Penguatan Peran Guru dalam Pendidikan HAM di Sekolah

Loading

Penulis Fawwaz Ibrahim, Program and Social Media Officer 20 Agustus 2024

Jakarta – Dalam pelatihan terbaru yang diselenggarakan atas kerjasama  International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Yayasan Cahaya Guru (YCG), peran guru dalam mengintegrasikan pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam kurikulum sekolah menjadi fokus utama. Pelatihan ini menyoroti pentingnya guru sebagai rujukan dalam menciptakan lingkungan belajar yang ramah HAM, dimana hak-hak masyarakat pendidikan dihargai dan dilindungi.

Pada sesi pertama, peserta diajak untuk merefleksikan pengetahuan yang telah diperoleh selama beberapa hari terakhir. Para guru menggunakan platform Jamboard untuk mengisi lembar kerja SSC (Stop-Start-Continue), yang membantu untuk melakukan mengidentifikasi praktik-praktik yang harus dihentikan, dimulai, dan dilanjutkan di sekolah terkait pengajaran nilai-nilai HAM. Para guru sepakat bahwa praktik-praktik negatif seperti bullying dan hukuman fisik harus segera dihentikan, sementara pendekatan yang lebih empatik, respek, dan inklusif perlu dimulai dan dilanjutkan.

Selama diskusi kelompok, para peserta berbagi ide dan strategi untuk mengembangkan modul ajar yang mencerminkan nilai-nilai HAM. Diskusi ini menghasilkan berbagai gagasan kreatif, seperti menggunakan studi kasus dari media sosial, permainan edukatif, dan pembelajaran berbasis partisipasi. Amalia Agam Putri salah satu guru di Bogor, misalnya, menekankan pentingnya literasi digital dalam pendidikan HAM, dengan fokus pada isu siber bullying. “Metode yang saya usulkan adalah menggunakan games, video, dan diskusi kelompok partisipatif agar siswa dapat menyampaikan pandangan mereka dengan bebas dan kritis,” ujarnya.

Diskusi juga menyoroti peran guru sebagai fasilitator dan pendidik yang harus bersifat reflektif, gemar belajar, dan kolaboratif. Syafira Khairani (Program Officer for Promoting Tolerance and Respect for Diversity), sebagai salah satu co-fasilitator menegaskan bahwa “guru tidak hanya sekadar mengajar, tetapi juga harus memposisikan diri sebagai orang tua yang membimbing dan mengarahkan anak-anak ke arah yang lebih baik.” Dia juga menekankan pentingnya suasana sekolah yang kondusif, di mana tidak ada bullying baik secara verbal maupun non-verbal, untuk memastikan kualitas pembelajaran yang lebih baik.

Salah satu tantangan yang muncul dalam pelatihan ini adalah bagaimana mengelola waktu antara tugas mengajar proses peningkatan kapasitas sebagai guru, serta bagaimana mengintegrasikan pendidikan HAM ke dalam rutinitas sehari-hari di sekolah. Rosidi seorang Pengawas Pendidikan Agama Islam Kabupaten Subang berbagi bahwa pengawas di daerahnya secara aktif menemani para guru yang menghadapi kendala dalam dunia pendidikan. “Banyak guru PAI yang datang ke kantor saya untuk berbagi masalah mereka, dan kami selalu mencari solusi bersama,” ungkapnya.

Selain diskusi, pelatihan ini juga mencakup sesi analisis risiko di mana peserta diajak untuk memetakan berbagai situasi di sekolah yang mungkin menjadi ancaman atau kerentanan terhadap pelaksanaan pendidikan HAM. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu para guru dalam merencanakan langkah-langkah preventif dan proaktif untuk menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan inklusif.

