Mendorong Keberlanjutan Gerakan Inklusif dari Alumni Training of Trainer Sekolah Inklusi Perempuan

Loading

Penulis: Gresy Kristriana

Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI

Gambar 1: Foto Bersama Peserta Lokakarya Penyusunan Rencana Tindak Lanjut Sekolah Inklusi Perempuan oleh Fatayat NU Jawa Barat pada 4-5 Oktober 2024
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jabar

Bandung, 5 Oktober 2024 – Fatayat NU Jawa Barat telah mengumpulkan sebanyak 25 peserta dari berbagai latar belakang iman dan organisasi berkumpul selama dua hari untuk membahas tentang  inklusivitas, keadilan, dan pencegahan ekstremisme kekerasan. Kegiatan ini merupakan keberlanjutan dari kegiatan sebelumnya yaitu Training of Trainer (ToT) Sekolah Inklusi Perempuan yang berhasil dilaksanakan pada 23-25 Agustus 2024 lalu. Pembahasan Rencana Tindak Lanjut (RTL) ini digelar di Aula Gedung Dakwah PWNU Jawa Barat pada 4–5 Oktober 2024. 

Fatayat NU Jawa Barat yang tergabung dalam Konsorsium Program INKLUSI menyadari bahwa diperlukannya aksi nyata dalam memperkuat kapasitas kepemimpinan perempuan dalam menyusun rencana aksi yang berbasis pada Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI), khususnya dalam mendorong ruang-ruang damai di tengah ancaman intoleransi dan ekstremisme kekerasan yang makin terasa di masyarakat.

Peserta berasal dari berbagai organisasi perempuan lintas iman dan latar budaya di Jawa Barat, seperti Fatayat NU, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Wanita katolik Republik Indonesia (WKRI), Perempuan Penghayat dan lain-lain. Selama dua hari, peserta berdiskusi tentang langkah yang perlu dipersiapkan untuk menerapkan nilai-nilai inklusi sosial di wilayah kerja masing-masing. Karena itu, pertemuan ini difokuskan sebagai langkah refleksi lanjutan, pengingat pembelajaran sebelumnya, serta penyusunan rencana aksi secara individu dan kelompok di masing-masing komunitas.

Agenda pertama diawali dengan refleksi pengalaman dalam mengimplementasikan GEDSI di komunitas masing-masing yang difasilitasi oleh Diana Handayani dari Koalisi Perempuan Indonesia dan Risma Hikmah perwakilan Fatayat NU Jawa Barat. Diana juga memaparkan bahwa matriks Strength, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT) dapat digunakan untuk mengurai masalah sosial sehari-hari, seperti stigma terhadap etnis, ujaran kebencian terhadap kelompok kepercayaan, atau stereotip terhadap perempuan dan kelompok disabilitas. 

Selanjutnya pendekatan GEDSI menjadi cara berpikir dan bertindak, dimulai dari kesadaran bahwa ketimpangan memang ada, lalu dijawab melalui aksi yang membuka ruang dan dukungan bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan. Harapannya rencana aksi yang disusun bukan hanya responsif terhadap isu, tapi juga memberi ruang untuk membangun cara berpikir kritis untuk menghadapi ekstremisme kekerasan.

Dari proses ini, lahir berbagai rencana sederhana yang harapannya bisa berdampak di masyarakat. Ada yang membuat seminar tentang perspektif korban kekerasan seksual, mengadakan dialog lintas iman, kampanye melawan stigma terhadap kelompok disabilitas, hingga mendorong revisi AD/ART organisasi agar lebih berpihak pada keadilan dan kesetaraan. Gagasan-gagasan ini kemudian berkembang menjadi rencana keberlanjutan yang lebih terstruktur dan menyasar berbagai lapisan. Beberapa peserta telah menjadwalkan diskusi komunitas, siaran langsung di media sosial, kampanye edukatif, dan menyasar audiens eksternal melalui kolaborasi dengan lembaga pemerintah, tokoh agama, atau media lokal.

Salah satu peserta, Rosa Adinda dari Fatayat NU Karawang, mengangkat isu diskriminatif terhadap etnis tertentu di lingkungan mahasiswa. Ia berencana mendorong integrasi nilai-nilai GEDSI ke dalam struktur organisasinya dan membentuk bidang pemberdayaan perempuan. 

Kemudian An’an Aminah dari Dari Fatayat NU Jawa Barat menyoroti isu kekerasan seksual yang kerap dilegitimasi lewat stereotip pakaian perempuan. Dalam rencananya, Ia ingin merancang diskusi publik dan sosialisasi Undang-Undang TPKS agar masyarakat memiliki empati dan memahami sudut pandang korban.

Selain rencana aksi individu, peserta juga menyepakati aktivitas yang berkaitan dengan monitoring dan evaluasi. Seperti menyusun indikator keberhasilan, mengintegrasikan konsep GEDSI, membuat ruang aman bagi peserta/anggota komunitas, menjamin keamanan, dan menentukan jangka panjang keberlanjutan program. Hal ini dipaparkan oleh Arfi Pandu Dinata dari JAKATARUB agar upaya yang dirancang tidak berhenti ketika aktivitas selesai, namun tetap terukur dampaknya ketika muncul inisiatif-inisiatif baru di tingkat local champion.

“Kita harus memahami bahwa privilege itu nyata adanya. Dulu, ketika bicara soal keberhasilan, fokus kita mungkin hanya pada target dan output teknis. Tapi setelah mengikuti workshop ini, kita diajak untuk lebih sadar: apakah kita sudah benar-benar melihat dan melibatkan kelompok marjinal? Yang penting sekarang bukan sekadar menyebut-nyebut GEDSI dan kelompok A, B, C, D. Tapi bagaimana kita mau hidup berdampingan dengan mereka, mengakui keberadaan mereka sebagai bagian utuh dari masyarakat. Inilah indikator keberhasilan yang perlu kita ukur bersama, sekarang dan kedepannya.” Jelas Arfi.

Kegiatan ini merupakan langkah komitmen Fatayat NU Jawa Barat dalam menanggapi maraknya ujaran kebencian dan wacana yang memecah belah menjelang pemilu 2024, pertemuan ini hadir sebagai ruang aman untuk memelihara komitmen dalam menjaga keberagaman, khususnya sebagai wadah berkontribusi untuk perempuan di ranah publik.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content