Penulis Fawwaz Ibrahim, Program and Social Media Officer 21 Maret 2024

JAKARTA – Sejumlah peserta pelatihan “Pendidikan Ramah Hak Asasi Manusia (HAM) bagi Guru PAI” menyatakan bahwa nilai-nilai HAM merupakan prinsip penting yang harus diterapkan di sekolah. Para peserta yang terdiri dari guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Wakil Kepala Sekolah, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah dari Bogor, Depok, Subang, Sumedang, dan Kuningan ini telah membuat rencana aksi di wilayah masing-masing.
Satu diantaranya disampaikan oleh Talimin, S. Pd., M. Pd, pengawas sekolah Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Provinsi Jawa Barat, yang memulai karirnya di dunia pendidikan sejak 1997. Talimin menyampaikan bahwa pengawas sekolah memiliki peran besar dalam mendorong perubahan pendidikan terutama melalui implementasi kebijakan dan pendampingan ke guru-guru dan kepala sekolah.
“Saat ini, guru banyak pertimbangan, serta ketakutan dalam mendidik murid. Guru perlu memahami prinsip-prinsip HAM supaya mereka tidak melanggar namun memperkuat hak murid. Guru bukan hanya bertugas untuk memberikan pengetahuan tapi juga membentuk karakter murid. Oleh karena itu, pemahaman mengenai instrumen regulasi adalah yang paling tepat diberikan kepada guru dan tenaga kependidikan”, terang Talimin.
Talimin juga menceritakan bahwa, di satuan pendidikan, nilai HAM menjadi penting untuk melindungi keragaman yang ada di lingkungan pendidikan. Misalnya, yang paling dekat ditemukan adalah keragaman karakter murid, serta strata sosial ekonomi. Untuk mengetahui keragaman yang ada di lingkungan pendidikan, sekolah saat ini juga melaksanakan asesmen kognitif dan non kognitif yang dapat dijadikan sebagai data untuk mitigasi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM di lingkungan satuan pendidikan.
“Saya mendorong para guru PAI mengambil peran menjadi TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan) yang biasa diambil alih oleh manajemen sekolah. Seharusnya TPPK melibatkan seluruh pihak yang ada di lingkungan sekolah, dan saya merasa bahwa aturan dan peran ini sangat erat kaitannya dengan HAM di lingkungan pendidikan”, tutur Talimin.
Talimin juga menyampaikan bahwa apa yang didapatkan dalam proses pelatihan HAM, akan dibagikan di Kantor Cabang Dinas Pendidikan VIII sebagai rencana tindak lanjut. Selain itu, Talimin mengapresiasi pelatihan ini karena membantunya mengintegrasikan nilai HAM dengan pembinaan karakter murid, serta regulasi terbaru untuk menciptakan sekolah aman dan nyaman.
Beragam Strategi Guru Mengimplementasikan HAM di Sekolah
Elok Mufidah, M.Pd, guru dari Bogor menyatakan bahwa nilai HAM merupakan nilai penting yang harus diterapkan di sekolah untuk melindungi keragaman identitas murid.
“Menurut saya HAM merupakan hal-hal pokok yang penting dan harus ada di lingkungan pendidikan. Sebagai guru, nilai tersebut dikontekstualisasikan di sekolah dan kelas yang kita ampu. Alhamdulillah, sekolah negeri saya memiliki banyak murid non-muslim dan mungkin satu diantara yang terbanyak di kota Bogor.”
Pasca pelatihan, Elok merefleksikan beberapa kegiatannya di sekolah, seperti inspeksi mendadak (sidak) kosmetik untuk murid perempuan dan rambut panjang untuk murid laki-laki. Menurutnya, cara-cara seperti itu perlu dievaluasi supaya terwujud rasa aman dan nyaman untuk murid.
“Dalam sidak selanjutnya, kami akan melakukan proses komunikasi kepada murid agar tidak terlalu tegang dan khawatir, karena saat saya melihat dokumentasi foto ternyata memang nampak kekhawatiran di wajah anak-anak”, terang Elok. Kesadaran dan refleksi tersebut muncul setelah menjalankan sesi analisis tata tertib di sekolah.
Di lain tempat Ema Fauziah, guru dari SMA Negeri di Sumedang berefleksi, dalam proses analisis tata tertib sekolah ternyata baru menyadari bahwa ada beberapa tata tertib di sekolah yang tidak ramah HAM.
“Kami menyadari bahwa ada peraturan yang sebaiknya diubah, namun memang hal itu perlu dikomunikasikan dahulu kepada manajemen dan kawan sejawat di sekolah”, tutur Ema.
Ema tidak menyangka bahwa guru PAI juga dapat berkontribusi besar dalam memajukan nilai-nilai HAM di kelas dan sekolah. Selama ini dia menganggap bahwa pemajuan HAM di sekolah hanya identik dengan guru pendidikan kewarganegaraan.
“Sejujurnya, awalnya saya kebingungan, mengapa pelatihan HAM ditujukan kepada guru PAI, namun setelah mengikuti pelatihan saya menyadari bahwa HAM itu identik dengan pendidikan agama Islam itu sendiri, misalnya kita mempelajari berbagai dokumen nasional dan internasional terkait HAM, dalam pelajaran PAI memang tidak sedetail yang ada di dokumen namun saya merasa, dokumen tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman”, terang Ema Fauziah.
Ema juga menyebutkan, pelatihan HAM bagi guru PAI ini menjadi inspirasi pengelolaan program dan tata tertib di sekolah yang lebih ramah HAM ke depan. Meskipun Ema sadar bahwa guru bukan pemegang kebijakan di sekolah. Namun, Ema akan mendorong kepala sekolahnya untuk memberikan penguatan kesadaran nilai HAM ke semua stakeholder sekolah.
Terinspirasi dari pelatihan, Ema menyatakan akan mengadopsi aktivitas guardian angel sebagai salah satu bentuk implementasi nilai HAM di sekolah. Menurutnya, aktivitas ini dapat menjadi media belajar murid untuk saling menjaga satu sama lain agar terhindar dari kekerasan dan perundungan di satuan pendidikan.
Para peserta menyampaikan terimakasih kepada Yayasan Cahaya Guru dan INFID yang membantu memahami HAM lebih dekat. Mereka juga berharap pelatihan serupa menyasar kepada guru bimbingan konseling, pembina OSIS dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk memperkuat ekosistem sekolah ramah HAM. [FI/MM]
=========
Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama Yayasan Cahaya Guru dan INFID dalam kerangka Konsorsium INKLUSI. Program INKLUSI memiliki fokus dalam memberdayakan kepemimpinan untuk memperkuat kebebasan beragama dan berkeyakinan serta masyarakat yang tangguh di sektor-sektor strategis utama: Media Massa, BUMN, Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan, Kepemimpinan Perempuan, dan Sosial Media. Konsorsium INKLUSI beranggotakan INFID, Maarif Institute, Perkumpulan Media Link, PW Fatayat NU Jawa Barat, PW Fatayat NU Jawa Timur, SETARA Institute, UNIKA Soegijapranata, dan Yayasan Inklusif.
Editor: Muhammad Mukhlisin, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru