Oleh : Yeni Ernita Kusuma Wardani
Bagaimana dunia pendidikan merespon perundungan bagi siswanya di sekolah? Tentu saja, dunia pendidikan telah merespon perundungan di sekolah dengan berbagai strategi dan kebijakan yang bertujuan untuk mencegah, menangani, dan mengurangi insiden perundungan. Beberapa langkah yang diambil oleh sekolah, pemerintah, dan organisasi pendidikan untuk mengatasi masalah ini meliputi Pembuatan Kebijakan Anti-Perundungan, Penerapan Hukum dan Regulasi, Pelatihan dan Pengembangan Guru, Dukungan dan Intervensi, Pengawasan dan Pemantauan, serta Kolaborasi dengan Komunitas.
Sayangnya kasus-kasus perundungan di sekolah masih marak terjadi dan hal tersebut menjadi bukti bahwa implementasi pendidikan karakter masih jauh dari harapan. Pendidikan karakter, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem pendidikan Indonesia untuk membentuk siswa berakhlak mulia dan berintegritas, ternyata masih jauh dari standar etika yang baik dalam lingkungan pendidikan.
Melalui artikel ini, penulis akan menyoroti dan menyajikan salah satu kasus, khususnya di Jawa Barat, tentang masih adanya perundungan terhadap siswa minoritas.
Tahun 2015 telah menjadi pengalaman kelam bagi Govin. Ia merupakan siswa Hindu yang duduk di Sekolah Dasar Depok, Jawa Barat. Kala itu ia telah mengalami berbagai perundungan dari lingkungan sekolahnya. Hingga Govin menempuh Sekolah Menengah Pertama pun, perundungan masih saja dialami olehnya.
Govin mengalami berbagai tindakan perundungan yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Ia didiskriminasi karena warna kulit, bentuk tubuh, dan agamanya. Govin bahkan pernah dipaksa untuk masuk ke agama lain. Selain itu, ia juga mengalami kekerasan fisik pada wajah, bahu, perut, dan mata. Kakinya ditendang, dan dahinya pernah ditusuk pulpen. Teman-temannya bahkan sering mencemooh dan menghina Govin dengan julukan seperti perempuan.
Perundungan yang dialami Govin mungkin merupakan salah satu kasus yang muncul ke permukaan karena korban berani berbicara di depan publik. Meski begitu, Govin masih merasa tidak nyaman saat menceritakan pengalamannya. Ia juga mengalami masalah kepercayaan dengan teman baru, tidak mempercayai orang lain, dan merasa takut berada di keramaian.
Lalu, bagaimana sikap sekolah dan guru saat merespon pengalaman buruk tersebut? Belum ada respon sama sekali. Jumlah perundungnya terlalu banyak, bahkan hampir setiap kelas selalu ada perundung, dan para guru hanya merespon “saya tau apa yang kamu rasain sabar aja.”
“Tapi sampai kapan saya harus sabar? Saya butuh keadilan, bukan hanya kata-kata. Saya sangat kecewa karena saya perlu bukti untuk melaporkan kejadian, namun saat perundungan terjadi, saya tidak sempat merekamnya. Tidak mungkin saya berpikir untuk merekam saat di-bully, saya sibuk membela diri. Saya capek,” tutur Govin.
Contoh kasus Govin ini merupakan bukti nyata bahwa perundungan, baik secara fisik maupun verbal, menunjukkan bahwa pendidikan karakter masih belum terimplementasi secara nyata di dunia pendidikan. Saya menduga bahwa akar dari berbagai masalah yang terjadi disebabkan karena beberapa persoalan, dan persoalan-persoalan tersebut akan saya bahas di bawah ini.
