Oleh: Kiagus M. Iqbal
Suatu malam, saya singgah di Maros sebelum melanjutkan perjalanan ke Simbuang keesokan harinya. Saat mengutarakan hendak pergi ke Simbuang, sahibulbait memberi peringatan untuk hati-hati dengan orang Simbuang. Peringatan itu datang karena anggapan bahwa orang Simbuang punya ilmu yang bisa membuat celaka. Ilmu itu namanya parasung— teknik meracuni musuh yang biasanya dipakai pada masa-masa perang. Kalau ditawari minum, sebaiknya cek, bisa jadi terkena ilmu parasung.’
Pun ketika saya telah nyaris sepekan tinggal di Simbuang. Selepas menunaikan salat jumat di Masjid satu-satunya di desa itu, saya menyantap makan siang di rumah makan yang dimiliki oleh pemeluk salah satu agama samawi murni. Pemilik rumah makan itu merasa khawatir mengetahui saya tinggal bersama pemeluk asli Aluk Nene’. Saya pun menegaskan bahwa saya dapat menjaga diri dan senantiasa berdoa agar Tuhan selalu melindungi saya.
Dua pengalaman di atas merupakan contoh betapa stigma terhadap Masyarakat Simbuang, khususnya para pemeluk Aluk Nene’, masih begitu kental. Aluk Nene’ sebagai sebuah kepercayaan lokal yang orisinil di Tana Toraja (khususnya Simbuang) masih dipandang bukan agama atau kalaupun dianggap agama yang menyimpang.
Secara hukum, penghayat kepercayaan telah diakui oleh Negara pasca lahirnya Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016. Karenanya, para penghayat kepercayaan berhak mengisi identitas KTP untuk kolom agama berdasarkan nama aliran kepercayaan yang mereka anut. Meski begitu, pengakuan terhadap para penghayat kepercayaan masih terbatas dalam tataran administratif an sich. Sayangnya, pengakuan administrasi saja tidak cukup.
Naik Turun Status Aluk Nene’
Simbuang merupakan salah satu wilayah Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang berada di perbatasan paling barat dengan Sulawesi Barat. Simbuang berada di wilayah paling pinggir, sehingga ia terisolir karena akses jalannya menuju ke sana rusak parah. Tak heran jika ada 5 (lima) desa di Simbuang berstatus daerah sangat tertinggal (Kementerian PDTT, 2019). Bisa jadi ini merupakan sebab Aluk Nene’ di Simbuang masih bertahan, meski jumlah terus berkurang secara drastis sejak 1960-2000.
Sumber: Roxanna Waterson (2009), Paths and Rivers: Sa’dan Toraja in Transformation. KITLV: Leiden
Menurut Waterson (2009), semakin berkurangnya pemeluk Aluk tidak lepas dari kondisi politik yang mengintervensi penyebaran agama di Tana Toraja sejak 1950-1960 akibat serangan DI/TII di Tana Toraja dan penyebaran massif Kristen Protestan melalui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada medio 1960-an. Dinamika politik sejak Demokrasi Terpimpin membuat para pemeluk Aluk Nene’ dicap sebagai keyakinan orang-orang kafir dan harus diakhiri. Puncaknya, pada 1969, Aluk Nene’ harus ‘merapat’ kepada agama Hindu setelah pemerintahan awal Orde Baru menertibkan agama-agama di Indonesia pasca-G30S. Menurut Pemerintah Orde Baru, para penghayat kepercayaan dianggap tak bertuhan. Tuduhan itu juga dialamatkan kepada pengikut komunisme yang gencar diburu oleh Pemerintah saat itu. Untuk keperluan keamanan, para pemuka Aluk Nene’ mencari alternatif ‘naungan’ agar berlindung dari perburuan pasca 1965. Hindu menjadi payung pelindung bagi para penganut Aluk Nene’. Tak hanya Aluk Nene’, kepercayaan-kepercayaan lain seperti kepercayaan Kaharingan di Kalimantan dan kepercayaan Tengger di Jawa Timur pun masuk dalam kategori Hindu, menghindari stigma ‘tak-bertuhan’.
