Petakan Pemimpin Lokal, UNIKA Soegijapranata Bahas Peran Pemda dalam Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan

Loading

oleh     : Ryan Richard Rihi
editor   : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID

Indonesia terkonfigurasi dari masyarakat dengan latar belakang yang sangat beragam, mulai dari agama, kepercayaan, usia, identitas gender, suku, etnis, dan sebagainya. Namun, dalam praktiknya, kelompok-kelompok mikro-minoritas seperti penghayat kepercayaan dan aliran keagamaan masih sering mengalami kesulitan dalam mengakses hak-hak sipil seperti pendidikan keagamaan, pencatatan pernikahan, dan pendirian rumah ibadah. Kondisi ini merupakan tantangan besar bagi upaya untuk menciptakan kehidupan beragama dan berkeyakinan yang inklusif di Indonesia. Menyadari urgensi permasalahan tersebut, Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata menggelar serangkaian focus group discussion (FGD) di lima kota di Indonesia, meliputi Kupang (12/5), Manado (17/5), Surabaya (12/6), Ambon (27/6), dan Depok (1/8). FGD ini melibatkan pemimpin lokal dari berbagai latar belakang seperti organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi perempuan, organisasi kepemudaan, lembaga pendidikan, dan organisasi kemahasiswaan, dengan memerhatikan keberagaman dari segi latar belakang keagamaan dan kepercayaan, usia, serta gender.

Kegiatan ini merupakan upaya UNIKA Soegijapranata, sebagai bagian dari Konsorsium INKLUSI, untuk memetakan dan menemukan pemimpin-pemimpin lokal, baik dari kelompok minoritas maupun mayoritas, untuk mengupayakan gerakan bersama bagi inklusivitas kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Dasar dari pemilihan kota-kota dalam pelaksanaan FGD ini disandarkan pada beberapa asumsi/kriteria penting. Pertama, keberagaman mayoritas agama yang ada di kota-kota tersebut. Kedua, adanya riwayat konflik antar agama yang pernah terjadi di masa lalu. Ketiga, persepsi yang berbeda dari pemimpin lokal mengenai keberagaman agama di daerah mereka. Terakhir, keberadaan jejaring yang dimiliki oleh UNIKA Soegijapranata sebagai pelaksana untuk menjadi panitia lokal dalam proses peliputan berita.

Dalam pelaksanaannya, salah satu pokok bahasan utama dalam FGD menyangkut sejauh mana narasi inklusivitas dan toleransi beragama tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) masing-masing kota. Berdasarkan hasil diskusi, terminologi inklusif secara eksplisit tidak ditemukan dalam RPJMD, tetapi tampak melalui beberapa kegiatan yang mendorong toleransi beragama yang telah dijalankan oleh pemerintah daerah.

Salah satu bentuk kegiatan tersebut adalah alokasi anggaran untuk pembangunan rumah ibadah yang menjadi praktik umum di banyak daerah. Meski begitu, proporsionalitas dan keadilan dalam alokasi anggaran ini masih dipertanyakan. Peserta FGD dari kelompok penghayat kepercayaan menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan alokasi dana serupa. Hal ini menunjukkan masih adanya diskriminasi terhadap kelompok mikro-minoritas dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka.

Selain itu, pemerintah daerah juga rutin memberikan subsidi untuk perayaan hari-hari besar keagamaan tertentu. Beberapa daerah bahkan mulai memasang ornamen dari agama minoritas saat perayaan hari raya mereka meski kebijakan ini belum merata di semua wilayah. Upaya ini dapat dilihat sebagai langkah positif dalam menghargai keberagaman dan mengakui eksistensi komunitas-komunitas agama yang selama ini kurang diperhatikan.

Terkait pernyataan dan tindakan pejabat pemerintah, temuan FGD ini mengungkap bahwa secara umum para pejabat hampir tidak pernah secara terbuka mengeluarkan pernyataan intoleran terhadap komunitas agama lain di depan publik. Namun, tindakan intoleran masih sering dialami kelompok mikro-minoritas seperti penghayat kepercayaan serta aliran dan agama yang belum diakui negara.

Tindakan intoleran tersebut antara lain berupa pembatasan akses terhadap hak-hak sipil seperti pendidikan keagamaan, pencatatan pernikahan, dan pendirian rumah ibadah. Minimnya pengakuan identitas dan eksistensi kelompok mikro-minoritas di ruang publik juga menjadi persoalan.

Peserta FGD mengungkap bahwa tindakan toleran atau intoleran yang dilakukan pemerintah juga memiliki kaitan dengan upaya pelanggengan kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Meski pejabat di tingkat kota cukup memahami prinsip-prinsip inklusivitas, pejabat di tingkat lebih rendah belum sepenuhnya memahami hal ini sehingga kesulitan akses hak-hak sipil sering terjadi di level paling bawah.

Salah satu peserta bahkan menyebutkan bahwa demokratisasi di Indonesia membuka peluang bagi kepala daerah untuk lebih mengakomodasi suara mayoritas sebagai konstituen mereka. Kondisi ini justru berpotensi menghambat upaya penguatan narasi inklusivitas dalam perencanaan pembangunan daerah. Dari perspektif pengarusutamaan gender dan inklusi sosial, keterlibatan organisasi perempuan dalam FGD seperti Fatayat Nahdlatul Ulama, Gerakan Perempuan Peduli, dan Komisi Nasional Perempuan menjadi penting dalam menyuarakan kepentingan kelompok perempuan dalam isu keberagaman dan kebebasan berkeyakinan.

Melalui rangkaian FGD ini, UNIKA Soegijapranata berupaya menggali perspektif pemimpin lokal dari beragam latar belakang terkait isu keberagaman, toleransi dan inklusivitas di wilayah mereka. Temuan ini diharapkan dapat memberi masukan bagi upaya memperkuat gerakan bersama mewujudkan kehidupan beragama dan berkeyakinan yang lebih inklusif di Indonesia, dengan memperhatikan kebutuhan kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan komunitas mikro-minoritas.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content