Akar dari Perundungan
Sebab masalah yang pertama kali bisa dilacak adalah berasal dari guru, sebagai pendidik pendidikan karakter. Kurang lebih saya menduga terdapat dua masalah, yakni:
Pertama, Implementasi yang Tidak Konsisten. Jika guru tidak memahami pentingnya pendidikan karakter, konsistensi penerapannya di kelas tidak akan mewujud nyata. Hal ini bisa membuat pesan-pesan tentang nilai-nilai dan karakter mulia menjadi kabur atau bahkan bertentangan satu sama lain dalam penjelasan dan penerapannya kepada murid.
Kedua, Keteladanan yang Kurang Efektif. Guru yang tidak menyadari pentingnya pendidikan karakter tidak akan bisa menjadi teladan yang baik bagi siswa. Keteladanan adalah salah satu cara efektif untuk membangun dan membentuk karakter murid. Tanpa kesadaran ini, siswa akan kehilangan kesempatan untuk belajar atau meniru dari contoh yang nyata.
Ketiga, Minimnya Pendekatan Holistik dalam Pendidikan Karakter. Masalah lain dalam permasalah perundungan juga berkaitan dengan belum holistiknya pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang tak holistik akan membuat pendidik hanya fokus pada pembelajaran nilai moral secara kognitif tanpa mempertimbangkan juga aspek emosional dan sosial siswa, yang juga sangat penting untuk diperhatikan.
Para anak didik mungkin punya pemahaman konseptual, tapi mereka bisa jadi kebingungan atau tidak memiliki keterampilan dalam mengimplementasikannya di kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter yang tak holistik juga mungkin akan gagal mengembangkan kemampuan sosial yang tak kalah penting, seperti empati, komunikasi efektif, dan kerjasama. Selain itu, anak didik juga bisa jadi akan tidak mampu saat menghadapi konflik. Mereka jadi kurang mampu mengatasi konflik atau berhadapan dengan situasi yang menuntut mereka untuk merespon secara etis.
Belum lagi masalah emosional atau mental yang bisa jadi terabaikan. Kesehatan dan kesejahteraan mental siswa padahal sangat penting, dan merupakan bagian dari pendidikan karakter. Pentingnya dimensi mental ini bisa dilihat dari bagaimana aspek tersebut bisa sangat berpengaruh terhadap motivasi, prestasi akademik, dan kesejahteraan mereka secara personal.
Pendidikan karakter yang tak holistik (yang hanya berfokus pada dimensi kognitif) itu mungkin akan membangun kesan bahwa pendidikan karakter yang selama ini dipelajari terasa tak relevan dan tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga penerapannya pun akan tak terasa atau sulit.
Keempat, Lemahnya Pengawasan dan Penerapan Aturan Hukum dan Regulasi. Pengawasan dan penegakan aturan yang tidak efektif akan menyebabkan perundungan tetap ada atau mungkin semakin menjadi-jadi, hal tersebut terjadi karena para perundung akan merasa bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak memiliki konsekuensi apa pun. Sebaliknya, siswa yang merasakan perundungan pun akan selalu merasa tidak aman, karena tidak adanya pengawasan dan penerapan hukum yang tegas terhadap masalah perundungan.
Korban perundungan bisa mengalami efek buruk dalam aspek emosional dan akademis, yang mana hal tersebut dapat mengganggu kesejahteraan siswa. Dampak jangka panjangnya adalah, saat perundungan tidak dicegah, diproses, dan ditangani secara serius maka tingkat kepercayaan terhadap sekolah pun akan menurun.
Solusi Terhadap Perundungan
Berdasarkan sebab-sebab itulah maka diperlukan sebuah solusi konkrit untuk mengatasi masalah perundungan. Pada bagian ini saya akan menyuguhkan beberapa solusi yang mungkin bisa diterapkan sebagai upaya solutif untuk masalah perundungan.