“Saya sebagai guru PAI sekaligus sebagai wakasek kesiswaan dan seluruh jajaran pengelola sekolah terus berupaya untuk memberikan pelayanan dan kesempatan kepada siswa dalam berkreatifitas dan berinovasi dalam berbagai kegiatan siswa mulai dari kegiatan berbasis budaya, skill (keterampilan), sains dan keagamaan, dengan semboyan sekolah kami SMAN 1 Ciawigebang PASTI (Prestasi, Agamis, Sukses, Trampil & Inovatif) yang diintegrasikan dengan nilai HAM” ungkap Agus Fitriadin salah satu guru dari Bogor.

Selain dari itu, Inayah guru dari Kabupaten Kuningan menyampaikan bahwa pelatihan ini mendorong pemahaman terhadap implementasi HAM dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata jika HAM dapat dilaksanakan maka akan tercipta kehidupan yang harmonis. Keadaan siswa yang beragam baik sosial maupun budaya akan memunculkan perbedaan perilaku siswa sehingga guru dituntut untuk bisa melayani siswa secara bijaksana.

“Pada pelaksanaan pembelajaran PAI dengan cara inklusi dan kesetaraan gender diterapkan pada diskusi kelas, siswa bebas berpendapat dan yang menjadi ketua kelompok boleh laki-laki atau perempuan. Setiap individu saling menghargai pendapat peserta diskusi lain, guru memberikan apresiasi kepada setiap peserta diskusi yang mengeluarkan pendapat”, ungkap Inayah.

Terciptanya kondisi yang harmonis tersebut karena terjalinnya komunikasi yang baik antara guru dan siswa dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai HAM dalam kehidupan sehari-hari. Terasa sekali manfaat keikutsertaan dalam kegiatan pelatihan Sekolah Ramah HAM. Jadi manfaat yang dapat dirasakan setelah menindaklanjuti hasil pelatihan yaitu terciptanya kesetaraan gender, siswa merasa percaya diri dalam bergaul, dan antar siswa saling menghargai.

Muhammad Mukhlisin, salah satu fasilitator, menggarisbawahi bahwa risiko dalam pendidikan HAM meningkat ketika ancaman dan kerentanan muncul bersamaan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif dan mencari titik temu dalam mengelola keragaman di sekolah. “Yang penting adalah melakukan dialog dan mencari titik temu, bukan mencari titik tengkar,” ujarnya. Hal ini diharapkan dapat mendorong guru untuk melihat keragaman sebagai kekuatan, bukan ancaman, dan mengelolanya dengan cara yang tidak mengganggu akidah atau keyakinan siswa.

Pelatihan ini diakhiri dengan harapan besar bahwa modul-modul ajar yang telah dikembangkan dapat menjadi inspirasi bagi guru-guru lain di seluruh Indonesia. Syafira dari INFID, dalam sambutan penutupnya, menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan menekankan pentingnya pendekatan “whole school” dalam mewujudkan Sekolah Ramah HAM (SRHAM). “Nilai penting dari SRHAM bukan sekadar jargon ramah HAM, tapi harus diinternalisasi oleh seluruh ekosistem sekolah melalui partisipasi yang bermakna,” katanya.

Pelatihan ini merupakan langkah awal yang signifikan dalam membangun kesadaran HAM di lingkungan sekolah, dengan harapan bahwa para guru dapat menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang menghormati hak asasi manusia di Indonesia. Kerja sama antara YCG dan INFID diharapkan dapat memperkuat implementasi prinsip-prinsip HAM di seluruh lapisan masyarakat, terutama di bidang pendidikan.

Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama Yayasan Cahaya Guru dan INFID dalam rangka Konsorsium INKLUSI. Program INKLUSI memiliki fokus dalam memberdayakan kepemimpinan untuk memperkuat kebebasan beragama dan berkeyakinan serta masyarakat yang tangguh di sektor-sektor strategis utama: Media Massa, BUMN, Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan, Kepemimpinan Perempuan, dan Sosial Media. Konsorsium INKLUSI beranggotakan INFID, Maarif Institute, Perkumpulan Media Link, PW Fatayat NU Jawa Barat, PW Fatayat NU Jawa Timur, SETARA Institute, UNIKA Soegijapranata, dan Yayasan Inklusif.

Editor: Muhammad Mukhlisin, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content