oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Yayasan Inklusif kembali mengadakan diskusi kelompok terfokus untuk membahas dan menyempurnakan Pedoman Pengelolaan Keberagaman Inklusif bagi Pemerintah Daerah. Diskusi ini diadakan di Kota Bekasi, dengan menghadirkan perwakilan instansi pemerintah serta organisasi masyarakat sipil (OMS) setempat.
Bertempat di Hotel Santika Mega City Bekasi, diskusi yang diadakan pada Jumat, 4 Agustus 2023, FGD ini menghadirkan Dete Aliyah dan Muhammad Adhe Bakti sebagai ahli yang menanggapi substansi pedoman yang tengah dikembangkan. Selain itu, kegiatan ini dimoderatori oleh oleh Nur Laeliyatul Masruroh serta difasilitasi oleh Agus Muhammad.
Pertama, acara dibuka oleh Muhammad Subhi, Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif. Dalam sambutannya, Subhi mengapresiasi kerja-kerja tata kelola keberagaman yang makin baik di Kota Bekasi. Menurutnya, capaian ini mendasari pelaksanaan diskusi, yakni supaya menghimpun masukan berdasarkan praktik baik yang ada di Kota Bekasi.
“Untuk pengelolaan keberagaman sudah banyak pencapaian yang telah dilakukan oleh Kota Bekasi. Contohnya seperti di Kampung Sawah. Bahkan, di survei Indeks Setara, (Kota Bekasi) sudah masuk ke peringkat ketiga sebagai kota dengan indeks (toleransi) tertinggi di Indonesia. Artinya Kota Bekasi sudah diakui sebagai salah satu model pengelolaan keberagaman yang baik,” tutur Subhi. Selepas sambutan Subhi, Dahlia Madani selaku penulis pedoman menyampaikan paparannya terkait pedoman tersebut. Dahlia menjelaskan substansi dari pedoman di hadapan para peserta yang hadir. Selanjutnya, paparan Dahlia terlebih dahulu ditanggapi oleh ahli yang diundang, baru setelahnya secara kolektif ditanggapi seluruh peserta yang hadir.
Kenapa Bekasi?
Pada bulan April yang lalu, Bekasi dianugerahi penghargaan sebagai peringkat ketiga dalam Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022[1]. Laporan IKT ini adalah hasil inisiatif dan penilaian yang dilakukan oleh SETARA Institute terhadap 94 kota di Indonesia. Capaian ini, menurut Dahlia Madani, merupakan modalitas penting yang dimiliki Kota Bekasi.
Di sisi lain, dalam tanggapannya, Dete Aliyah menekankan pentingnya untuk melihat praktik baik yang terjadi di Bekasi sebagai acuan tambahan dalam penulisan pedoman. “Ada beberapa praktik baik yang membuat Kota Bekasi menjadi peringkat tiga kota toleran. Praktik baik tersebut bisa dimasukkan ke dalam pedoman ini, supaya lebih membumi,” ungkap Dete.
Ikut merespons terkait capaian Kota Bekasi ini, Agus Sunad, perwakilan Dinas Kesbangpol Kota Bekasi, menuturkan perjalanan panjang yang harus dilalui Kota Bekasi sebelum akhirnya capaiannya ini diperoleh.
Dalam penuturannya, Agus menjelaskan bahwa pada tahun 2015, Kota Bekasi berada pada peringkat kedua terbawah dalam IKT. Setelah serangkaian intervensi dilakukan, barulah secara bertahap Kota Bekasi menjadi kota yang makin toleran.
Lebih lanjut, Agus berbagi banyak praktik baik yang dilakukan di Kota Bekasi. Salah satu di antaranya adalah dengan lahirnya Peraturan Walikota Bekasi No. 57B tahun 2021. Dalam hal menangani persoalan pendirian rumah ibadah yang umumnya kompleks dan rumit, pemerintah setempat membuat inisiatif Majelis Umat Beragama berdasarkan peraturan ini.
