Pelatihan LOVE Seri Ambon: Polemik Menuju Pendidikan Inklusif dan Strategi Lokal

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Sikap terbuka dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marjinal, masih lemah di kalangan pelaku pendidikan. Hal ini juga tercermin dari semakin maraknya paham ekstremisme di institusi pendidikan dan adanya eksklusivisme dalam buku teks pendidikan agama. Ambon memiliki sejarah konflik bernuansa agama yang berdampak pada kehidupan guru-guru agama di sana. Beberapa guru yang menjadi korban kerusuhan masih merasakan dampaknya hingga kini. Selain itu, guru-guru agama sering menghadapi tantangan dalam mewujudkan sekolah inklusif di tengah perubahan sosial yang cepat dan tidak terduga. Kurangnya pemahaman tentang kurikulum merdeka yang relevan dengan inklusi sosial-keagamaan juga menjadi kendala.

Hal ini diperkuat dengan beberapa lembaga pendidikan belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan. Pergantian pengelola lembaga pendidikan tidak selalu menjamin implementasi nilai-nilai inklusi dapat berkelanjutan. Kepentingan politik, terutama dalam konteks pilkada dan pilpres, sering kali mengganggu pelaksanaan nilai-nilai inklusi di sekolah dan kelembagaan.

Pelatihan LOVE (Living Our Values Everyday) yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute di Ambon merupakan sebuah inisiatif penting dalam upaya memperkuat nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan. Hal ini sebagai dorongan untuk menciptakan pendidikan yang inklusif untuk menjawab permasalahan dan tantangan yang terjadi di Ambon. Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari pada 27-29 November 2023, di The Natsepa Hotel, Ambon. Dengan melibatkan 23 guru agama dari berbagai latar belakang keagamaan. Pelatihan ini bertujuan untuk memahami, menghargai, dan menerapkan nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan dalam lingkungan sekolah.

Pelatihan diawali dengan seminar yang menghadirkan Hasbollah Toisuta (Direktur Yayasan Sombar Maluku), Abidin Wakano (Direktur ARMC IAIN Ambon), Nancy Soisa (Dosen UKIM Ambon), dan Zainal Arifin Sandia sebagai moderator. Hasbollah menekankan pentingnya pendidikan inklusi untuk mengikis intoleransi, kekerasan, dan bullying, serta menekankan peran guru dalam mewujudkan inklusi sosial di sekolah. Nancy Soisa menambahkan bahwa kita harus menjadi manusia yang setara dan adil, tanpa favoritisme, agar anak-anak Indonesia tumbuh dengan perasaan yang sehat. Abidin Wakano memperkuat argumen ini dengan menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan untuk meraih kemenangan dan harus dilihat sebagai karya Tuhan yang unik, terpilih, dan plural. Menurutnya, pendidikan inklusi adalah jalan utama untuk membentuk anak didik yang merdeka dan menghargai perbedaan.

Sama halnya dengan Pelatihan LOVE di kota-kota sebelumnya (Malang, Bekasi, Lamongan dan Manado) peserta diajak untuk saling berkenalan dan membangun kontrak belajar. Aktivitas Guardian Angel menjadi metode untuk membiasakan peserta melakukan hal positif secara diam-diam kepada rekan mereka. Peserta kemudian diharapkan memahami bahwa setiap orang adalah karya yang sempurna dengan pikiran positif dan kesadaran untuk bertumbuh. Peserta di Ambon banyak belajar untuk membangun nilai-nilai inklusi seperti saling peduli. Aktivitas kesadaran nilai inklusi sosial dan misi hidup menekankan pentingnya membangun hubungan yang positif dan baik dengan diri sendiri dan orang lain.

Peserta kemudian belajar cara mengidentifikasi problem solving di sekolah melalui konsep FIDS (Feel, Imagine, Do, Share). Melalui pendekatan FIDS, peserta diharapkan dapat menerima nilai diri, merefleksi diri, melakukan perbaikan, merencanakan perubahan, mengaplikasikannya, dan berbagi hasilnya. Selanjutnya, peserta diajak berimajinasi membuat miniatur lembaga pendidikan inklusi menggunakan media yang ada dengan menerapkan konsep 5P (Paradigm, Policy, Program, Personnel, dan Practice) yang mana peserta mampu menginterpretasikan dan memanifestasikan sekolah inklusif.

Pada hari terakhir, peserta merefleksikan efektivitas strategi mendengar aktif dan diarahkan untuk menyelesaikan konflik dengan menjadi mediator yang netral. Peserta diarahkan untuk membentuk posisi saling berhadapan, satu barisan berperan sebagai pendengar dan barisan lain sebagai pencerita. Kegiatan ini menggunakan metode pendekatan pengalaman untuk mengajarkan nilai mendengarkan dengan baik, yang merupakan salah satu nilai inklusi sosial yang harus diterapkan oleh seorang guru.

Dalam proses pelatihan, peserta bersama dengan fasilitator mengidentifikasi isu temuan dan langkah strategis yang perlu dilakukan, yaitu, pertama pentingnya komitmen semua pemangku kepentingan pendidikan dalam mengimplementasikan nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan, terlebih dalam konteks kurikulum merdeka. Kedua, Para guru agama perlu terus ditingkatkan kualitas, kapasitas dan kompetensinya terutama terkait paradigma inklusi sosial-keagamaan. Ketiga, diperlukannya sinergi semua pihak, baik lembaga pendidikan, organisasi keagamaan dan keluarga untuk memperkuat nilai-nilai inklusi sosial keagamaan, Keempat, hadirnya wadah bagi guru agama lintas iman untuk terus berbagi dan berefleksi terkait pengalaman menghidupkan nilai-nilai inklusi sosial dan mendiseminasikan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, termasuk media sosial berbagai platform. Pelatihan LOVE yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute di Ambon telah berkontribusi dalam memberikan pemahaman dan kesadaran baru tentang nilai-nilai inklusi sosial-keagamaan kepada para peserta. Melalui berbagai aktivitas dan refleksi, peserta diajak untuk menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan mereka dan lingkungan sekolah. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, strategi yang tepat dan komitmen semua pihak dapat membantu mewujudkan sekolah inklusif untuk menghargai keberagaman dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua siswa.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content