah inklusivitas, perwujudan Islam rahmatan lil alamin. Ia juga berharap agar inisiatif ini ikut memperkuat identitas perempuan serta mampu mendorong nilai-nilai kesetaraan gender dalam membangun masyarakat yang inklusif.

Dalam asesmen ini, hadir dua narasumber, yaitu Dr. Lilik Hurriyah, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Listia Suprobo, S.Ag., M.Hum, pegiat pendidikan di Perkumpulan Interreligius (Pappirus). Keduanya memberikan pemaparan terkait konsep dan teknis penyusunan modul Sekolah Inklusi Perempuan.

Dalam paparannya, Listia Suprobo menekankan pentingnya Sekolah Inklusi Perempuan untuk mempelajari keragaman, baik dari sisi gender, agama, suku, usia, maupun disabilitas.

“Sekolah Inklusi Perempuan perlu berorientasi pada nilai. Jadi, subjek itu adalah pelaku di sana harus adil sejak dalam pikiran. Maka, bila berorientasi pada nilai, kita bisa melakukan autokritik,” tegas Listia.

Untuk itu, Listia menyarankan tiga materi yang perlu menjadi bagian dari modul, di antaranya: sejarah pemikiran agama; sejarah politik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta perempuan di Indonesia; serta keadilan hakiki bagi perempuan.

Sementara itu, Dr. Lilik Hurriyah memaparkan usulan teknis mengenai penyusunan modul, di mana modul harus bersifat self-instructional, self-content, stand-alone, adaptif, dan user-friendly.

Ia menekankan bahwa mengingat modul umumnya memuat aktivitas atau tugas untuk dikerjakan oleh peserta, maka isi modul harus dituliskan dengan rinci. “Yang tidak kalah penting ialah langkah-langkah. Karena modul itu bersifat mandiri maka langkah-langkah itu harus rigid,” tegas Dr. Lilik.

Dalam sesi tanya jawab, berbagai masukan dan pengalaman pun disampaikan oleh peserta. Sisi dari SETARA Institute membagikan pengalaman lembaganya dalam menerapkan metode problem-based learning dan ice breaking dalam pelatihan inclusive good governance. Ia menyarankan untuk mengundang tokoh atau orang yang mengalami diskriminasi secara langsung agar peserta dapat lebih memahami situasi tersebut.

“Misal, mengundang tokoh-tokoh atau orang-orang yang telah mengalami secara langsung terkait dengan diskriminasi atau peristiwa bagaimana mereka dieksklusikan. Ini dalam rangka memantik peserta supaya lebih mendalami dan ikut larut pada pengalaman,” usul Sisi.

Mutofifah dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jatim juga membagikan pengalamannya dalam menyusun modul serupa. Menurutnya, penting untuk memasukan materi terkait tata kelola pemerintahan. Hal ini bertujuan supaya menciptakan aktor-aktor baru, terutama perempuan, dalam pembangunan. Salah satu contohnya adalah keterlibatan perempuan dalam musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbangdes).

Siti Mazdafiah dari Savy Amira juga ikut menanggapi dengan menekankan pentingnya menerapkan prinsip adult education dalam pelatihan untuk orang dewasa. Ia juga melihat perlunya melibatkan partisipan sejak awal dalam menentukan apa yang dipelajari.

Diskusi ini menjadi langkah awal dalam penyusunan modul Sekolah Inklusif Perempuan yang akan digunakan sebagai panduan pembelajaran. Dengan digunakannya modul ini, diharapkan perempuan dapat menjadi aktor yang menyebarkan nilai-nilai inklusivitas di tengah masyarakat.

“Kami sangat berharap karena kegiatan ini adalah asesmen yang nantinya menjadi bagian penting dalam menyusun modul inklusif, maka kami butuh masukan dan pengalaman yang pernah sahabat alami,” ungkap Dewi Winarti, Ketua PW Fatayat NU Jawa Timur.

Kegiatan Asesmen Modul Sekolah Inklusif Perempuan ini merupakan langkah penting dalam upaya membangun masyarakat yang inklusif dan menghargai perbedaan.

Dengan melibatkan berbagai perspektif dan pengalaman, modul yang disusun diharapkan dapat menjadi panduan yang efektif dalam menumbuhkan serta membina nilai-nilai toleransi, kesetaraan gender, dan inklusi sosial di tengah masyarakat yang majemuk, terutama melalui partisipasi dan pemberdayaan perempuan.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content