oleh: Ryan Richard Rihi
editor: Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Jakarta, 19 Januari 2024 – Dalam upaya mengarusutamakan tata kelola pemerintahan yang inklusif, SETARA Institute menggelar Workshop Penulisan Modul “Inclusive Governance” untuk Masyarakat Sipil di Hotel Ashley, Jakarta Pusat.
Kegiatan ini mengundang para ahli dan pegiat isu toleransi untuk memberikan masukan yang komprehensif terhadap rancangan modul pelatihan bagi organisasi masyarakat sipil (OMS) dan komunitas lokal untuk mengadvokasikan isu-isu keberagaman melalui kerangka tata kelola inklusif.
Latar belakang penyelenggaraan workshop ini berawal dari inisiatif SETARA Institute yang sejak 2015 rutin merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT). Melalui IKT, SETARA Institute mengukur praktik-praktik toleransi di 94 kota di Indonesia dengan melihat seberapa besar kebebasan beragama/berkeyakinan yang dijamin dan dilindungi, serta menyandingkannya dengan realitas perilaku sosial kemasyarakatan dalam tata kelola keberagaman kota.
Melihat bahwa inisiatif IKT ini mendapatkan respons positif, penulisan modul “Inclusive Governance” ini lantas diadakan untuk mewujudkan kondisi kehidupan yang lebih toleran.
Modul ini nantinya akan digunakan untuk penguatan kapasitas terhadap sistem, manajemen, sikap, serta tindakan pemerintah dan masyarakat dalam menjawab dan menyikapi berbagai permasalahan mengenai isu-isu intoleransi, diskriminasi, dan ekstremisme yang sering kali menjadi penyebab disharmoni.
Workshop ini didahului dengan paparan mengenai tujuan dan rencana isi modul. Ada pun nantinya modul ini akan digunakan untuk pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat sipil dan komunitas lokal yang bekerja pada isu keberagaman dalam melakukan advokasi.
Dalam desain awal, modul ini akan memuat beberapa materi penting dengan sistematika berikut ini: Pengantar Training dan Pre-Test; Mengenal Indonesia; Toleransi sebagai Kunci dalam Promosi Keberagaman; Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme Berbasis Kekerasan sebagai Ancaman Serius bagi Keberagaman; Pemetaan Aktor; Advokasi Kebijakan dan Kampanye untuk Keberagaman; Praktik Advokasi dan Rencana Tindak Lanjut; serta, Post Test.
Setelah paparan mengenai tujuan dan desain modul, workshop dilanjutkan dengan tanggapan oleh ahli dan peserta yang hadir. Yuniati Chuzaifah, pegiat HAM perempuan yang hadir sebagai pembicara ahli, menekankan pentingnya perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pengantar dalam modul pelatihan ini.
“Perspektif HAM harus jadi pengantar: (meliputi) hak melekat, berkepercayaan dan menjalankannya, bebas diskriminasi, rasa aman, terlibat dan tidak terlibat dalam budaya, due diligence,” ujarnya.
Chuzaifah juga menegaskan perlunya mengarusutamakan isu gender dan inklusivitas dalam modul. Selain itu, ia menekankan pentingnya memahami interseksi antara gender dan toleransi-keberagaman. Ia menyoroti bagaimana kerentanan berlapis yang dialami perempuan berkaitan dengan isu ini, pengaruh maskulinitas, hingga agensi perempuan sebagai perawat perdamaian.
Sementara itu, Muhammad Mukhlisin dari Yayasan Cahaya Guru turut memberikan masukan dalam Workshop Penulisan Modul “Inclusive Governance” ini. Ia menekankan pentingnya pemahaman yang jelas tentang konsep advokasi kepada peserta pelatihan.
Mukhlisin juga menggarisbawahi perlunya human-centered design dalam penyusunan modul, di mana kebutuhan peserta harus dipahami terlebih dahulu. Selain itu, untuk memaksimalkan efektivitas pelatihan, ia menyarankan agar dilakukan asesmen kebutuhan di awal terkait kebutuhan OMS untuk pelatihan, serta profiling peserta dari OMS yang akan dituju.
Setelah para ahli yang hadir memberikan tanggapannya, workshop dilanjutkan oleh tanggapan peserta aktif yang hadir. Sherly dari MediaLink mengusulkan agar modul dibedakan antara pelatihan dasar dan master class, dengan penekanan pada studi kasus dan curah pendapat untuk mengidentifikasi kasus yang berbeda-beda antar daerah.
Sementara itu, Iwan Misthohizzaman dari INFID menekankan pentingnya menentukan target OMS pasca pelatihan, apakah untuk advokasi atau tujuan lainnya, serta sasaran advokasi yang ingin dicapai.
“Bekali peserta dengan strategi komunikasi yang tepat sasaran yang bisa digunakan untuk advokasi,” saran Iwan.
Misthohizzaman juga menyarankan agar prioritas diberikan kepada peserta OMS yang memungkinkan untuk melakukan advokasi, seperti lembaga pendidikan. Di sisi lain, dalam hal pengukuran efektivitas pelatihan, ia mengusulkan tiga tahap: pengukuran pemahaman awal peserta, pre-test dan post-test untuk melihat peningkatan dan pertumbuhan, serta mengukur sejauh mana peserta menggunakan pemahaman dan keterampilan yang dilatihkan.
Tanggapan lain juga disampaikan oleh Latipah dari Yayasan Inklusif. Ia mengusulkan konsep maintenance peserta, di mana peserta dijadikan kader inklusif yang kemudian diberikan pelatihan lanjutan, seperti pelatihan Canva atau editing.
Workshop ini dihadiri oleh para ahli serta perwakilan dari beberapa lembaga seperti INFID, MediaLink, Yayasan Inklusif, Maarif Institute, Unika Soegijapranata, Fatayat NU Jawa Barat, Fatayat NU Jawa Timur, dan tim SETARA Institute. Masukan-masukan yang diberikan akan memperkaya perspektif penulis dalam menyusun modul pelatihan yang lebih komprehensif dan efektif bagi OMS dan komunitas lokal dalam mengadvokasi isu-isu keberagaman di daerah.