
Oleh : Indri Ayu Tikasari
Editor : Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID
–
dan Komunitas Lokal” di Kota Bogor, 26 dan 27 Juni 2024
Sumber: Dokumentasi Arsip SETARA Institute
Dengan semangat membangun perdamaian dan kerukunan dalam keberagaman, SETARA Institute bersama Konsorsium INKLUSI menggelar kegiatan Peningkatan Kapasitas “Advokasi Keberagaman untuk Organisasi Masyarakat Sipil dan Komunitas Lokal”.
Kegiatan yang bertempat di Kota Bogor ini mendapat antusiasme yang cukup besar dari para peserta yang berasal dari Organisasi Masyarakat Sipil serta komunitas lokal yang berbasis di beberapa kota, seperti Kota Bogor, Bandung, Sumedang, Subang, dan Medan. Beragam organisasi kepemudaan yang tergabung dalam kegiatan ini seperti PMII Kota Subang, KMHDI Kota Bogor, Puan Hayati dan organisasi lainnya.
Pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 26-27 Juni 2024 ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil dan komunitas lokal dalam mengelola keberagaman di wilayahnya. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk menjadi ajang dalam memperkuat jaringan dalam kerja-kerja advokasi isu keberagaman.
Beragam materi dipaparkan oleh para pembicara yang berpengalaman dalam kerja advokasi untuk isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, seperti Metamorfosis, Yayasan Satu Keadilan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor.
Dalam salah satu materi yang disampaikan oleh Sofie, Direktur Metamorfosis, yaitu tentang Pengenalan pada Keberagaman Sosial Indonesia, dijelaskan bahwa selama rentang tahun 2007-2022 terdapat sebanyak 3.059 peristiwa pelanggaran dalam isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
Dalam diskusi pada sesi bersama Metamorfosis ini menyebutkan bahwa akar utama lahirnya intoleransi adalah kurang terjalinnya interaksi, komunikasi, dan koordinasi di antara masyarakat yang heterogen. Selain itu, pemerintah belum secara maksimal dalam mencanangkan dan menjalankan kegiatan yang dapat membangun solidaritas, ataupun dalam pelibatan aktif masyarakat yang majemuk dalam setiap kebijakannya.
Kemudian pada materi kedua yang disampaikan oleh Ketua FKUB Kota Bogor K.H. Hasbullah S.E., MA. EK membagikan beberapa poin krusial dalam membentuk pengetahuan fondasi peserta terkait gerakan kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan, yaitu tentang produk hukum nasional dan internasional yang mendukung isu KBB.
Terdapat 2 dimensi yang perlu dipahami dalam melakukan advokasi isu KBB yaitu forum internum dan externum. Forum internum berarti kebebasan yang bersifat baitiah, sehingga penghormatan HAM dalam forum internum berlaku secara absolut dan tidak dapat dibatasi dan dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights). Sedangkan forum externum berarti kebebasan untuk mengekspresikan agama/keyakinannya secara lahiriah. Pemenuhan HAM dalam forum externum dapat dibatasi dalam kondisi dan tujuan tertentu (derogable rights) melalui peraturan perundang-undangan.
Setelah peserta mempelajari tentang gambaran besar isu KBB di Indonesia, pada hari kedua peserta mendapatkan materi yang lebih mendalam, yaitu terkait intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme berbasis kekerasan. Materi ini disampaikan oleh Munir Kartono, seorang mantan narapidana terorisme (napiter) yang terlibat dalam penggalangan dana untuk melancarkan beberapa kasus terorisme di Indonesia, seperti bom Thamrin, Solo dan Surabaya.
Munir menampilkan beberapa temuan riset tentang kuatnya keterkaitan antara kemiskinan dengan terorisme seperti yang disebutkan dalam riset Institute for Economics and Peace pada Global Terrorism Index (GTI). Meskipun demikian, dirinya berpendapat bahwa penyebab terorisme itu bukan ditentukan oleh satu aspek semata, melainkan sangat beragam.
“Contohnya, mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) berangkat ke Suriah (bergabung dengan ISIS)” jelasnya.
Maka dari itu pengentasan radikalisme yang dapat menuntun seseorang melakukan tindakan terorisme tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah saja, melainkan perlu adanya peran serta kelompok masyarakat.
Materi selanjutnya tentang advokasi kebijakan dan kampanye keberagaman yang disampaikan oleh Syamsul Alam Agus dari Yayasan Satu Keadilan. Ia menekankan bahwa keberhasilan suatu advokasi kebijakan sangat bergantung kepada kualitas aktor dalam yang melakukan advokasi tersebut seperti kemampuan intelektualnya, kepiawaiannya dalam menyampaikan ide dan gagasannya, juga dalam menjalin relasi politik, melakukan orginisir kekuatan politik, serta kepandaiannya dalam membangun opini publik.
Selain itu kemajuan dan inovasi teknologi juga menjadi sarana yang cukup membantu dalam kerja advokasi dengan menggunakan media sosial. Diketahui bahwa sebanyak 56% penduduk Indonesia atau kurang lebih 150 juta orang merupakan pengguna aktif media sosial.
Advokasi melalui media sosial sangat membantu dalam mendapatkan atensi publik terkait isu yang sedang disuarakan sehingga dapat menciptakan tekanan publik kepada para pemangku kebijakan.
Setelah mendapatkan beragam materi terkait dengan advokasi isu keberagaman, fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi mengenai materi yang disampaikan sekaligus melakukan praktik dalam melakukan advokasi dengan cara membuat konten kampanye digital.
Kegiatan peningkatan kapasitas tentang advokasi keberagaman ini diharapkan tidak hanya berdampak pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan seluruh peserta dalam melakukan advokasi, namun juga diharapkan dapat berkontribusi lebih besar terhadap para peserta untuk dapat menciptakan berbagai inovasi dan kreasi khususnya dalam mengelola keberagaman di wilayahnya masing-masing.
