Oleh: Dhilla Nur’aeni Az-zuhri, S.Pd (Sekretaris Fatayat NU Kota Bandung, aktivis Perempuan dan sebagai Kepala Sekolah SMA Ma’arif Bandung)
Ada orang yang bilang, bergaul dengan yang beda agama bisa membuat iman kita goyah. Tapi, ketakutan seperti itu tidak selalu terbukti. Pengalaman saya malah menunjukkan cerita lain.
**
Cerita ini terjadi pada tahun 2018. Waktu itu, usia kandungan saya sudah menginjak bulan kelima. Suatu pagi saya kontrol kehamilan dan bersiap untuk cek USG di malam harinya. Namun saat USG, saya dibuat mematung karena pernyataan bidan dan dokter praktek: “janin yang Ibu kandung berhenti berkembang, sudah tidak bernyawa”.
Mendengarnya, saya percaya tidak percaya. Ujungnya jelas, kecewa juga sedih. Dunia rasanya runtuh. Semua harapan pupus seketika. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis sejadi-jadinya untuk meratapi peristiwa tersebut.
Bohong jika saya tidak sedih dan kecewa. Saya sempat mengumpat, “Tuhan tidak adil!”. Peristiwa itu terjadi saat Idul Fitri, di saat semua orang bersukacita dalam nuansa lebaran, saya harus masuk rumah sakit menjalani proses kuret untuk membersihkan keguguran janin.
Pasca kuret, saya dimasukan ke ruang rawat inap ibu nifas. Di sana terdapat beberapa ibu yang baru melahirkan disertai ranjang bayi di sampingnya. Melihat itu, dunia kok rasanya makin hancur. Seharusnya saya masuk ruangan bersama bayi saya. Tapi faktanya tidak, ranjang bayi ini kosong. Saat mendengar tangisan bayi dari sebelah, saya menutup mata, tak mau melihat ranjang bayi kosong di samping saya.
Ini merupakan masa-masa awal pernikahan kami. Saya tahu persis, suami dan keluarga besar juga mengalami guncangan kesedihan ini. Kami diuji dengan hal yang sangat berat untuk ditanggung.
**
“Selamat siang, Bu. Semoga Ibu segera pulih dan sehat kembali ya!” sapa seorang dokter Obgyn saat memeriksa. Saya memaksakan diri tersenyum. Masih belum bisa menerima peristiwa buruk ini.
“Saya tahu kok Bu, beratnya seperti apa. Tentu Ibu sangat kecewa dan sedih. Tapi ini bisa jadi pesan dari Tuhan. Tuhan pasti memberikan makna dan pelajaran dari peristiwa ini. Mungkin ada yang terbaik disediakan untuk Ibu.” Nada bicaranya halus, membuat air mata saya terus mengalir.
“Tidak ada yang perlu dikecewakan, Bu. Ini dari Tuhan. Takdir Tuhan yang harus diterima oleh hamba-Nya. Jika Tuhan berkehendak untuk Ibu memiliki anak secepat itu, ya Tuhan akan takdirkan. Jika Tuhan masih belum berkehendak, Tuhan akan berikan nanti saat Ibu sudah siap” tutur nya lagi.
“Tugas kita hanyalah berusaha, berikhtiar dan berencana. Tetap yang menentukan hanyalah Tuhan. Agama kita mungkin beda Bu, tapi anjuran untuk mengimani takdir Tuhan sama. Hanya beda versi kata-kata saja, Bu.”
Mendengar itu, saya mengusap air mata dan duduk tegak. Saya mengangguk dan mulai tersenyum malu. Agama yang saya anut mewajibkan saya untuk mengimani qodho dan qodar, alias takdir Tuhan. Jujur, saya masih lalai. Padahal kuasa Tuhan yang selama ini saya alami, tentu lebih dari rasa sakit hari ini. Mengapa dokter itu begitu lekat dengan hal yang saya imani ini, sedangkan saya sendiri tidak?
Pulang dari rumah sakit, saya dibekali banyak pengalaman. Yang utama adalah urusan keimanan kepada Allah. Saya sadar saya begitu lemah, hingga berpaling dari nikmat yang telah Allah berikan selama ini. Perlahan saya mulai menerima kenyataan. Setiap manusia memiliki ceritanya masing-masing yang tentu sudah Allah buatkan skenarionya jauh-jauh hari di lauhul mahfudz.
