written by Komunitas Tuli FeminisThemis 6 April 2024
Membicarakan politik, kita perlu terlebih dahulu memahami pengertian politik dan hak-hak politik untuk penyandang disabilitas.
Dilansir dari hukumonline.com, pengertian Politik menurut Andrew Heywood adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak terlepas dari gejala konflik dan kerjasama. Menurut Peter Merkl, politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Dari pengertian politik tersebut, dapat diartikan hak politik adalah hak yang dimiliki setiap orang yang diberikan hukum untuk meraih, merebut kekuasaan, kedudukan dan kekayaan yang berguna bagi dirinya. Dengan kata lain, pada intinya hak politik adalah hak memilih dan dipilih. Semua warga negara termasuk komunitas Tuli juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi memilih pemimpin yang akan menjalankan kebijaksanaan serta mengambil keputusan berdasarkan hasil permusyawaratan.
Tuli dan Penyandang Disabilitas, memiliki hak untuk dapat berpolitik. Hal ini sudah diatur dalam Kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Juga, diperkuat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
Pada Pasal 13 dalam UU (Undang-Undang) No 8 tahun 2016, terkait Penyandang Disabilitas juga sudah mengatur tentang hak-hak politik penyandang disabilitas, antara lain:
- memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; - memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum;
- membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik;
- membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional;
- berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;
- memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
- memperoleh pendidikan politik.
Berefleksi tentang hak-hak politik yang didapatkan oleh Tuli, mungkin kita mencoba mengulas kembali pasal 13 poin G: “memperoleh aksesibilitas” dan poin H: “memperoleh pendidikan politik”. Pemerolehan aksesibilitas merupakan suatu hal sangat krusial bagi komunitas Tuli dan penyandang disabilitas. Negara wajib memberikan fasilitas sesuai kebutuhan penyandang disabilitas masing-masing untuk memperoleh aksesibilitas yang ramah. Penyediaan Juru Bahasa Isyarat (JBI) dan pencatatan informasi yang berkaitan dengan politik merupakan aksesibilitas yang sering dibutuhkan oleh komunitas Tuli. Sayangnya sekian beberapa tahun sekarang aksesibilitas yang diberikan oleh Negara ternyata belum maksimal dan belum dapat memenuhi kebutuhan bagi komunitas Tuli secara menyeluruh. Walaupun begitu 10 tahun terakhir ini sudah difasilitasi Juru Bahasa Isyarat di layar TV nasional, namun masih belum memenuhi kaidah atau standar yang telah diterapkan oleh Federasi Tuli Dunia (World Federation of the Deaf) dan Asosiasi Juru Bahasa Isyarat Dunia (World Association of Sign Language Interpreters)
Tidak hanya itu saja, praktik tokenisme ini seringkali terjadi pada komunitas Tuli dalam politik. Tokenisme merupakan praktik melakukan sesuatu untuk memberikan kesan bahwa orang diperlakukan secara adil, tetapi tanpa niat dan usaha untuk membuat perubahan signifikan. Contoh praktik tokenisme yang terjadi pada komunitas Tuli adalah pihak KPU telah menyediakan Juru Bahasa Isyarat sebagai aksesibilitas bagi komunitas Tuli di layar TV, namun mereka tidak pernah mendengarkan masukan dari komunitas Tuli terkait standar dan ketentuan Juru Bahasa Isyarat di layar TV.
Kemudian, pemahaman tentang hak-hak politik dan sistem politik ini ternyata sangat minim bagi komunitas Tuli karena tidak adanya pendidikan atau edukasi dini oleh lembaga yang berwenang sehingga komunitas Tuli seringkali kesulitan memahami situasi politik dan mudah terprovokasi atau sekadar ikut-ikutan orang tanpa memahami konteks politik sebenarnya akhirnya dapat menimbulkan informasi tidak benar (hoax).
Pada tanggal 14 Februari yang lalu, pemilihan presiden dan wakil Presiden telah selesai dilaksanakan. Dalam masa-masa kampanye dan debat di antara para calon presiden dan wakil presiden tersebut, kita perlu mempertanyakan: “Apakah kampanye presiden dan wakil presiden telah aksesibel untuk Tuli?”