Pertama, Kebijakan dan Regulasi yang Kuat. Tak hanya dalam level institusi pendidikan pemerintah pun memiliki peran dalam mengatasi masalah perundungan. Pemerintah harus mengembangkan kebijakan nasional yang tegas dan jelas mengenai pencegahan dan penanganan perundungan di sekolah. Kebijakan tersebut kemudian wajib diterapkan di setiap sekolah secara konsisten, berikut juga dukungan dari tiap dinas pendidikan setempat. Regulasi mengenai perundungan pun harus memuat konsekuensi yang jelas dan tegas bagi pelaku perundungan berikut langkah-langkah rehabilitas baik bagi korban dan pelaku; sehingga setiap pihak dapat memperoleh perlindungan dan bantuan yang tepat.
Kedua, Pelatihan dan Pengembangan Guru. Guru dan staf mesti diberikan pelatihan yang intensif agar mereka dapat mencegah dan menangani perundungan. Pelatihan ini juga melibatkan pelatihan keterampilan sosial dan emosional, keterampilan komunikasi, dan teknik mediasi konflik. Pelatihan ini akan lebih siap dalam menciptakan lingkungan yang sehat, aman, dan mendukung para siswa di sekolah.
Ketiga, Budaya Sekolah yang Mendukung. Sekolah harus bisa menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah bagi siapa pun. Pendekatan restoratif bisa digunakan dalam penanganan perundungan, dengan fokus pada pemulihan hubungan dan rehabilitasi, dan bukan hukuman terhadap siswa. Pendidikan karakter juga harus diintegrasikan dengan kurikulum, agar nilai-nilai positif seperti empati, tanggung jawab, hormat, dan kejujuran dapat diajarkan kepada para siswa. Sekolah yang suportif akan menciptakan suasana dan karakter siswa yang selalu saling mengorhati dan mendukung satu sama lain.
Keempat, Peran Aktif Siswa. Tak hanya guru, para siswa pun harus ikut terlibat dalam penanganan dan pencegahan perundungan. Artinya setiap siswa wajib dibekali pengetahuan dan diajarkan untuk mempraktikan nilai-nilai moral yang positif, berikut cara menangani perundungan. Mereka harus diajarkan tentang keterampilan sosial dan emosional, dan membangun mental saling membantu, agar mereka mampu menangani konflik secara konstruktif dan hubungan yang sehat.
Kelima, Keterlibatan Orang Tua dan Komunitas. Pihak lain yang harus terlibat adalah orang tua dan komunitas. Orang tua dan komunitas harus terlibat aktif dalam proses penanganan dan pencegahan perundungan di sekolah. Sekolah, dengan demikian, harus bekerja sama dengan orang tua, berikut juga organisasi non-profit, lembaga layanan sosial, dan komunitas lokal untuk mendukung program anti-perundungan. Lingkungan kerjasama ini akan melahirkan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi siswa.
Keenam, Sistem Pelaporan yang Aman dan Efektif. Sekolah harus menyediakan sistem pelaporan yang bersifat anonim, sehingga apabila ada korban mereka dapat terlindungi secara aman. Tindak lanjut terhadap masalah perundungan pun harus bisa bekerja dengan efektif, agar penanganan terhadap masalahnya dapat berjalan dengan lancar. Selain itu pihak sekolah juga bisa menyediakan layanan konseling psikologis, baik bagi korban atau pun pelaku (sebagai upaya rehabilitasi). Ketujuh, Evaluasi dan Pemantauan Berkala. Terakhir adalah evaluasi dan pemantauan yang berkala, agar pencegahan terhadap perundungan bisa terus dilakukan. Evaluasi ini, yang bisa dilakukan melalui survey, diberlakukan kepada siswa, guru, dan orang tua agar bisa menilai atau mengukur tingkat perundungan dan efektivitas program anti-perundungan. Evaluasi itu kemudian harus menjadi sebuah laporan yang bersifat transparan, sehingga langkah-langkah yang diambil pun bisa jelas. Tak hanya itu laporan tersebut pun mesti dipublikasikan secara berkala. Evaluasi ini dengan demikian harus dilakukan secara terus menerus, agar menciptakan lingkungan sekolah atau pendidikan yang sehat.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”