Saya mulai kembali beraktivitas dan menjalankan kehidupan selanjutnya, dengan bekal keimanan yang telah ditampar oleh sang dokter. Hari-hari saya jalani dengan penuh semangat untuk menata kembali masa depan. Menyusun kembali mozaik-mozaik cerita indah kehidupan yang sempat tertunda. Meraih kembali cita dan asa yang terpendam.
**
Di awal kehamilan dulu, saya biasa memeriksakan diri ke seorang bidan. Bidan tersebut bernama Ravica. Beliau sudah sangat lama sekali membuka praktek menangani ibu hamil dan membantu persalinan. Banyak pasien yang percaya dan memeriksakan diri kepadanya. Setahu saya, Bidan Ravica memang beragama Kristen. Namun, tentu itu bukanlah masalah. Ia sangat handal dan profesional dalam bekerja.
Suatu hari, saya kembali periksa ke Bidan Ravica. Bertanya apakah rahim saya sudah siap untuk hamil kembali pasca keguguran. Jawaban bidan membuat saya sangat kaget, “Bukan hanya saya sudah siap untuk hamil, nyatanya dalam rahim ini sudah bersemayam janin”.
Saya masih tak percaya, meski bidan telah mendengarkan detak jantung janin melalui alat ultrasound. Suaranya semakin jelas dan semakin teratur.
“Bu Bidan, apa benar saya hamil lagi?”
“Iya, selamat ya, Bu!” Jawabnya sumringah.
Saya menunduk dan mulai merasakan adanya trauma dalam diri saya. “Saya nggak percaya, Bu Bidan. Saya takut…” ucap saya lemah.
“Ya Tuhan… Ibu tidak percaya? Baik ya, akan saya bawa ke ruangan USG dan perlihatkan janinnya.”
Bidan Ravica membawa say ke Ruang USG dan benar apa yang ia katakan. Janin yang bersemayam dalam rahim saya sedang bergerak-gerak aktif. Bentuknya masih kecil.
“Benar kan, Bu? Tuhan hadirkan kembali malaikat kecil itu di rahim Ibu. Ini mukjizat Tuhan, Bu. Ibu harus percaya ini,” tuturnya lembut tapi tegas.
“Saya trauma, Bu… Saya takut…” Saya mengatakannya dengan situasi hati yang benar-benar gelisah.
“Ibu percaya Tuhan itu ada? Kalau Ibu percaya, Ibu harus mempercayai bahwa takdirnya pun ada,” katanya lagi.
“Jika Tuhan takdirkan ini untuk Ibu, maka selamanya akan menjadi milik Ibu. Jika Tuhan takdirkan bukan untuk Ibu, maka selamanya tidak akan menjadi milik Ibu. Lagi pula anak adalah titipan Tuhan Bu. Kapan saja bisa Tuhan ambil. Ini Tuhan sudah berikan untuk Ibu….”
“Hidup tak selamanya pahit, Bu. Ada saatnya untuk bahagia. Hari ini Ibu berhak bahagia merayakan kebesaran dan keajaiban Tuhan memberikan detak jantung pada janin di rahim Ibu. Bersyukur, ya Bu?”
Saya tak dapat membendung air mata saya sambil memeluk erat Bidan Ravica, menangis sesenggukan. Tak tahu apa arti tangisan ini. Lagi-lagi, saya diingatkan orang lain yang berbeda agama tentang arti keyakinan dan keimanan.
Kini saya mengerti apa yang Allah berikan adalah ketentuan-Nya yang terbaik. Tak selamanya badai itu menerjang. Ada kalanya badai berlalu dan meninggalkan kita. Apa yang telah Allah takdirkan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita. Ada makna dan ibrah, pelajaran di balik semua itu. Herannya, hal itu diajarkan kepada saya oleh dokter dan bidan yang bukan beragama Islam.
** Pengalaman ini selalu menjadi refleksi untuk diri saya sendiri. Bagaimana kita bisa berinteraksi dengan tulus bersama rekan lintas agama. Bahkan mereka bisa menjadi penguat iman di saat kita lemah. Tidak perlu khawatir untuk goyah, ada banyak ketulusan disediakan Allah di sekitar kita.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”