Dalam praktiknya, Aluk Nene’ tidak menjalankan ritual keagamaan sebagaimana umat Hindu Bali. Contoh paling kentara adalah tidak adanya Pura sebagai sarana ibadah komunal bagi para pemeluk Aluk. Tempat ibadah, Alang Puang (lumbung padi agung), berada di masing-masing tondok (setingkat kampung atau dukuh) dan tak sembarang bisa diidentifikasi secara kasat mata oleh para pendatang. Tampilan bangunan Alang Puang sama seperti Alang (lumbung padi) pada umumnya. Bedanya, Alang Puang ditunjuk dari Alang milik seorang penduduk berdasarkan musyawarah satu tondok.
Meski begitu, pemeluk Aluk Nene’ tidak lagi ambil pusing apakah mereka bagia Hindu atau penghayat kepercayaan (Segara et.al., 2019). Sebagaimana pernyataan seorang pemuka adat Simbuang, Paulus Rombelinggi, seorang Toraja tetap bisa menjadi Aluk Nene’ secara keyakinan dan praktik meski sudah memeluk agama Protestan, Katolik atau Islam. Realitas di lapang membuktikan, seorang penganut Protestan atau Katolik atau Islam. Realitas di lapang membuktikan, seorang penganut Protestan atau Katolik masih menjalankan ritual-ritual ajaran Aluk Nene’. Ajaran Aluk mengalami pergeseran yang cukup signifikan dalam memandang Aluk Nene’ dari agama baku yang kaku menjadi agama yang cukup cair dan sinkretis. Seorang pemeluk agama samawi bisa sekaligus menjadi seorang Aluk Nene’.
Tak Cukup Pengakuan Administratif
Jika menilik Putusan Mahkamah Konstitusi 97/2016, seharusnya Aluk Nene’ tak lagi menjadi ‘cabang’ dari agama Hindu. Namun, sekali lagi bahwa pengakuan formal semata tidak akan bekerja maksimal jika tidak melihat dari kondisi di lapangan. Sebagaimana dua pengalaman saya di atas bahwa stigma masih sangat kuat terhadap pemeluk Aluk Nene’ dan ini menyebabkan mereka menjadi kelompok rentan terhadap diskriminasi.
Sebagai kepercayaan yang dipeluk dan dihayati mayoritas Masyarakat Adat, Aluk Nene’ memerlukan landasan hukum yang lebih kuat lagi selain Putusan MK. Di antaranya melalui pengakuan Masyarakat Adat Simbuang beserta kepercayaan Aluk Nene’ perlu diperkuat dengan mendorong RUU Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat menjadi landasan penting dalam melindungi Masyarakat Adat Simbuang yang masih memeluk kepercayaan Aluk Nene’ dan dijamin keberadaan dan eksistensinya.
Konsekuensinya perlu adanya penjaminan lebih intens meliputi perlindungan wilayah adat dan sistem pendidikan adat yang dapat mengakomodasi kepercayaan Aluk Nene’ di Simbuang. Sebagai Masyarakat yang memandang padi sebagai sesuatu yang sakral, maka hal yang terkait dengan tanah (meliputi sawah, hutan, padang penggembalaan kerbau, kebun-kebun sumber pangan selain padi sawah dan sumber air) adalah sakral dan tak lepas dari kosmologi ajaran Aluk Nene’.
Perlindungan terhadap wilayah adat Simbuang sangat esensial. Pasalnya, kini wilayah adat Simbuang hampir sebagian besar diklaim sebagai kawasan hutan yang langsung dikuasai Negara. Tak hanya itu, berdasarkan aturan RTRW Tana Toraja 2011-2031, kawasan hutan lindung di Simbuang mencapai 16.970 ha, sedangkan menurut data BPS Tana Toraja (2019), kawasan hutan ‘hanya’ mencapai 10.486 ha. Dalam data yang sama, kawasan ‘lainnya’ yang meliputi padang penggembalaan kerbau dan sawah yang diistirahatkan mencapai 6.107 hektar. Dari data tersebut, wilayah adat Simbuang rentan mengalami pencaplokan tanah atas klaim kawasan hutan negara dan mengancam eksistensi kosmologi kepercayaan Aluk Nene’ di Simbuang.
***
Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan penulis sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
sumber: https://infid.org/pengakuan-saja-tak-cukup-menjamin-hak-hak-pemeluk-aluk-nene-di-simbuang/