Upaya Membangun Ekosistem Jurnalisme Inklusif, SETARA Institute Kembali Menggelar Pelatihan Jurnalisme Inklusif untuk Organisasi Perempuan

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

SETARA Institute merupakan organisasi riset dan advokasi kebijakan yang didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat setara, plural, dan bermartabat. Dalam

rangka mewujudkan visi tersebut, SETARA Institute melakukan promosi, kajian, dan

pendidikan publik terkait dengan pluralisme, kemanusiaan, demokrasi, hak asasi manusia, dan perdamaian.

SETARA Institute menemukan adanya tren yang relatif tinggi seputar peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang lima tahun terakhir. Dalam temuan tersebut, SETARA Institute menemukan bahwa bibit-bibit intoleransi, eksklusivitas, dan ancaman terhadap perdamaian tumbuh di berbagai sektor mulai dari pendidikan, institusi pemerintahan, organisasi pergerakan, bahkan media. Tujuan media dalam mengejar page views, search engine optimization, atau Google adsense dengan membuat judul berita dan diksi yang dipilih cenderung sensasional. Akibatnya, tidak jarang media justru menjadi pemantik dalam membentuk framing terhadap eksklusivitas kelompok minoritas. Padahal, media perlu berperan optimal dalam memberikan fungsi edukasi, sosialisasi, dan literasi mengenai toleransi dan kerukunan.

Merespons kondisi tersebut, SETARA Institute menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Jurnalisme Inklusif pada 19-21 Februari 2024 di Tangerang. Pelatihan Jurnalisme Inklusif kali ini berfokus pada pelibatan kelompok perempuan pada kelompok-kelompok minoritas dari berbagai organisasi perempuan dan orang muda. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas individu dan kelompok perempuan dalam mengimplementasikan nilai-nilai inklusi dalam menghasilkan produk-produk jurnalisme. Dan memperkuat peran kelompok perempuan dalam mempromosikan Inclusive Journalism.

Organisasi perempuan yang turut serta dalam pelatihan ini yaitu Lajnah Imaillah, Fathimiyyah PP IJABI, Gemapakti, Puan Hayati Jakarta, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Niciren Syosyu Indonesia (NSI), Ikatan Pelajar Putri, Nahdatul Ulama (IPPNU) Jakarta, PP Aisyiyah, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Majelis Rohani Nasional Baha’i, Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Korps HMI Wati PB HMI, dan Ponpes Fatihatul Quran.

Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Jurnalisme Demokratik

Demokrasi yang sehat membutuhkan kebebasan pers, partisipasi publik, hukum yang berpihak, jaminan hak sipil, pemilu yang adil, tata kelola konstitusi yang baik, dan keberadaan civil society. Hubungan antara kebebasan media dan demokrasi sangat erat. Jika media bebas, hal ini menjadi elemen penting bagi demokrasi. Sebaliknya, jika demokrasi menurun, tekanan terhadap kebebasan pers meningkat.

Data menunjukkan penurunan demokrasi mempengaruhi kebebasan pers. Pada tahun 2009, ketika Jokowi baru saja memenangkan periode kedua, skor kebebasan pers Indonesia masih 62, meskipun status posisi demokrasinya setengah bebas. Lima tahun kemudian, skornya terus menurun. Penurunan kebebasan sipil ini berdampak pada kebebasan pers, sehingga membuat jurnalisme keberagaman sulit terwujud.

Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menjelaskan bahwa pada pemerintah Joko Widodo penggunaan undang-undang seperti UU ITE untuk membungkam kritik, menjadikan aktivis, jurnalis, dan kelompok minoritas sebagai target. Tidak hanya UU ITE, KUHP lama juga mengatur soal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, baik secara online maupun offline.

Selain itu, terdapat pengawasan digital oleh Kominfo dan polisi yang memata-matai postingan kritis. Aktivis yang kritis, jurnalis, dan kelompok minoritas sering mengalami serangan digital seperti doxing, pelecehan, dan pemblokiran. Kekerasan juga terjadi pada aksi demonstrasi. Tujuan dari semua ini adalah menciptakan ketakutan atau chilling effect. Penelitian oleh Komnas HAM, menunjukkan mayoritas warganet takut mengkritik di media sosial karena ancaman-ancaman tersebut.

Pada saat sesi diskusi, Masnia Ahmad perwakilan peserta dari Korps HMI Wati PB HMI menyoroti fenomena tentang banyaknya orang di Indonesia lebih sering mengakses platform seperti TikTok daripada mempercayai akademisi yang ahli di bidangnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan formal semakin tidak diminati. Banyak yang merasa cukup mendapatkan edukasi dari konten yang viral, meskipun sering kali tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar. Akibatnya, kepercayaan kepada media menurun dan bernalar kritis di masyarakat semakin tumpul.

