PW Fatayat NU Jabar Gelar Diseminasi Mediasi untuk Pengelolaan Konflik Keagamaan

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

PW Fatayat NU Jawa Barat mengadakan serial diskusi bertajuk “Pemetaan Konflik Keagamaan di Jawa Barat dan Diseminasi Pengetahuan Mediasi” pada 14 November 2023 di Kota Bandung. Melalui pemetaan konflik lokal, peserta  diajak untuk merefleksikan kembali tentang resolusi konflik yang dilakukan berdasarkan pengalaman yang telah terjadi. Selanjutnya, dalam diseminasi konflik, peserta diajak untuk berdiskusi tentang pendekatan yang sesuai untuk menghadapi dinamika konflik agama yang kompleks dengan mengimplementasikan keterampilan mediasi. Harapannya, strategi yang dihasilkan dari diskusi ini dapat memberikan respons yang efektif dan humanis terhadap konflik keagamaan di Jawa Barat, serta mencegah eskalasi konflik di masa yang akan datang.

Yeni Ernita Kusuma Wardani dari Himpunan Wanita Hindu Dharma Jawa Barat, memberikan sebuah ilustrasi sederhana untuk memperkenalkan keterampilan mediasi. Dalam skenario ini, Yeni menghadirkan tantangan yang tampaknya sepele tetapi sarat makna lewat ilustrasi “Bagaimana membagi sebuah jeruk kepada tiga anak yang semuanya menginginkannya?” Tantangan ini bukan hanya soal pembagian buah secara fisik, tetapi juga menggali nilai-nilai keadilan dan penyelesaian konflik.

Yeni kemudian menjelaskan bahwa skenario jeruk ini adalah refleksi dari konflik yang dihadapi dalam mediasi. Ia menggambarkan tiga pendekatan utama dalam penyelesaian sengketa: kekuatan, hak, dan kepentingan. Pendekatan kekuatan cenderung menghasilkan hasil menang-kalah atau kalah-kalah, yang sering kali merusak hubungan dan menyebabkan dendam. Pendekatan hak berfokus pada aturan dan cenderung memperkeras posisi masing-masing pihak, yang juga dapat mengakibatkan salah satu pihak terpojok.

Sebaliknya, pendekatan kepentingan menekankan pada hasil menang-menang, di mana keputusan diambil bersama berdasarkan kebutuhan masing-masing pihak. Ini menjaga hubungan tetap harmonis dan menghindari balas dendam. Namun, pendekatan ini memerlukan waktu dan usaha untuk menggali kebutuhan mendalam dari setiap pihak yang terlibat.

Pendekatan Mediasi untuk Mengelola Konflik di Keagamaan

Peserta kemudian diajak berdiskusi tentang pengelolaan konflik dengan pendekatan mediasi yang dipandu oleh narasumber yaitu, Siti Badriah. Siti menjelaskan tentang mediasi adalah proses di mana pihak ketiga yang netral membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai kesepakatan bersama. Tidak seperti arbitrase di mana keputusan diambil oleh pihak ketiga (arbitrator atau hakim), dalam mediasi, kedua belah pihak yang berselisih tetap memiliki kendali penuh atas hasil akhirnya. Hal ini menjadikan mediasi sebagai pendekatan yang lebih inklusif dan mempromosikan solusi yang lebih berkelanjutan.

Dalam pelatihan yang diberikan, Siti Badriah menguraikan tiga pendekatan utama dalam pengelolaan sengketa:

  1. Pendekatan Kekuasaan: Di mana kekuatan digunakan untuk memaksakan kehendak. Misalnya, dalam konteks pemerintahan, otoritas yang berkuasa dapat memutuskan hasil sengketa.
  2. Pendekatan Hak: Di mana keputusan dibuat berdasarkan aturan hukum atau norma yang ada. Ini sering kali melibatkan proses legal di mana satu pihak mungkin menang dan yang lain kalah, tanpa mempertimbangkan kepentingan mendasar dari kedua belah pihak.
  3. Pendekatan Kepentingan: Pendekatan ini berfokus pada kebutuhan dan kepentingan mendasar dari pihak-pihak yang berkonflik. Dengan mendengarkan dan memahami kepentingan ini, mediator dapat membantu menemukan solusi yang memuaskan bagi semua pihak yang terlibat.

