Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
Sumber: Arsip Dokumentasi MediaLink
Jakarta, 20 Maret 2025 – Anugerah Jurnalisme Inklusif (AJIF) 2025 telah digelar pada 20 Maret 2025 di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan oleh MediaLink bersama Konsorsium INKLUSI sebagai bentuk penghargaan bagi para jurnalis yang konsisten mengangkat isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan irisan topik seperti disabilitas, gender, masyarakat adat, hingga kebijakan publik.
Sejak pendaftaran dibuka secara umum pada Oktober 2024, panitia menerima 102 karya dalam bentuk tulisan, video, dan audio. Karya-karya tersebut kemudian melalui proses kurasi ketat pada periode 12-17 Februari 2025. Penilaian karya berfokus pada kedalaman, akurasi, etika, dan kemampuan membangun perspektif yang adil bagi kelompok rentan. Para juri berasal dari beberapa organisasi seperti AJI, AMSI, HRWG, dan MediaLink.
Di acara ini, peserta juga diajak memperdalam perspektif inklusif melalui materi yang sudah disiapkan. Materi pertama disampaikan oleh Nurul Arifin dari Komisi I DPR RI yang mengulas kerja sama dengan Dewan Pers, KPI, dan Kominfo untuk memastikan praktik media yang ramah kelompok rentan. Ia juga menyoroti fenomena jurnalisme warga yang membuka peluang suara baru tetapi punya tantangan soal hoaks dan misinformasi.
Materi kedua dari Daniel Awigra sebagai Direktur Eksekutif HRWG membahas bagaimana pers dapat mendorong terciptanya keadilan di tengah keragaman masyarakat Indonesia. Ia mengingatkan kembali tugas pers sebagaimana diatur dalam UU Pers dan Kode Etik, termasuk tidak menulis berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi.
Is Werdiningsih dari Puan Hayati MLKI dalam pemaparannya untuk materi ketiga menyoroti dampak peliputan media bagi penghayat kepercayaan. Ia mengingatkan, framing yang salah bisa menambah diskriminasi. Karena itu, peliputan harus berimbang, sumbernya jelas, dan media harus berfungsi sebagai penggerak opini publik yang sehat.
Di tengah penyerahan penghargaan, talkshow juga diselenggarakan sebagai ruang penting bagi jurnalis, aktivis, dan pembuat kebijakan untuk saling mendengar. Halili Hasan salah satu narasumber menyampaikan, media punya peran dalam merawat keadilan dengan cara mengoreksi berita di lapangan, walau ia sadar belum tentu hasilnya ideal. Menurutnya, media harus terus bergerak ke arah yang lebih inklusif dan membangun ruang aman bagi suara-suara rentan.
Is Werdiningsih juga kembali berbagi cerita tentang kegelisahan mereka menghadapi narasi media yang kadang menyesatkan. Ia berharap jurnalis lebih berhati-hati dalam memilih narasumber agar pemberitaan tidak menyudutkan penghayat.
“Penghayat berharap media jurnalis menjadi media advokasi dalam menyuarakan hak-hak mereka (penghayat kepercayaan)” ujar Is di tengah diskusi.
Daniel Awigra menambahkan, tantangan jurnalis di Indonesia kian berat karena masih ada regulasi yang bisa membungkam kebebasan berekspresi. Undang-undang ITE menurutnya sering menjadi alat tekanan bagi jurnalis yang mengangkat isu minoritas. Ia menegaskan perlunya ruang debat yang sehat tanpa campur tangan negara yang cenderung berpihak.
Dari karya AJIF 2025 yang dilombakan, banyak media-media arus utama (mainstream) yang mengikuti lomba penghargaan ini dari LKBN Antara, Konde, Tempo, Kompas, IDN Times, Floresa, Fobi, Liputan6.com, Bilo.id, Indorasa News, Bandung Bergerak, Deduktif, Solo Pos, Langgam.id, Kumparan, Pantura News, Suara Surabaya, Portal.id, hingga Nukilan.id.
Selain media arus utama, media kampus juga turut berpartisipasi. Beberapa Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) yang mengirimkan karya mereka antara lain LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya, LPM Dinamika UIN Salatiga, dan LPM Suara Mahasiswa Universitas Indonesia.
Dari karya-karya yang diperlombakan, muncul tema-tema yang berani dan menuntut keberanian jurnalis untuk benar-benar berpihak pada kelompok rentan. Di kategori tulisan, juara pertama diraih oleh Muhammad Akmal Firmansyah dari Bandung Bergerak lewat liputan berjudul “Lima Orang Jemaat Katolik Bebas Tersisa di Bandung, Sembilan Tahun Beribadah di Rumah” yang mengangkat cerita jemaat minoritas yang bertahan beribadah di tengah keterbatasan.
Posisi pertama kategori video diraih oleh Mochamad Sadeli dari Kompas dengan karya “Menjadi Minoritas dari Minoritas, Ancaman Hilang Nyawa Saat ‘Dipaksa’ Pilih Agama” yang menggugah kesadaran publik tentang tekanan yang dialami kelompok kecil dalam menentukan keyakinan.
Sementara itu di kategori audio, Wahyu Setiawan dari KBR Media meraih juara pertama melalui karya berjudul “Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 1)” yang menyoroti tantangan Ahmadiyah mempertahankan kebebasan beragama di tengah tekanan sosial.
Hasil pemantauan AJIF 2025 ini menunjukkan sebagian besar karya yang masuk punya nada pemberitaan positif dan mendukung kelompok rentan. Hal ini membuktikan bahwa komitmen jurnalis Indonesia untuk membangun narasi yang berimbang dan humanis di tengah tantangan industri media.
Melalui AJIF 2025, jurnalis diingatkan kembali bahwa kerja mereka bukan hanya soal mencari berita, tetapi juga menjaga ruang publik tetap adil bagi semua suara. Penghargaan ini hanyalah awal. Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan isu-isu kelompok rentan tetap mendapat tempat di media, sekaligus mendorong masyarakat dan pemerintah untuk terus terbuka pada keberagaman.