Penulis Muhammad Akbar Darojat Restu Putra 15 Januari 2025

“Pernah mendengar tentang hak asasi? Tentu pernah, walau mungkin hanya samar-sama. Itu penting kamu ingat-ingat mulai sekarang, karena hak asasi itu merupakan harta bendamu yang paling berharga. Jauh lebih berharga daripada rumahmu, sepedamu, sepatu roda dan bola tendangmu, digabung jadi satu. Sekarang barangkali belum begitu terasa arti pentingnya, tapi kalau kamu sudah dewasa, dia akan merupakan suatu taruhan. Bisa membuatmu manusia jadi manusia yang punya harga diri, tapi juga bisa membuatmu seperti seekor cacing.”
Itu adalah kutipan panjang yang saya ‘comot’ dalam kolom berjudul Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini yang dikarang oleh Mahbub Djunaidi pada tahun 1981. Kutipan itu adalah wejangan seorang bapak kepada anaknya yang masih belia untuk selalu mengingat soal pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM). Bagi sang bapak, HAM bukanlah masalah sepele, melainkan sebuah taruhan yang menentukan harga diri manusia.
Kalau mau ditelaah lebih dalam, anak yang dimaksud oleh intelektual NU itu agaknya bukanlah seorang bertubuh kecil yang berumur kisaran 5-9 tahun. Melainkan anak dalam arti universal yang tak lain dan tak bukan adalah anak zaman. Sehingga, wejangan itu diberikan kepada siapapun, tak peduli dia lahir dari generasi apa dan zaman apa.
Saya kira memang benar bila dikatakan bahwa HAM adalah masalah yang akan selalu mengiringi manusia kapanpun. Pertanyaan mengenai HAM akan selalu muncul di batok kepala manusia, kendati zaman yang diarungi oleh manusia itu kian maju dan berkembang. Artinya, selagi manusia masih bernafas dan beranak pinak di bumi ini, masalah HAM akan tetap dan selalu ada. Jadi, pertanyaan yang kiranya tepat diajukan ialah: bagaimana manusia mesti menghadapi dan mengentaskan masalah HAM ini?
Lika-Liku Perjuangan HAM di Indonesia
Kalau kita lihat konteks Indonesia, perjuangan akan penegakan HAM adalah perjuangan yang sangat panjang. Sejak negara ini berdiri pada 1945, berbagai pelanggaran HAM terjadi namun negara tak kunjung menyelesaikannya atau bahkan sekedar mengakuinya. Bahkan pada titik tertentu, negara justru turut andil menjadi aktor pelanggar HAM. Dua contoh yang bisa disebut ialah Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) pada 1980-an dan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.
Ketika memasuki era reformasi, ada setitik harapan dari banyak orang bahwa berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu dapat dituntaskan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya hanya sebatas wacana atau rencana. Dan Gus Dur yang memang memiliki concern akan penuntasan HAM, sekonyong-konyong dilengserkan. Harapan itu akhirnya pupus.
Banyak orang kembali antusias membicarakan HAM agaknya ketika Jokowi mengakui 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu—termasuk yang sudah disinggung di muka—pada 11 Januari 2023. Pada kesempatan itu, Jokowi menyesalkan berbagai pelanggaran itu setelah memperoleh laporan dari Tim Penyelesaian non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM).
Jokowi pun menaruh simpati dan empati korban pelanggaran HAM dan berjanji akan memulihkan hak-haknya agar peristiwa tragis itu tak akan pernah terulang lagi. Pemulihan rencananya akan dilakukan melalui pemberian ganti rugi berupa kompensasi, rehabilitasi, restitusi, pembangunan monumen tugu peringatan, mengoreksi pelajaran sejarah yang keliru, dan memberikan beasiswa kepada keluarga korban.
Kendati bisa disebut sebagai awal yang bagus, banyak aktivis HAM mengklaim bahwa penuntasan non-yudisial itu masih kurang. Ini mengingat Jokowi tidak mau meminta maaf kepada korban dan tidak berniat untuk mengadili pelaku. Bagi mereka, kedua langkah tersebut mesti dilakukan guna memutus mata rantai kebencian sehingga tindak pelanggaran HAM tak pernah terulang lagi di masa depan. Mereka pun kecewa karena Jokowi mengutarakan rekonsiliasi itu di akhir pemerintahannya.
Ketika kemudian Prabowo menjadi presiden, belum ada tindak lanjut terhadap rencana Jokowi itu. Ini bisa dibuktikan dengan program Asta Cita yang tak mengakomodasikan penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Kementrian HAM yang dibentuk oleh Prabowo pun belum nampak kinerjanya hingga sekarang dalam menyelesaikan masalah itu. Sehingga, perasaan mendung kembali menyelimuti aktivis HAM, apalagi sosok Prabowo diduga pernah terlibat dalam pelanggaran HAM berat.
Masih Adakah Harapan?
Melihat kondisi tersebut, masihkah ada harapan dalam penuntasan pelanggaran HAM di masa sekarang? Jawabannya ada. Ini kalau kita percaya bahwa selalu ada masalah HAM di setiap zaman, kendati manifestasi dan skalanya berbeda. Sehingga, perjuangan akan penegakan HAM akan selalu menjadi pergulatan hidup manusia itu sendiri.
Dalam arti tersebut, perjuangan HAM memang tak pernah mengenal kata akhir. Satu masalah selesai akan muncul masalah berikutnya dan bila itu kemudian juga selesai akan muncul masalah lain, begitu seterusnya. Singkatnya, yang namanya perjuangan HAM itu bak jalan tiada ujung.
Namun, bukan berarti perjuangan itu seperti sia-sia belaka. Ada buah yang akan dipetik, entah sedikit atau banyak. Contohnya, dulu di zaman Orba kebebasan ekspresi dibatasi. Mereka yang berani lantang mengkritik pemerintah nyawanya berpotensi melayang. Namun sekarang kebebasan itu setidaknya dapat kita hirup walau mungkin berupaya dipampat lagi.
Dengan ini, kita tak boleh menyerah dalam memperjuangan penuntasan pelanggaran HAM berat. Ini bukan bahwa kita berharap pada kebaikan negara. Harapan itu baiknya kita tuangkan dengan penyadaran masyarakat secara luas, entah melalui media sosial atau kerja-kerja di akar rumput. Masyarakat harus paham bahwa mereka juga korban karena masalah ini menyangkut sejarah bangsa Indonesia ke depannya.
Perjuangan itu memang tak semudah direncanakan. Namun, sebagaimana disebut Mahbub, hanya melalui ini manusia paham apa artinya harga diri. Malas memperjuangkan itu dapat membuat manusia menjadi seekor cacing yang terus diinjak-injak. Pilihannya kemudian kembali pada kita: tetap manusia atau berubah menjadi cacing. [AA]