Contoh Kasus: Konflik Penggunaan Toa Masjid

Salah satu contoh konflik yang diangkat dalam pelatihan adalah masalah penggunaan toa masjid. Isu ini mencerminkan ketegangan antara kebutuhan untuk beribadah dan hak untuk hidup dalam ketenangan. Dalam simulasi bermain peran, Nita (narasumber yang berperan sebagai peserta) merasa terganggu dengan suara toa yang terlalu sering, sementara Hanipah (narasumber yang berperan sebagai peserta) melihatnya sebagai siraman rohani yang penting.

Simulasi ini menunjukkan bagaimana komunikasi yang kurang efektif dapat memperburuk konflik. Peserta pelatihan mengidentifikasi bahwa kedua belah pihak belum mendengarkan satu sama lain secara aktif dan empatik. Untuk mencapai solusi, penting untuk menggali lebih dalam ke dalam kepentingan dan kebutuhan mendasar dari kedua belah pihak.

Siti Badriah menekankan pentingnya keterampilan mendengar aktif dalam mediasi. Dengan mendengarkan secara aktif, mediator dapat mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan yang mendasari konflik. Tujuan dari mediasi adalah untuk mencapai solusi menang-menang, di mana kedua belah pihak merasa kebutuhan mereka terpenuhi dan tidak ada yang merasa dirugikan. Ini berbeda dengan solusi menang-kalah atau kalah-kalah yang sering kali hanya memperburuk hubungan dan konflik di masa depan. Proses mediasi yang baik akan mempertahankan hubungan baik antara pihak-pihak yang berkonflik dan menciptakan solusi yang berkelanjutan.

Prinsip-Prinsip Mediasi

Yeni kemudian melanjutkan tentang beberapa prinsip yang harus pegang agar proses mediasi berjalan efektif dan adil. Berikut ini adalah prinsip-prinsip utama yang harus dimiliki oleh seorang mediator:

  1. Tidak Memihak: Mediator harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada salah satu pihak yang berkonflik. Misalnya, dalam satu kasus, mediasi dilakukan oleh seorang sesepuh. Namun, karena sesepuh tersebut berpihak pada salah satu pihak, mediasi menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, prinsip pertama yang harus dipegang adalah netralitas, di mana mediator tidak boleh menunjukkan keberpihakan.
  2. Mengutamakan Kepentingan Bersama: Fokus mediasi adalah kepentingan bersama, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Mediator harus memastikan bahwa mediasi bertujuan untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak yang terlibat. Contohnya, dalam kasus penutupan tempat ibadah, mediator harus memperhatikan kepentingan bersama antara pihak yang menuntut dan pihak yang dipertahankan, serta menghindari mediasi yang dilakukan berdasarkan pesanan atau tekanan dari pihak tertentu.
  3. Independen: Mediator harus bersikap independen, tidak terpengaruh oleh siapa yang membayar atau oleh ancaman dari pihak manapun. Independensi berarti mediator tidak boleh tergoda oleh tawaran menggiurkan atau merasa takut oleh ancaman dari pihak yang berkuasa. Mediator harus memegang teguh etika ini agar dapat menjalankan mediasi dengan adil dan objektif. Dalam mediasi, semua pihak harus diperlakukan setara, tanpa memandang posisi atau kekuasaan yang dimiliki oleh salah satu pihak. Misalnya, jika mediasi melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat minoritas, mediator harus memastikan bahwa semua pihak diperlakukan secara adil dan setara di hadapan hukum.

Dengan menjalankan prinsip-prinsip ini, mediator dapat menjalankan tugasnya dengan efektif dan memastikan bahwa hasil mediasi mencerminkan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Prinsip-prinsip ini juga membantu dalam membangun kepercayaan antara mediator dan pihak-pihak yang berkonflik, sehingga memungkinkan tercapainya kesepakatan yang memuaskan semua pihak.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content