Untuk mewujudkan keberagaman konten, perlu adanya dukungan dan keterlibatan bermakna dari suara-suara kelompok minoritas. Keberagaman kepemilikan media juga penting. Saat ini, media utama Indonesia dimiliki oleh segelintir elit, yang hanya melayani kepentingan mereka sendiri. Disrupsi digital juga mempengaruhi kebebasan pers, dengan banyak orang lebih mempercayai media sosial daripada media berita. Meskipun populer, media sosial rentan terhadap hoax dan ujaran kebencian.

Mengenal Lebih Dekat Jurnalistik Inklusif

Dalam pelatihan tersebut, peserta diajak untuk mengenal lebih dekat tentang pendekatan jurnalisme inklusif. Jurnalisme inklusif adalah sebuah konsep yang mengedepankan keberagaman suara dalam media. Suatu praktik yang bertujuan untuk memberikan tempat bagi mereka yang suaranya sering kali terpinggirkan.

Penerapan jurnalisme inklusif tidaklah mudah. Masih banyak hambatan yang harus dihadapi, baik potensial maupun faktual. Salah satu hambatan terbesar adalah intervensi dari pemegang saham media yang sering kali lebih mementingkan keuntungan daripada keberagaman suara. Selain itu, masih banyak masyarakat bahkan redaksi media yang belum memahami pentingnya isu kesetaraan dan keberagaman.

Nabhan Aiqani, peneliti dari SETARA Institute menegaskan bahwa satu kata yang penting untuk diingat tentang jurnalisme inklusif adalah “giving voice to the voiceless” yaitu memberikan suara kepada mereka yang tidak memiliki suara atau suaranya dibungkam. Ada empat prinsip utama yang harus dipegang dalam jurnalisme inklusif; (1) Keberagaman: Mengakomodasi berbagai perbedaan dan kesamaan tanpa terkecuali, (2) Inklusi: Mengubah perilaku dan melakukan upaya untuk menumbuhkan rasa pemberdayaan kepada mereka yang dianggap berbeda, (3) Keadilan: Tidak memihak dan adil terhadap kelompok-kelompok minoritas, (4) Rasa Kepemilikan: Memiliki dan menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang ada.

Bicara tentang inklusivitas artinya bicara tentang praktik penyiaran inklusif yang melibatkan akses untuk semua kelompok masyarakat, baik dalam menikmati konten maupun berpartisipasi dalam produksi. Misalnya, peserta menyoroti bahwa bahasa isyarat dalam siaran berita adalah salah satu bentuk inklusivitas yang sudah diimplementasikan, meskipun masih terbatas. Kesulitan masih ada bagi kelompok disabilitas untuk bekerja di industri penyiaran karena keterbatasan fasilitas.

Peran Perempuan dalam Peliputan Media yang Inklusif

Ruby Kholifah dari Asian Muslim Action Network (AMAN) menjelaskan bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan merupakan tonggak penting dalam pengakuan peran vital perempuan dalam proses perdamaian dan keamanan. Indonesia, bersama lebih dari 50 negara lainnya, telah mengadopsi resolusi ini. Meski demikian, narasi media masih lebih berfokus pada aspek kronologi konflik dan kekerasan, sementara cerita tentang peran perempuan dalam membangun perdamaian kurang mendapatkan perhatian yang layak.

Alih-alih perempuan memiliki perspektif unik dalam melihat dan menghadapi konflik. Perempuan merupakan aktor penggerak utama dalam proses perdamaian di tingkat komunitas. Pendekatan yang lebih holistik dan sensitif terhadap gender dalam peliputan media dapat memberikan pandangan yang lebih kaya dan mendalam tentang konflik dan perdamaian.

Ruby menceritakan contoh kisah dari Nyai Hj. Luluk menggunakan tafsir agama berdasarkan pengalaman perempuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih inklusif dan berbasis empati. Hal ini menekankan pada narasi bahwa perempuan mampu membangun perdamaian di tengah-tengah konflik. Demikian upaya membangun ekosistem jurnalisme inklusif perlu melibatkan banyak pihak, mulai dari jurnalis, media, masyarakat, pemerintah hingga kelompok marginal dan kelompok rentan. Dengan mempertimbangkan pengalaman dan peran dari elemen-elemen kelompok rentan, misalnya perempuan dalam penyiaran berita, hal tersebut dapat menjadi tolak ukur dalam pemberitaan yang inklusif. Pada akhirnya pelatihan jurnalisme inklusif ini telah berkontribusi untuk meningkatkan partisipasi perempuan di media.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content