Dilansir dari wawancara yang dilakukan VOA Indonesia (https://www.voaindonesia.com/a/teman-tuli-buat-debat-ramah-tuli-hingga-pesan-untuk-capres/7485204.html), kami mencoba menyampaikan hasil ulasan “DEBAT CALON PRESIDEN DAN CALON WAKIL PRESIDEN” oleh Gerkatin Bidang Kepemudaan, Dafi Muchlisin dan Siti Rodiah. Bersama dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerkatin Bidang Kepemudaan, mereka membuat tayangan ulang debat Calon Presiden dan Wakil Presiden yang ramah untuk Tuli. Mereka menyampaikan keluhan terkait tayangan debat Capres dan Cawapres yang ada di televisi nasional yang masih kurang bisa diakses untuk Tuli meskipun sudah ada Juru Bahasa Isyarat (JBI). Alasannya, meskipun sudah ada JBI, posisinya masih terlalu kecil dan tidak menjurubahasakan berbagai informasi secara keseluruhan, baik dari moderator maupun jawaban dari tiap capres-cawapres.
Untuk membuat solusi atas hal tersebut, DPP Gerkatin dan Gerkatin Bidang Kepemudaan memutuskan membuat tayangan ulang yang mencantumkan JBI sebanyak 4 orang untuk menjurubahasakan 1 orang moderator dan 3 orang capres-cawapres. Tidak hanya JBI saja, mereka juga membuat sulih teks (subtitling) untuk tayangan ulang tersebut agar ada kata-kata khusus yang bisa ditangkap oleh Tuli.
Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyampaikan bahwa “Pemilu 2024 adalah pemilu inklusif, artinya pemilihan umum dirancang untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam pemilihan politik. Ini mencakup pengakuan dan perlindungan hak-hak politik semua warga negara, tanpa memandang jenis kelamin, usia, disabilitas, etnis, agama, atau latar belakang sosial ekonomi mereka, sepanjang memenuhi persyaratan. Pemilu 2024 dapat diselenggarakan secara inklusif dan ramah dengan disabilitas”. Fakta lapangan, ternyata masih ada praktik-praktik yang masih belum inklusif untuk Tuli. Seperti ketika debat capres-cawapres berlangsung secara publik.


Dari dokumentasi tersebut, apakah teman-teman dapat melihat perbedaannya? Di sini dapat menunjukkan perbedaan antara lain :
- Jumlah Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang ditampilkan dalam 1 layar
- Ketersediaan teks tertutup (closed caption)
- Ada pembagian JBI untuk tiap pembicara
- Ukuran frame JBI yang ditampilkan dalam layar
Namun, sayangnya acara debat tersebut dalam layar TV nasional ini tidak inklusif bagi komunitas Tuli, dan lebih senang menonton acara debat dalam layar versi DPP Gerkatin.
Kembali ke hak politik, sebenarnya Tuli berhak memilih siapa yang harus dia pilih. Namun, kebanyakan Tuli bingung dengan hak pilihnya karena banyaknya informasi-informasi kampanye yang kurang inklusif untuk Tuli. Meskipun mungkin setiap calon menyasar penyandang disabilitas, namun hal itu menjadi rentan. Inilah sedikit gambaran bagaimana orang dengan disabilitas seringkali menjadi objek tokenisme. Tokenisme adalah contoh saat individu menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok outgroup kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Bahkan, Hogg dan Vaughan dalam bukunya yang berjudul Social Psychology (8th edition) menyebutkan bahwa tokenisme merupakan satu dari tiga jenis diskriminasi implisit (diskriminasi yang diekspresikan secara halus dan tersembunyi).
Jadi, bagaimana dengan posisi terpenuhinya hak-hak politik Tuli? Lagi-lagi, kami belum menemukan jawaban pasti dan praktik yang tepat.
Saat ini, komunitas Tuli menantikan kepastian aksesibilitas informasi yang inklusif pada pemilihan kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024 nanti. Untuk Pilkada Gubernur Jakarta, kemungkinan besar akan ada debat publik. Namun, hingga saat ini masih belum tersedia informasi terkait debat publik untuk daerah lain.
Sesuai dengan amanat UU no 8 tahun 2016 pasal 13 poin G dan poin H, sudah seharusnya negara menyediakan aksesibilitas informasi dan pendidikan politik yang inklusif. Khususnya kepada masyarakat Tuli yang selama ini masih terpinggirkan.
Keterlibatan Tuli dalam ekosistem politik adalah hal penting yang harus dilakukan, untuk mewujudkan partisipasi politik yang inklusif dan aksesibel. Karena warga negara Indonesia, termasuk masyarakat Tuli, adalah sama di mata hukum. Pada pilkada serentak 2024 nanti, kita perlu mendorong pemerintah agar berkomitmen dalam mewujudkan ekosistem yang inklusif bagi komunitas Tuli agar tidak lagi tertinggal dalam partisipasi politik.
**
Komunitas Tuli FeminisThemis merupakan sebuah komunitas yang berfokus di isu kesehatan seksual dan reproduksi, kesetaraan gender, serta aksesibilitas media Tuli