Oleh : Indri Ayu Tikasari
Editor : Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID
–
Sumber: Dokumentasi Arsip SETARA Institute
Sebanyak 17 orang menghadiri kegiatan diskusi online yang diselenggarakan oleh SETARA Institute bersama dengan Konsorsium INKLUSI. Kegiatan yang dilaksanakan pada Jumat, 27 September 2024 ini menghadirkan 3 pembicara yang berasal dari latar belakang yang beragam untuk mendiskusikan tentang upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan Kota Makassar dalam menghadapi peralihan kepemimpinan politik.
Diskusi online ini dibuka oleh Sayyidatul Insiyah, seorang peneliti di SETARA Institute, dengan memberikan apresiasinya yang tinggi terhadap progresivitas Kota Makassar dalam membangun kota dengan tingkat toleransi yang tinggi.
“Pencapaian ini merupakan ekosistem yang dibentuk oleh berbagai kepemimpinan yang berkolaborasi, baik antara pemerintah, birokrasi, pimpinan politik, serta masyarakat sipil” jelas Sayyidatul.
Salah satu narasumber, Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Makassar setuju dengan apa yang disampaikan oleh Sayyidatul, namun Arifuddin juga mengakui bahwa progresivitas yang dicapai Makassar masih berada di bawah progresivitas yang dilakukan oleh Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Berdasarkan Indeks Kota Toleransi (IKT) Tahun 2022 dan 2033, Kota Makassar mengalami peningkatan rangking yang cukup signifikan, yaitu sebanyak 22 nomor. Pada IKT tahun 2022 Kota Makassar berada pada rangking 84, kemudian pada IKT tahun 2023 Kota Makassar menempati peringkat 62. Sedangkan Kota Banjarmasin mengalami peningkatan sebanyak 54 nomor, yang semula pada IKT tahun 2022, Kota Banjarmasin berada pada urutan 72, sedangkan pada IKT tahun 2023 berada pada urutan 13.
Pentingnya kolaborasi dalam penguatan toleransi juga diimani oleh Chaidir, representasi dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Makassar.
“Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator, mediator, serta motivator; penegakkan hukum dalam hidup masyarakat untuk mengarahkan kehidupan masyarakat; dan hak individu serta hak sosial dalam tata kehidupan bertoleransi bagaimana mereka melaksanakan agamanya masing- masing” ungkap Chaidir.
Chaidir melihat bahwa peralihan Kepala Daerah seharusnya tidak akan mempengaruhi secara signifikan terhadap kerukunan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), sebab Kota Makassar sudah memiliki visi misi yang kuat dalam mewujudkan kota toleran melalui Peraturan Walikota. Hal terpenting yang perlu dilakukan ialah seluruh kelompok masyarakat tetap bersinergi untuk meningkatkan IKT Kota Makassar.
Dalam diskusi tersebut juga terdapat seorang peserta yang merasa kurang sependapat dengan pencapaian yang diraih oleh Kota Makassar dalam hal toleransi, Ainun dari Cadar Garis Lucu menyebutkan bahwa klaim para pejabat yang menyatakan bahwa Kota Makassar berada dalam situasi yang baik itu tidak sepenuhnya benar.
“Sebenarnya (situasi) di akar rumput sangat mudah untuk kita terpecah belah terlebih menjelang Pilkada. Perlu diakui toleransi kita rapuh, hanya basa basi, tetapi di dalamnya masih sangat tebal stigma dan prasangka satu sama lainnya” ungkap Ainun.
Selain itu, terdapat kekhawatiran tentang adanya negative campaign selama penyelenggaraan hajat besar pesta demokrasi. Hal tersebut tentu dapat mengancam ruh toleransi di jiwa masyarakat.
Meskipun demikian, seluruh peserta pada forum diskusi online ini sepakat bahwa penting untuk terus menjaga dan memperkuat rasa toleransi dalam keadaan apapun, termasuk pada saat pemilihan kepala daerah. Harmonisasi langkah dan upaya oleh seluruh elemen di Kota Makassar merupakan motor penggerak utama dalam merawat keberagaman secara inklusif dan damai.