Upaya Mendorong Moderasi Beragama dan Kebebasan Berkeyakinan dengan Perspektif Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial di Media Online

Loading

oleh     : Ryan Richard Rihi
editor   : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Jakarta, 22 Juni 2023 – Perkumpulan MediaLink bersama dengan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menggelar kegiatan “Editor Meeting & Kelas Jurnalisme: Pengarusutamaan Moderasi Beragama, dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang Menjunjung Prinsip Berkeadilan Gender dan Inklusif di Media Online” di Hotel Ashley, Jakarta.

Diskusi ini bertujuan untuk membumikan diskursus moderasi beragama serta kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menjunjung prinsip keberagaman, berkeadilan gender, dan inklusif di media online arus utama. Dengan demikian, diharapkan agar para editor dan pekerja media yang hadir dapat memiliki pemahaman untuk mengimplementasikan moderasi beragama melalui pemberitaan di media. Para peserta dalam kegiatan ini saling berdiskusi dan menyampaikan pendapatnya mengenai situasi media dewasa ini, khususnya jika dikaitkan dengan moderasi beragama serta gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI).

Diskusi diawali dengan paparan hasil penelitian monitoring media yang dilakukan oleh MediaLink. Penelitian ini membahas analisis pemberitaan media (media performance) pada klaster isu perempuan dan pemilu 2024; perempuan dan radikalisme; perempuan dan kelompok rentan; dan GEDSI di media berbasis online sepanjang Januari-Mei 2023.

Temuan penelitian yang diadakan MediaLink mencatat pemberitaan dengan sentimen positif terkait klaster isu terkait. Porsi pemberitaan yang diberikan untuk isu tersebut pun mengalami peningkatan setiap bulannya. Secara khusus, pemberitaan tentang perempuan, kelompok rentan, GEDSI, dan Pesantren Al-Zaytun mendapat porsi pemberitaan yang cukup banyak.

Dalam kesempatan ini, Wens Manggut selaku Ketua AMSI yang menjadi narasumber menyoroti fakta bahwa media tidak hidup dalam ruang kosong, melainkan dalam ekosistem yang mempengaruhi sikap yang diambil. Salah satu yang mempengaruhi sikap media adalah praktik bisnis.

Di sisi lain, mengenai praktik toleransi yang ada di Indonesia, Wens membagikan pengalamannya yang melihat bahwa praktik-praktik toleransi tidak mendapatkan porsi pemberitaan yang proporsional akibat media jarang didorong memberitakan hal-hal yang positif. Hal ini tidak lepas dari perhatian yang lebih banyak dialokasikan pada fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan sehingga pembaca bersikap lebih responsif.

Sementara itu, narasumber Dr. Ana Sabhana Azmy dari Universitas Islam Negeri Jakarta  menyoroti ketidakadilan gender yang merugikan perempuan dalam hal akses, partisipasi, dan kontrol dalam pengelolaan sumber daya. Pengalaman perempuan, termasuk juga pengalaman kelompok disabilitas dan kelompok marginal lainnya, menurut Ana perlu menjadi pertimbangan dalam proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah.

Khusus terkait peran media dalam kaitannya dengan gender, disabilitas, dan inklusi sosial, Ana menyoroti sejumlah tantangan seperti setting media yang profit-oriented, bahasa yang digunakan, literasi politik yang kurang, integrasi pengetahuan dalam kebijakan, serta keberpihakan terhadap kaum marginal dan disabilitas. “Jika tidak ada perspektif adil gender yang dibangun dalam penyelesaian ragam kasus terhadap perempuan, teknologi digital bisa menjadi instrumen eksploitasi terhadap perempuan,” tegas Ana.

Ana melihat bahwa dalam kerja-kerja pemerintah, masyarakat sipil, hingga media, perlu adanya perspektif yang adil gender. Menurutnya, moderasi beragama dapat hadir jika sensitif gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Untuk mencapai hal ini, media dapat menjadi kanal sosialisasi dan sumber informasi untuk literasi yang lebih baik.

Sementara itu, Daniel Awigra dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) menyoroti bagaimana hak kebebasan beragama dan berkeyakinan justru harus dibenturkan dengan kelompok mayoritas. Awigra memberi contoh proses pendirian rumah ibadah yang membutuhkan persetujuan warga sekitar yang justru mempersulit sebagian warga negara untuk mendapatkan haknya untuk beribadah.

“Hal inilah yang terjadi: bagaimana yang right-base, dikalahkan dengan suara mayoritas yang selama ini menjadi intoleran. Jadi, kelompok-kelompok rentan, ketika berbicara haknya, harus dikontestasikan dengan tetangganya, sementara tetangga-tetangganya tentu punya hak,” tegas Awigra.

Oleh sebab itu, Awigra menegaskan bahwa penting bagi negara, sebagai pemangku kebijakan (duty bearer), memastikan hak warga negaranya terpenuhi. Ia juga menambahkan perlunya media hadir untuk mengawal upaya ini, sembari memperkuat perspektif GEDSI dalam kerja-kerjanya.

MediaLink sebagai penyelenggara diskusi menyadari pentingnya media melihat isu-isu keagamaan dari kerangka gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI). Di tambah lagi bila dikaitkan dengan isu pluralisme agama serta kebebasan beragama dan berkeyakinan, media mengemban peran besar untuk mempromosikan serta memberikan penghargaan pada perempuan, disabilitas, dan kelompok minoritas dalam kerja-kerjanya.

Diskusi ini digelar untuk menjawab tantangan kurangnya pesan-pesan keberagaman oleh media akibat praktik yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip jurnalisme, pragmatisme dan ideologi media, maupun luputnya penggunaan kerangka GEDSI dalam kerja-kerja media. Kegiatan diskusi editor dan kelas jurnalisme ini diharapkan dapat membuka wawasan pegiat media untuk lebih menghadirkan perspektif GEDSI dalam peliputan isu-isu keagamaan, mengingat peran strategis media dalam mempromosikan moderasi beragama dan pluralisme di tengah masyarakat yang heterogen.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content