“Maka dari kejadian (penolakan pembangunan rumah ibadah) tersebut, pemerintah juga membentuk MUB (Majelis Umat Beragama). MUB yang pengurusnya terdiri dari tokoh agama di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Sedangkan di tingkat kota adalah FKUB. Permasalahan kerukunan beragama diselesaikan dimulai tingkat paling bawah terlebih dahulu, yaitu MUB tingkat kelurahan atau kecamatan. Jika masalah tidak terselesaikan di MUB tingkat kecamatan, maka ditindaklanjuti oleh FKUB yang merupakan tingkat kota,” sambung Agus.
Abdul As-Syafi’i, perwakilan Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bekasi, ikut merespons. Beliau berbagi inisiatif Kemenag yang mendorong pendirian kampung moderasi. Melaksanakan inisiatif ini, Kemenag Kota Bekasi telah berupaya mendirikan kampung moderasi.
“Kemenag Kota Bekasi sudah mempunyai pilot proyek dengan mendirikan kampung moderasi beragama di ke Bojong Menteng, Rawalumbu. Kemudian, didirikan juga di Kecamatan Bekasi Timur. Sisa 10 Kecamatan di Kota Bekasi akan dibangun di Kota Bekasi,” tegas Abdul As-Syafi’i.
Di sisi lain, Abdul Manan, perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, juga ikut membagikan upaya FKUB untuk mengupayakan Bekasi sebagai kota yang lebih toleran. Upaya-upaya tersebut diwujudkan melalui kerja-kerja konsolidasi, sosialisasi dan edukasi, hingga advokasi.
Selain instansi pemerintahan, kerja-kerja untuk meningkatkan toleransi dan inklusivitas juga diupayakan oleh OMS yang berada di Kota Bekasi. Beberapa perwakilan OMS yang hadir ikut memberikan tanggapan serta berbagi praktik baik. Salah satu di antaranya adalah Bale Perempuan, yang dalam isu ini banyak bergerak untuk melakukan pendidikan, advokasi, serta pendampingan bagi korban kekerasan.
Berbicara khusus mengenai pengalaman perempuan, Diah, perwakilan Dinas P3A Kota Bekasi, menyebut bahwa dalam upaya pencegahan terhadap isu yang berkaitan dengan keberagaman agama, sangat penting untuk dilakukan pelibatan perempuan. Hal ini karena menurutnya karena perempuan juga rentan terpapar paham-paham yang mengarah pada radikalisme.
Dalam diskusi ini, beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi adalah dalam upaya untuk merespons isu-isu yang didiskusikan, penting sekali memastikan adanya perjumpaan, termasuk dengan kelompok-kelompok yang dicap radikal. Selain itu, pertemuan ini juga menegaskan pentingnya kerja-kerja yang dilakukan mengutamakan perspektif korban.
Terlepas dari capaian Kota Bekasi sebagai salah satu kota toleran di Indonesia, berikut semua praktik baik yang telah disampaikan dalam pertemuan ini, diskusi kelompok terfokus ini tidak menutup mata dan mengakui bahwa masih banyak praktik intoleran yang terjadi di Kota Bekasi. Hal ini tentu menjadi bagian dari fokus perbaikan ke depannya.
Walau demikian, praktik baik di Bekasi, termasuk kisah toleransi di Kampung Sawah, serta semua yang sudah disampaikan oleh peserta diskusi, menjadi catatan penting keberhasilan upaya bina toleransi dan keberagaman.
Dari diskusi ini, diketahui bahwa untuk mewujudkan kota yang toleran dan inklusif, diperlukan kerja bersama semua pihak, baik pemerintah, OMS, maupun pihak-pihak lain. Melampaui tujuan untuk menyempurnakan Pedoman Pengelolaan Keberagaman yang Inklusif bagi Pemerintah Daerah dengan belajar dari praktik baik di Bekasi, diskusi yang dilaksanakan ini diharapkan dapat menjadi landasan kerja kolaborasi berikutnya untuk menciptakan kota yang lebih toleran dan inklusif.
[1]Lih. https://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-2022/