Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
–
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jawa Barat
Bandung, 21 Maret 2024 – Sebanyak 25 pemuda lintas iman dan latar belakang berkumpul di Grand Pasundan Convention Hotel, Bandung, untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik Inklusif: Jurnalisme untuk Kebangsaan dan Kesetaraan. Diselenggarakan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), pelatihan ini berlangsung pada 20–21 Maret 2024 menjadi ruang strategis bagi lahirnya jurnalis warga yang peka terhadap isu toleransi, keberagaman, serta keadilan gender.
Pelatihan ini merupakan bagian dari aktivitas Program INKLUSI yang digagas konsorsium lembaga masyarakat sipil yang bertujuan untuk pemberdayaan kepemimpinan dalam memperkuat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan menjadikan masyarakat tangguh di sektor strategis. Fatayat NU Jawa Barat merupakan salah satu anggota konsorsium Program Inklusi yang menginisiasi modul dan pelatihan Jurnalistik Inklusi untuk Kebangsaan dan Kesetaraan. Materi yang disampaikan mencakup peran dan etika jurnalisme dalam moderasi beragama, jurnalisme lintas agama, jurnalisme berperspektif perempuan, menangani konflik berbasis agama dalam berita, mengubah paradigma siaran pers, hingga praktik jurnalisme.
Peran Jurnalisme di dalam Moderasi Beragama
Pada materi pertama yang disampaikan oleh Iip D. Yahya dari NU Jabar Online berkaitan dengan topik Peran dan Etika Peliputan Jurnalis dalam Moderasi Beragama yang menyampaikan bahwa , “idealnya media harus informatif, edukatif, penguatan untuk kelompok tertindas dan tetap relevan pada era saat ini. Kita kembali ke era media yang fair, tinggal membangun narasi yang kuat di masing-masing kelompok.”
Jawa Barat disebut sebagai salah satu provinsi dengan indeks intoleransi tinggi pada hasil Indeks Kota Toleran (IKT) dari SETARA Institute pada tahun 2024. Media massa, sebagai saluran utama penyebar informasi, sering kali justru memperparah situasi dengan narasi bias, sensasional, atau bahkan diskriminatif. Pelatihan ini menjadi jawaban atas kebutuhan mendesak akan jurnalistik yang tidak hanya informatif dan edukatif, tetapi juga berpihak kepada kelompok rentan, minoritas, dan terpinggirkan.
Pdt. Obe membagikan pengalamannya tentang diskriminasi penutupan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Dayeuhkolot di Bandung. Ia mengkritisi pemberitaan media yang lebih banyak memberi ruang kepada pelaku daripada korban, serta tidak menghadirkan emosi atau empati dalam narasi. Media dinilai cenderung netral, menghindar dari konflik, dan gagal mengedukasi publik.
“Media hari ini banyak yang diam. Padahal kita butuh narasi tandingan untuk menyuarakan yang tidak terdengar,” ujar Pdt. Obertina M. Johanis, M.Th., saat menyampaikan materi Jurnalisme Lintas Agama.
Ia menekankan bahwa media sangat strategis dalam membentuk opini publik, dan menjadi ruang edukasi, namun jika tidak berhati-hati bisa menjadi alat propaganda. Jika tidak ada narasi tandingan yang adil dan inklusif, kelompok minoritas akan terus terpinggirkan.
Jurnalis Inklusif sebagai Wadah untuk Merayakan Keberagaman
Ruang pelatihan menjadi tempat belajar yang hidup. Mulai dari saling bertukar tempat duduk untuk mengenal lintas komunitas, hingga bermain tebak kata dari materi trainer. Peserta tak hanya belajar secara teori, tetapi juga aktif berdiskusi, mengaitkan materi dengan pengalaman pribadi, hingga menuliskan rencana artikel berbasis komunitas masing-masing.
Beberapa kekhawatiran sempat muncul dari peserta, seperti takut tidak bisa menulis dengan baik atau kehabisan waktu karena kesibukan. Namun, semangat kolektif yang terbangun membuat mereka saling menyemangati.
“Saya suka menulis, harapannya bisa lebih jeli lagi menulis isu perempuan dan keberagaman. Kekhawatiran saya cuma satu, takut tidak bisa menulis artikel karena kesibukan,” kata Dhilla Nuraeni Az-Zuhri, peserta dari Fatayat NU Kota Tasikmalaya.
Pelatihan ini secara nyata menerapkan prinsip gender equality, disability, and social inclusion (GEDSI). Mulai dari keberagaman peserta, keterlibatan penyintas dan kelompok minoritas, hingga narasi yang berpusat pada pengalaman kelompok yang sering kali tidak diangkat media arus utama.
Misalnya, Dinda Sabila dari HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) Jawa Barat mendorong pentingnya representasi perempuan disabilitas dalam media. Ia bukan hanya hadir sebagai peserta, tetapi juga sebagai sumber cerita yang nyata.
Selain itu, keberagaman kepercayaan ditunjukkan melalui doa lintas agama setiap hari, mulai dari Islam, Hindu, hingga kepercayaan lokal Sunda Wiwitan. Doa yang dipimpin oleh Raka Sudrajat dari komunitas Sunda Wiwitan membuka hari kedua dengan nilai spiritual yang inklusif.
Bagaimana Pelatihan Ini Berdampak ke Depan?
Rencana tindak lanjut dari pelatihan ini adalah lahirnya 25 artikel dari para peserta dengan sudut pandang inklusif, bernilai keberagaman, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang sensitif terhadap keadilan gender. Artikel-artikel peserta nantinya akan menjadi amunisi melawan narasi kebencian dan hoax di media sosial dan di media arus utama.
Dengan adanya Perpres Jurnalisme Berkualitas No. 32 Tahun 2024, peluang publikasi untuk konten progresif seperti ini akan semakin besar. Peserta didorong untuk menggunakan pendekatan SEO, visual, dan framing yang sesuai agar artikelnya mudah diakses dan berdampak luas.