Pelatihan LOVE Seri Lamongan: Temuan Dinamika Inklusivitas maupun Strategi Penyelesaian

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

MAARIF Institute kembali mengadakan Pelatihan LOVE (Living Our Values Everyday) di Lamongan, Jawa Timur pada 13-15 September 2023. Pelatihan LOVE ini bertujuan untuk mengajak para guru merefleksikan diri, orang lain, dunia, dan nilai-nilai yang terintegrasi. Melalui pelatihan ini, para guru didorong untuk memahami dampak tindakan mereka terhadap orang lain dan bagaimana mereka dapat membuat perbedaan. Hal ini dilakukan untuk membangun kesadaran dan kepekaan terhadap isu inklusi sosial.

Pelatihan LOVE telah menghimpun 20 peserta yang terdiri dari guru-guru agama SMA/MA/SMK dengan latar belakang lintas agama dan lintas organisasi keagamaan. Para peserta berasal dari berbagai organisasi seperti Muhammadiyah, NU, Penghayat Kepercayaan, Kristen Katolik, dan Protestan.

Pelatihan LOVE berusaha untuk mengeksplorasi nilai-nilai pribadi dan sosial sebagai potensi untuk menghidupkan kesadaran dan menajamkan kepekaan terhadap isu inklusi sosial. Para peserta juga diajak untuk memahami nilai personal sebagai harga diri dan kesetaraan seseorang, serta belajar nilai-nilai berbeda dari orang lain untuk saling menghargai dan menciptakan koeksistensi dalam kehidupan yang damai dan inklusif. Selain itu, pelatihan ini juga menyasar pada keadaan masalah-masalah sosial dan menguatkan inklusivitas sebagai bentuk kepedulian untuk menumbuhkan nilai-nilai dasar kesadaran akan keberagaman baik melalui teori maupun kesadaran reflektif.

Pelatihan LOVE berfokus pada penguatan nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan. Salah satu indikator kunci yang ingin dicapai adalah terbangunnya kesadaran inklusi dalam dunia pendidikan. Dinamika sosial-keagamaan di dalam diri peserta dalam memandang realitas sosial yang beragam juga menjadi salah satu fokus utama.

Dr. Moh. Shofan membuka pelatihan dengan membahas tiga dosa besar dalam pendidikan: intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan. Pendekatan inklusif diharapkan mampu mengikis ketiga dosa besar tersebut. Menurut Shofan, pendidikan adalah investasi kemanusiaan yang memberikan ruang-ruang keterbukaan dalam aspek afektif, moralitas, spiritualitas, dan sensitivitas. Ukuran pendidikan bukan hanya nilai dan prestasi, tetapi kedalaman pemikiran, kepekaan terhadap lingkungan sosial keagamaan, dan kemanusiaan.

Pelatihan ini diawali dengan seminar tentang pendidikan inklusi yang menghadirkan narasumber seperti Farid Dhofir, Piet H. Khaidir, dan Ali Zulfikar dengan Imroatul Munawaroh sebagai moderator. Farid Dhofir menjelaskan pentingnya keterbukaan dalam relasi sosial-keagamaan, sementara Piet H. Khaidir menekankan bahwa relasi inklusivitas dalam agama dan keragaman harus memiliki manajemen yang baik. Ali Zulfikar menyoroti pentingnya upaya menangani kekerasan seksual yang sering melibatkan orang terdekat seperti guru.

Tantangan dan Strategi Menuju Pendidikan yang Inklusif

Pelatihan LOVE di Lamongan difasilitasi oleh Dr. Muqowim, M.Ag. dan Triarani Susy Utami. Pada sesi pertama, aktivitas diawali dengan bina suasana peserta, kelas inklusi sosial untuk diri sendiri dan orang lain, serta nilai-nilai pribadi dan sosial. Kegiatan tersebut dipantik untuk membangkitkan kesadaran akan pengenalan diri menuju ruang-ruang inklusi. Salah satu sesi yang menarik yaitu latihan untuk Silent Walking Meditation untuk meningkatkan fokus pada lingkungan sekitar. Kemudian, peserta membuat Pohon Inklusi dan Peta Inklusi dari lima kata dasar: Love, Understood, Value, Respected, Saved. Kegiatan ini membantu peserta memahami diri sendiri melalui analisis diri, penyusunan rencana aplikasi, dan evaluasi. Kemudian peserta diajak untuk melakukan refleksi nilai-nilai inklusi, resolusi konflik, dan penegasan nilai-nilai inklusi dalam diri setiap peserta. Sesi ini menitikberatkan pada pembacaan realitas sosial pendidikan yang masih bersifat eksklusif, dengan memetakan tantangan, strategi, dan dampak.

Pelatihan LOVE di Lamongan menunjukkan adanya pola penumbuhan gagasan inklusivitas dalam diri peserta. Mereka tidak hanya mengimajinasikan nilai-nilai inklusi dalam lembaga pendidikan, tetapi juga melahirkan gagasan inklusivitas dalam diri mereka melalui komunikasi dan pembauran. Pertemuan lintas kebudayaan dalam pelatihan ini menunjukkan keterbukaan komunikasi yang divisualisasikan dalam bentuk kerjasama, diskusi, evaluasi, dan penerimaan atas perbedaan.

Namun, pelatihan ini juga menghadapi beberapa masalah dan tantangan. Beberapa guru melaporkan bahwa kegiatan pembelajaran lintas agama masih belum bisa berjalan sepenuhnya karena kurangnya keterbukaan manajemen sekolah. Kegiatan inklusi sosial keagamaan cenderung menitikberatkan pada peran golongan mayoritas, sehingga mempengaruhi kebijakan dan komunikasi terkait kegiatan tersebut. Selain itu, temuan pelatihan ini menjelaskan bahwa, komunikasi terkait tentang perbedaan organisasi dan agama di lembaga pendidikan masih tertutup.

Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan beberapa strategi. Pertama, membangun kesadaran dan persepsi guru dalam melihat perbedaan dan keragaman melalui pendampingan dan pelatihan. Kedua,  guru sebagai pelaku inklusi dapat mempraktikan nilai-nilai inklusi dalam ruang-ruang pendidikan, seperti membangun aktivitas inklusi dalam proses pembelajaran, atau mengimplementasikan pada kebijakan dan kurikulum yang diterapkan di lembaga. Ketiga, melibatkan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan dan kebijakan adalah langkah strategis untuk mendorong penguatan nilai-nilai inklusi dalam pendidikan. Di dalam Pelatihan LOVE, guru-guru dilatih untuk mengembangkan keterampilan positif guna membangun inklusi sosial yang lebih baik. Dengan demikian, Pelatihan LOVE telah membantu para guru agama untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menyebarkan nilai-nilai keagamaan dengan menyisipkan nilai inklusi sosial. Hal ini perlu digiatkan agar perspektif pelajar dikuatkan dengan pengetahuan terkait keberagaman. Tentu dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti kepala sekolah, keluarga, pemerintah bahkan masyarakat untuk menuju pendidikan yang lebih inklusif.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content