Oleh: Andi M Ilyas
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti pelatihan jurnalistik inklusif yang diadakan oleh PW Fatayat NU bekerja sama dengan INFID di Bandung. Dalam pertemuan itu, salah seorang teman saya berbagi pengalaman tentang moderasi beragama di lingkungan keluarganya. Cerita ini, selain menginspirasi, juga mengundang senyum.
Teman saya ini bernama Handika Praba Ningrum, seorang tenaga pendidik di SMA swasta di Purwakarta, tepatnya di Kecamatan Plered. Selain itu, ia juga aktif sebagai aktivis di Swara Saudari di Purwakarta.
Kondisi keberagamaan di lingkungan tempat tinggal Handika memang sedikit kompleks. Banyak pemeluk agama di sana yang memiliki pandangan konservatif. Menurutnya, mereka kurang tepat dalam menempatkan fanatisme beragama. Bahkan, banyak dari mereka yang terafiliasi atau setidaknya mendukung organisasi massa yang kini telah dibubarkan oleh pemerintah.
Ayah Handika telah lama mengidolakan seorang pemuka agama, sehingga pemahaman dan doktrin yang disampaikan oleh pemuka agama tersebut telah mendarah daging dan terimplementasi dalam kehidupannya. Terlebih, saat viralnya gerakan 212, ayah Handika semakin fanatik mendukung pemuka agama tersebut dengan segala cara. Hal ini menjadi keresahan bagi Handika, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah. Sebagai mahasiswa yang mempelajari filsafat Islam, ia banyak membaca literatur yang inklusif dan moderat.
Suatu hari, Handika pulang dan berdebat dengan ayahnya mengenai agama. Perdebatan itu memanas hingga Handika keluar rumah karena merasa pendapatnya tidak dihargai. Singkat cerita, Handika menikah dengan seorang pria yang dipujanya, seorang kader Ansor (banom NU), yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi pemahaman mertuanya dalam beragama. Selain itu, konten yang kini dikonsumsi oleh ayahnya juga beraliran inklusif dan moderat.
Namun, bagian yang paling mengundang senyum terjadi suatu hari ketika ayahnya sedang keluar. Adik Handika tiba-tiba menangis, dan sebagai kakak yang baik, ia menghampirinya. Ternyata, adiknya sedang bermain dengan gadget ayahnya. Handika pun berkata, “Ah, aku ganti saja akun yang diikuti bapakku,”
Setelah itu ia pun langsung mengubah akun-akun yang diikuti oleh ayahnya di berbagai platform. Dengan hal itu ia berharap ayahnya dapat menikmati konten moderat yang dapat merubah paradigma keagamaannya yang tadinya kaku dan keras, menjadi lebih terbuka dan riang gembira. Karena sejatinya, beragama dengan riang gembira adalah wujud syukur dalam berhamba kepada Sang Pencipta. Kini, lingkungan keluarga yang dahulu membuat Handika sering misuh, kini sering diwarnai dengan gelak tawa bersama ayahnya.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsiumĀ INKLUSIā