Penulis Muhammad Akbar Darojat Restu Putra 28 Desember 2024

“Saya tidak mau lagi berurusan dengan Galeri Nasional dan Kementerian Kebudayaan,” ucap Yos Suprapto dalam keterangan tertulis pada 20 Desember 2024. Seniman kelahiran Surabaya itu kesal dan barangkali marah karena 5 dari 30 lukisannya yang hendak dipajang di Galeri Nasional dari 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025 diminta oleh pihak penyelenggara kurator Suwarno Wisetrotomo untuk diturunkan.
Namun, di samping pihak, Kurator itu menganggap hanya ada 2 lukisan yang minta untuk ditunkan karena “terdengar seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya.” Ia pun menganggap bahwa dua lukisan itu keluar dari tema pertunjukkan dan bias politik.
Dua lukisan yang dimaksud adalah Konoha I yang menampilkan sesosok pria yang wajahnya mirip Jokowi sedang duduk di singgasana dan menginjak-injak orang yang terkurap di bawahnya, dan Kohona II yang menampilkan dua sosok yang bersenggama sementara di bawahnya banyak orang menjilati bagian pantat. Untuk lukisan yang terakhir, bahkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon menganggapnya tak lebih sebagai karya tak pantas karena menonjolkan adegan mesum dan pornografi.
Karena itulah, banyak pihak megklaim bahwa penurunan lukisan tersebut merupakan preseden buruk bagi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru berumur jagung. Pasalnya, di negara yang mendaku sebagai negara demokrasi ruang-ruang kesenian selayaknya diberikan kebebasan untuk bereskpresi.
Sehingga, dengan alasan apapun, pemerintah tidak boleh mencengkeram dan memberangus kebebasan dalam praktik kesenian. Justru kritik yang direpresentasikan dalam kesenian seharusnya didukung dan diberikan tempat karena dapat menjadi ladang diskusi sekaligus wadah otokritik bagi pemerintah agar dapat menjalankan kinerjanya secara lebih baik lagi.
Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini akan dipecah menjadi dua bagian: (1). Menyorot bagaimana fenomena tersebut merupakan manifestasi dari pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan membuktikannya melalui produk-produk hukum yang relevan. (2). Menunjukkan bagaimana fenomena tersebut merupakan wujud dari kepanikan penguasa bila kekuasaannya ambruk, sehingga segala hal harus diupayakan kendati harus melanggar HAM
Pelanggaran HAM
Dilihat dalam aspek apapun, penurunan lukisan Yos Suprapto jelas merupakan pelanggaran HAM. Sebabnya, sebagai seorang seniman, ia tentu memiliki kebebasan untuk mengeskpresikan karya seninya dan negara tidak boleh tidak harus melindunginya. Ini sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 2 yang menegaskan bahwa:
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Hal tersebut juga didukung oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang menyebut bahwa setiap orang tak peduli siapa dia dan dari mana ia berasal memiliki kebebasan untuk menyampaikan dan menyalurkan buah pendapatnya dalam media apapun tanpa adanya sedikipun gangguan.
Bahkan dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik bahwa yang namanya kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah bagian dari HAM, sehingga siapapun tidak boleh memberangusnya.
Bila ada yang menganggap bahwa penuruan itu pantas dilakukan karena lukisannya menampilkan adegan pornografi jelas merupakan wujud berpikir yang salah kaprah. Bagaimanapun, seni selalu memakai metafora yang direpresentasikan dalam wujud simbolis, sehingga makna yang terkandung akan terpendam dan berada di balik tampilan yang disunguhkan.
Pemaknaan itupun bersifat subjektif, tegantung dari kondisi sosial, budaya, nan psikologis dari sang pemakna itu sendiri. Artinya, bisa jadi orang yang menganggap lukisan itu pornografi adalah orang yang sebenarnya mesum. Mengenai ini, tentu hanya ia dan Tuhan belaka yang tahu.
Kepanikan Penguasa
Mungkin kita pernah berpikir bahwa aneh bila lukisan Yos Suprato tersebut diturunkan. “Itu kan cuma lukisan, ngapain pula takut sampai kemudian diturunkan,” barangkali kata-kata itulah yang tertancap dalam pikiran kita.
Kita bisa berpikir demikian karena kita tidak berada dalam posisi penguasa yang menjadi objek kritik. Ketika membayangkan menjadi sosok penguasa kita akan paham bahwa mereka bersikap demikian bukan hanya karena tersinggung atau marah, melainkan juga karena panik bila kekuasaan yang kini sedang mereka pegang bisa terguncang atau bahkan ambruk.
Ketika hidup dalam dunia politik praktik, segala hal harus diantisipasi. Tak peduli itu kecil atau besar. Masih ingatkah kita dengan demonstrasi besar-besaran yang menentang RUU Pilkada yang disepakati Baleg DPR karena berpotensi mengukuhkan dinasti politik Jokowi mengingat Kaesang berpotensi maju di Pilkada Jakarta?
Demonstrasi itu tak bermula dari aksi heroik, melainkan dari poster “Peringatan Darurat” berwarna biru bergambar Garuda Pancasila yang viral. Iya, hanya sebuah poster. Tapi, efeknya begitu hebat hingga DPR batal menyetujui RUU tersebut.
Berkaca dari fenomena tersebut, ada satu hal yang tak bisa dipungkri: penguasa tak segan melarang sesuatu yang dapat merongrong kekuasaannya walau mungkin sesuatu itu sekilas tampak biasa saja dan tak membayangkan. Itulah mengapa dulu Orde Baru sampai melarang rambut gondrong bagi anak muda dan melarang penggunaan hijab bagi perempuan. Dan pelarangan itu akan dilakukan tak peduli bila HAM harus dilanggar.