Mencari Titik Temu dalam Kerukunan Beragama dan Berkeyakinan di Provinsi Jawa Barat, SETARA Institute Menggelar Diskusi Multipihak

Loading

Oleh : Indri Ayu Tikasari

Editor : Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Gambar 1. Multistakeholder Online Dialogue Jawa Barat
Sumber: Dokumentasi Arsip SETARA Institute

Dalam semangat mencari titik temu dalam kerukunan beragama dan berkeyakinan, SETARA Institute bersama dengan konsorsium INKLUSI menyelenggarakan Multi Stakeholder Dialogue sebagai ruang dialog yang inklusif, dengan mengangkat tema “Menyusun Strategi Advokasi Penyelesaian Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jawa Barat”. Melalui forum yang dilakukan pada Rabu, 14 Agustus 2024 ini, berbagai pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, hingga penghayat kepercayaan dapat saling berbagi pengalaman, tantangan dan solusi. 

Kegiatan yang dihadiri oleh individu yang berasal dari beragam latar belakang ini telah dimanfaatkan dengan sangat baik untuk saling berbagi pengalaman dan tantangan yang pernah dialami oleh berbagai kelompok umat lintas agama serta penghayat kepercayaan.

Kisah tantangan intoleransi diceritakan oleh salah satu anggota dari Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Mereka kerap mengalami diskriminasi saat ingin memperingati Asyura. Aksi penolakan dan bahkan cemoohan dari masyarakat sering kali muncul terhadap peringatan yang dilakukan oleh kelompok IJABI. Tidak hanya itu, peserta yang beragama Kristen juga berbagi kisah tentang bagaimana sulitnya mendapatkan izin untuk mendirikan gereja sehingga kerap kali mereka harus pergi lebih jauh untuk beribadah. 

Pendeta Obertina Johanis salah satu pembicara pada diskusi ini juga menceritakan bagaimana tantangan yang dihadapi dalam pembangunan gereja. Sejak tahun 1984 hingga saat ini pihak gereja telah berupaya untuk mendapatkan izin mendirikan gereja, namun belum membuahkan hasil. Meskipun demikian, pihak Pendeta Johanis mengungkapkan pihak gerejanya hingga saat ini terus mendorong upaya-upaya damai dalam menyikapi hal tersebut. Pihak gereja tetap gencar untuk melakukan kegiatan sosial yang positif bagi masyarakat sekitar, seperti mendirikan posko banjir, bakti sosial, ikut bagian dalam siskamling, dan lainnya. 

Kurangnya ruang perjumpaan bagi masyarakat lintas agama menjadi salah satu faktor menguatnya intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan. Hal ini menyebabkan kurangnya pemahaman antar masyarakat lintas agama.

Kesbangpol KotaBandung, salah satu pembicara pada diskusi ini juga menambahkan bahwa pada beberapa kasus, sebenarnya penolakan terjadi bukan didasarkan pada agama semata, namun ditemukan adanya faktor sosial lainnya. Dirinya menyebut bahwa menurut data yang ada, tak jarang umat Kristen juga ikut serta dalam penolakan izin pembangunan rumah ibadat. 

“Contohnya saat sebelum ada rumah ibadah itu landau, saat sudah ada rumah ibadah maka banyak mobil parkir, Pedagang Kaki Lima (PKL), dan lainnya. Tetapi, ini bukan masalah ibadah” ungkap Apep, Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Organisasi Kemasyarakatan Kesbangpol Bandung.

Berbagai upaya untuk menjaga perdamaian umat beragama dan berkeyakinan telah dilakukan  oleh Pemerintah Kota Bandung, seperti Pemerintah KotaBandung telah menyediakan tempat pemakaman bagi penghayat kepercayaan. Kesbangpol juga terus bekerjasama dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) untuk meningkatkan pendidikan toleransi kepada anak-anak dari lintar agama dan kepercayaan.  

Pengelolaan perdamaian dan kerukunan dalam beragama dan berkeyakinan harus terus dilakukan secara inklusif dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, tokoh agama, komunitas kepercayaan, dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang aman dan saling menghormati.

Multi Stakeholder Dialogue yang diselenggarakan oleh SETARA Institute merupakan salah satu langkah strategis dalam membangun ruang perjumpaan seluruh elemen masyarakat yang setara dan saling menghormati di tengah keberagaman masyarakat Jawa Barat.

Melalui dialog yang terbuka dan konstruktif, diharapkan lahir pemahaman bersama yang dapat memperkuat upaya-upaya perdamaian dan toleransi antarumat beragama dan berkeyakinan. Kolaborasi lintas sektor ini menjadi pondasi penting dalam mewujudkan kehidupan sosial yang inklusif, adil, dan harmonis bagi seluruh warga.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content