PW Fatayat NU Jawa Timur Gelar Sekolah Inklusi Perempuan untuk Pemimpin Organisasi Perempuan

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Permasalahan intoleransi antar umat beragama maupun intra umat beragama hingga maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama sering kali terjadi di Indonesia. Ditambah keterlibatan perempuan dalam tindakan terorisme selama 10 tahun terakhir telah meningkat. Data BNPT mencatat ada 18 perempuan muda terlibat dalam aksi terorisme. Di Jawa Timur, keterlibatan perempuan dengan membawa anak-anaknya terjadi pada peristiwa bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Surabaya dan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya Utara, masing-masing terjadi pada tahun 2018[1]. Kemudian penelitian SETARA Institute sepanjang 2007-2022 menyebutkan bahwa Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) berjumlah 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan.

Hal inilah yang melatarbelakangi PW Fatayat NU Jawa Timur bersama Konsorsium INKLUSI untuk menginisiasi pelatihan Sekolah Inklusi Perempuan sebagai upaya strategis dan praktis untuk mewujudkan relasi sosial yang inklusif dan meminimalisir terjadinya konflik terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkuat kebebasan beragama dan berkeyakinan serta resiliensi masyarakat. Modul pelatihan Sekolah Inklusi Perempuan telah dirancang khusus berdasarkan fakta mengenai keterlibatan perempuan dalam berbagai aksi radikalisme, ekstremisme, dan intoleransi yang signifikan.

Sekolah Inklusi perempuan yang digagas oleh PW Fatayat NU Jawa Timur sebagai satu alternatif wadah pendidikan bagi para pemimpin agama perempuan untuk saling bertemu dan belajar membangun toleransi. Sekolah Inklusi Perempuan diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada peserta terkait urgensi penerapan nilai-nilai inklusi, serta memantik untuk munculnya inisiasi-inisiasi gerakan penyebaran nilai inklusi, perdamaian dan toleransi, dan agenda untuk mempromosikan moderasi beragama.

Perspektif Islam dan Upaya Membangun Masyarakat Inklusif

Peserta Sekolah Inklusi Perempuan berasal dari berbagai organisasi keislaman yang dilatih untuk mempelajari GEDSI (Gender Equality, Disability and Social Inclusion). Siti Hanifah dari Yayasan Bhakti Budi Pertiwi ditunjuk sebagai fasilitator kegiatan untuk memfasilitasi peserta kemudian menjelaskan dasar-dasar konsep GEDSI dan ketidakadilan gender sebagai materi pembuka.

Selanjutnya Dr. Nabiela Naily, MA selaku Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya menjelaskan perspektif Islam dalam implementasinya pada GEDSI. Pentingnya GEDSI dalam Islam tercermin dalam ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya memperlakukan semua manusia dengan adil, tanpa memandang perbedaan gender, latar belakang, atau status sosial. Dalam pelatihan ini, GEDSI dijelaskan sebagai panggilan untuk membangun inklusi sosial yang mengakui nilai-nilai kemanusiaan dan memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua individu.

Konsep GEDSI juga mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak kaum minoritas, termasuk kelompok disabilitas. Dalam Islam, pemberdayaan kelompok tersebut dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab bersama untuk saling membantu dan mendukung sesama manusia. Hal ini terbukti lewat inisiatif-inisiatif seperti penyusunan mushaf disabilitas (Al-Quran Braille) dan program pembelajaran agama bagi teman tuli.

Dalam pengenalan GEDSI, terdapat metode yang digunakan yaitu Qira’ah Mubadalah dan Maqashidus Syariah. Qira’ah Mubadalah melibatkan interpretasi yang lebih dinamis dan kontekstual dengan mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan budaya. Kemudian Maqashidus Syariah yaitu, pemahaman hukum Islam yang mengacu pada tujuan atau maksud dasar dari syariah dengan menerapkan prinsip qulliyatul khams, antara lain:

  1. Hifz al-Din: Menjaga agama. Ini berarti melindungi kebebasan beragama dan kebebasan untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
  2. Hifz al-Nafs: Menjaga jiwa. Ini berarti melindungi kehidupan manusia dan mencegah segala bentuk kekerasan atau ancaman terhadap nyawa manusia.
  3. Hifz al-‘Aql: Menjaga akal. Ini melibatkan perlindungan terhadap kecerdasan, pendidikan, dan kesehatan mental dalam masyarakat.
  4. Hifz al-Nasl: Menjaga keturunan. Ini menekankan pentingnya keluarga, perkawinan, dan kesejahteraan anak-anak dalam masyarakat.
  5. Hifz al-Mal: Menjaga harta. Ini mencakup perlindungan terhadap hak-hak properti, keadilan dalam transaksi ekonomi, dan pemberantasan kecurangan atau eksploitasi.

Kemudian Tedi Kholiludin dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ELSA menjelaskan tentang konsep Rahmatan Lil Alamin untuk membangun masyarakat inklusi yang mana pada dasarnya praktik implementasi rahmatan lil alamin disebut sebagai building knowledge societies (membangun pengetahuan kemasyarakatan).

Tedi menegaskan bahwa “Sering kali kita melakukan keimanan itu tanpa empati. Ada yang melakukan tindakan sosial dengan rasa takabur atau riya. Bila kita berempati pada masyarakat Palestina tentu itu kemanusiaannya. Empati kita karena kemanusiaannya. Selain kita bertindak benar sesuai dengan yang kita imani lalu melakukan amal shaleh. Empati itu posisi kita dalam posisi mereka, satu step lebih tinggi dari simpati. Kita harus mentransformasikan diri dari nilai yang telah diajarkan oleh Pesantren atau kelompok kita. Inilah Islam rahmatan lil alamin. Berpikir benar, bertindak benar, dan berempati. Open mind, yaitu kita harus berpikir terbuka. Syarat inklusif yaitu open mind, open heart, harus open will.”

Dalam Sekolah Inklusi Perempuan, peserta juga mempelajari teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) yaitu, pendekatan yang mengajak masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pengembangan sebuah kegiatan[2]. Dengan menekankan prinsip “no one left behind” yang mana semua unsur yang ada di masyarakat harus dilibatkan. Teknik PRA digunakan untuk membantu peserta menjadi fasilitator dalam melakukan pendampingan komunitas di daerahnya masing-masing. Harapannya teknik PRA ini dapat dijadikan metode untuk pengorganiasian masyarakat dalam rencana tindak lanjut yang sudah dibuat untuk diimplementasikan dengan menggunakan teknik fasilitasi asset based community development (ABCD) dalam upaya meminimalisir terjadinya konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan.


[1] BNPT. (2022). Peran Perempuan dalam Terorisme Meningkat 10 Tahun Terakhir. Diakses 6 Mei 2024. https://www.bnpt.go.id/kepala-bnpt-peran-perempuan-dalam-terorisme-meningkat-10-tahun-terakhir

[2] Radity, Dendy. (2022). Participatory Rural Appraisal. Diakses 5 Mei 2024. https://chub.fisipol.ugm.ac.id

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content