Temuan SETARA Institute Dalam Merancang Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Kelompok Marginal di Kota Bandung dan Makassar

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat, perlu juga memperhatikan kelompok marjinal. Namun, realisasinya, kelompok-kelompok ini mengalami keterpinggiran dan diskriminasi. Hasil riset Indeks HAM 2022 yang dirilis oleh SETARA Institute menyoroti minimnya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak kelompok minoritas, khususnya dalam konteks kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Regulasi yang diskriminatif, seperti 71 produk hukum yang membatasi hak-hak Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menjadi tantangan serius. Begitu pula dengan persekusi terhadap minoritas agama yang masih menjadi masalah, terutama dalam gangguan terhadap rumah ibadah kelompok minoritas.

Dalam proses pembangunan daerah, inklusi menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Kelompok marjinal harus diberikan kesempatan yang sama dalam proses perencanaan dan evaluasi pembangunan. Namun dalam banyak kasus, kesempatan ini masih minim, mengakibatkan proses dan hasil pembangunan yang tidak mengakomodir kebutuhan kelompok marjinal.

Demokrasi menempatkan semua warga negara pada posisi yang setara, sehingga partisipasi penuh dari semua elemen masyarakat, termasuk kelompok marjinal penting untuk memastikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Partisipasi ini harus lebih dari sekadar prosedur formal, tetapi juga mencakup partisipasi bermakna yang memperhitungkan kebutuhan dan aspirasi kelompok marjinal.

Untuk merespons tantangan ini, SETARA Institute melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan inklusivitas terhadap kelompok minoritas dan marjinal. Salah satunya adalah diskusi “Merancang Agenda Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Kelompok Marjinal di Kota Bandung dan Makassar”. Diskusi ini yang dilakukan secara paralel pada 6 Maret 2024 yang bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan solusi terkait isu intoleransi di Kota Bandung dan Makassar.

Temuan di Bandung

Di Kota Bandung, Risdo Simangunsong dari Jakatarub membuka diskusi dengan menyoroti beberapa poin penting. Pertama, identifikasi masalah yang harus diatasi dalam agenda bersama dengan fokus utama pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) serta isu relevan lainnya. Kedua, rencana tindak lanjut dibahas, baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan mempertimbangkan faktor internal, eksternal, dinamika, dan regulasi. Ketiga, diskusi juga mencakup beberapa kasus mendesak, seperti pencabutan peraturan daerah yang memuat larangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Barat, perundungan terhadap pelajar pemeluk agama/kepercayaan minoritas di sekolah, dan masalah izin mendirikan tempat ibadah gereja di Jawa Barat.

Dalam konteks pencabutan perda KBB di Jawa Barat, dilakukan pemetaan terhadap aktor negara dan non-negara serta peran mereka dalam advokasi. Aktor negara yang terlibat meliputi Gubernur, Bupati, dan SKB 3 Menteri dalam proses pembubaran perda diskriminatif terkait KBB. Di sisi lain, peran aktor non-negara mencakup ormas yang dapat mempengaruhi keputusan eksekutif, serta respons dari kelompok mayoritas dan netral dalam masyarakat. Diskusi juga menyoroti peran dari konsolidasi internal kelompok korban, pembentukan tim hukum, dan profiling kepala daerah sebagai bagian dari strategi advokasi untuk mendorong perubahan kebijakan. Dengan berbagai isu yang dibahas, termasuk kasus-kasus konkret di Jawa Barat, diskusi ini menjadi langkah awal dalam merumuskan agenda pemajuan dan perlindungan hak-hak kelompok marjinal di Bandung. Hasil dari diskusi ini diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah konkret yang dapat diimplementasikan oleh berbagai pihak terkait untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil.

Berpindah ke Makassar, narasumber utama pada diskusi ini adalah Suaeb, perwakilan dari Gusdurian Sulampapua. Dengan mengangkat isu KBB yang terjadi di Sulawesi Selatan dan kelompok marjinal, yang didefinisikan sebagai individu atau kelompok yang terpinggirkan, kurang mendapat perhatian, dan rentan mengalami diskriminasi, stigma, kekerasan, dan eksploitasi.

Beberapa kasus intoleransi yang diidentifikasi termasuk penyerangan terhadap rumah ibadah minoritas, pelarangan aktivitas keagamaan, dan penyesatan terhadap kelompok agama tertentu. Penyebab dan tantangan utama yang dihadapi termasuk pola pemahaman keagamaan eksklusif, sikap mayoritanisme, politisasi identitas, dan propaganda media sosial.

Diskusi juga membahas fenomena mayoritarianisme yang menjadi pemicu intoleransi dan diskriminasi. Hal ini tercermin dalam penolakan pembangunan rumah ibadah, penyesatan, kebijakan diskriminatif, dan aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Dalam menyusun agenda perlindungan hak kelompok marjinal, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan institusi pendidikan menjadi krusial. Semua pihak perlu bekerja sama dalam membangun lingkungan yang inklusif dan menghormati hak-hak setiap individu, tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau keyakinan.

Diskusi ini menandai langkah awal dalam membentuk agenda yang berkelanjutan untuk memajukan dan melindungi hak-hak kelompok marjinal di Sulawesi Selatan. Dalam diskusi ini, muncul beberapa strategi bersama yang disepakati, yaitu, pertama penting untuk melakukan refleksi melalui penguatan kapasitas, termasuk memperkuat kapasitas aktivis advokasi KBB, memaksimalkan keterlibatan orang muda dalam merespons isu-isu KBB, dan meningkatkan literasi kebangsaan terkait intoleransi dan kearifan lokal, serta analisa stakeholder. Kedua, kepekaan perlu diasah dengan mewaspadai potensi konflik SARA, memperkuat lingkaran pengaruh, melakukan konsolidasi jejaring, pengetahuan dan keterampilan, terutama di bidang digital. Ketiga, menentukan agenda prioritas juga karena tidak semua isu bisa disikapi secara bersamaan. Akhirnya, menyikapi keberagaman memerlukan perjumpaan dan pembauran, karena berbaur memungkinkan terjadinya dialog yang lebih mendalam dan efektif.

Melalui upaya ini, diharapkan nilai-nilai inklusivitas akan terus didorong dalam pembangunan daerah. Hal ini tidak hanya untuk memperkuat legitimasi publik, tetapi juga untuk menghasilkan agenda pembangunan yang lebih akurat sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Dengan melibatkan semua elemen masyarakat dan memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan memperhatikan kebutuhan semua warga negara, tanpa terkecuali.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content