Penelitian Media dan Micro Minority dari MediaLink, Bagaimana Media Membentuk Pandangan terhadap Kelompok Minoritas?

Loading

Penulis: Gresy Kristriana

Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI

Gambar 1: Rapat MediaLink terkait Media Monitoring dan Micro Minority pada 11 Juli 2024
Sumber: Arsip Dokumentasi MediaLink

Jakarta, 11 Juli 2024 – Perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan tak terkendali menuntut media untuk terus memetakan ulang posisi dan fungsinya di tengah perubahan yang dinamis. Di tengah derasnya arus informasi, media tetap dituntut menjalankan fungsi idealnya, yaitu memberikan informasi, mendidik, dan menghibur masyarakat secara berimbang dan adil. Namun dalam praktiknya, media kerap terjebak dalam bias pemberitaan, terutama saat menyentuh isu-isu sosial sensitif karena tak lepas dari tekanan politik dan kepentingan ekonomi.

MediaLink lewat konsorsium Program INKLUSI telah berinisiatif membuat forum diskusi yang membahas permasalah ini dengan agenda tentang pembahasan laporan hasil penelitian media monitoring bertema “Media & Micro Minority”. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid bertempat di kantor Medialink, Tebet, Jakarta Selatan pada 11 Juli 2024. 

Acara ini dihadiri oleh anggota konsorsium Program INKLUSI seperti INFID, Yayasan SETARA, Yayasan Inklusif, Ma’arif Institute, Fatayat NU Jawa Barat, dan Unika Soegijapranata, maupun dari komunitas yang menjadi fokus pemberitaan seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Penghayat Kepercayaan Boedi Daya, Laduni, dan Ahlul Bait Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mempratinjau dan memperkaya laporan monitoring terhadap bagaimana media online memberitakan isu-isu terkait kelompok minoritas mikro, khususnya Yahudi, Syiah, dan Penghayat Kepercayaan, sepanjang tahun 2023 hingga Maret 2024.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi, yaitu metode yang mempelajari berbagai bentuk komunikasi seperti berita online untuk mengetahui kecenderungan isi dan makna yang disampaikan dalam konteks sosial-politik tertentu. Kerangka teori yang digunakan mengacu pada pandangan Francesco Capotorti, yang mendefinisikan micro minority sebagai kelompok yang secara numerik sangat kecil dan secara struktural tidak memiliki kekuatan, sehingga rentan terhadap diskriminasi dan persekusi. Dalam konteks Indonesia, kelompok Yahudi, Syiah, dan Penghayat Kepercayaan dikategorikan sebagai micro minority karena populasinya sangat kecil dan cenderung tidak memiliki perlindungan memadai meskipun konstitusi menjamin kebebasan berkeyakinan.

Dari hasil penelitian yang dipaparkan dalam diskusi tersebut, ditemukan bahwa selama periode Januari–Desember 2023 hingga Januari–Maret 2024, terdapat total 1.585 berita yang memuat isu tentang ketiga kelompok ini. Pemberitaan mengenai Yahudi menempati posisi terbanyak dengan 814 berita, disusul oleh Syiah dengan 445 berita, dan Penghayat Kepercayaan sebanyak 326 berita. Media-media yang memuat isu-isu ini antara lain BBC, Kompas.com, Republika, Antara, Detik, JPNN, Tribun, Liputan 6, Viva, Kumparan, Sindonews, CNNIndonesia, CNBC, dan media-media lainnya.

Namun, temuan penting dari riset ini bukan hanya pada jumlah beritanya, melainkan pada kecenderungan narasi dan sumber yang digunakan. Mayoritas pemberitaan tentang Yahudi dan Syiah menggunakan sumber dari luar negeri, seperti konflik Timur Tengah, politik luar negeri Israel dan Iran, serta peristiwa global lain yang mempengaruhi cara media Indonesia menyoroti kedua kelompok ini. Sebaliknya, isu tentang Penghayat Kepercayaan lebih banyak bersumber dari konteks lokal dan menyentuh persoalan hak sipil, diskriminasi, dan kebijakan negara yang masih ambigu dalam memberikan perlindungan terhadap mereka.

Diskusi mengungkap bahwa sebagian besar pemberitaan media bersifat netral, dengan tone netral mencapai 88 persen dari total berita yang dianalisis. Sisanya, sebanyak 9 persen memiliki tone positif, dan hanya 3 persen yang bernada negatif. Meski netral terkesan aman, para peserta diskusi menilai bahwa netralitas media terhadap isu sensitif bukan berarti tanpa masalah. Banyak media cenderung bermain aman untuk menghindari reaksi masyarakat, padahal sikap seperti ini justru membuat suara kelompok rentan tidak terdengar secara bermakna. 

Lebih lanjut, penelitian juga menyoroti minimnya penerapan prinsip cover both sides oleh media. Hanya 14 persen dari total berita yang memenuhi prinsip jurnalisme berimbang, sementara sisanya tidak memberikan ruang yang cukup bagi narasumber dari kelompok yang diberitakan. Ini menunjukkan bahwa praktik jurnalistik di Indonesia masih belum sepenuhnya berpihak pada prinsip keadilan informasi, terutama dalam isu-isu yang menyangkut kelompok minoritas mikro.

Diskusi berjalan dengan dinamis, diwarnai masukan-masukan kritis dari peserta. Salah satu poin penting yaitu agar klasifikasi kelompok micro minority tidak hanya berdasarkan jumlah populasi, tetapi juga mempertimbangkan sejauh mana negara memenuhi hak-hak dasar kelompok tersebut. Selain itu, masukan lain yang tak kalah penting adalah bagaimana penelitian ini dapat diterjemahkan dalam bentuk aksi nyata, seperti rekomendasi strategis dan rencana tindak lanjut. 

Karena jika media gagal menghadirkan narasi yang adil, maka yang terjadi adalah penyebaran stigma dan ketimpangan. Maka dari itu diperlukan komitmen kolektif agar media tidak sekadar menjadi penyalur informasi, tetapi juga hadir sebagai ruang yang adil bagi masyarakat.

Melalui forum diskusi ini, terlihat bahwa kerja monitoring media terhadap isu kelompok minoritas tidak cukup hanya berhenti pada pengumpulan data. Ia harus menjadi batu pijakan untuk membangun gerakan perubahan, baik di tingkat media, kebijakan, maupun kesadaran publik. Sebab dalam masyarakat yang majemuk, keadilan informasi adalah kunci bagi keterikatan, saling percaya, dan berkolaborasi meskipun memiliki perbedaan latar belakang.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content