oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Yayasan Inklusif kembali mengadakan diskusi kelompok terfokus demi membahas Pedoman Pengelolaan Keberagaman yang Inklusif bagi Pemerintah Daerah. Di balik rangkaian diskusi kelompok terfokus yang diadakan, pertemuan yang dilaksanakan pada 21 Juli 2023 ini secara khusus mengundang organisasi dan komunitas kepemudaan untuk mendiskusikan pokok pikiran yang ada dalam dalam pedoman, menggali masukan untuk perbaikan draf pedoman, serta merumuskan langkah-langkah tindak lanjut untuk penyempurnaan pedoman.
Hadir dalam kegiatan ini para perwakilan dari berbagai lembaga dan organisasi dengan latar belakang yang berbeda, terutama yang berkaitan dengan isu kepemudaan, di antaranya adalah Desantara, Peace Leader, ISKA, Fatayat Depok, PMII Depok, GMNI Depok, Gusdurian Depok, Pemuda Ahmadiyah, Sahabat Inklusif, Persma UI, Aliansi Remaja Independen, MediaLink, dan Standup Com Depok. Para peserta yang hadir secara aktif berdiskusi serta memberikan masukan bagi perbaikan pedoman yang tengah disusun.
Membuka kegiatan ini, Muhammad Subhi Azhari, Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif, menegaskan bahwa dalam upaya meningkatkan pemahaman dan pengakuan keberagaman masyarakat oleh pemerintah daerah, diperlukan keterlibatan kaum muda.
Menurutnya, kaum muda senantiasa memiliki pemahaman yang baru dan inovatif mengenai masalah sosial yang muncul dalam masyarakat, terutama karena perbedaan konteks zaman di mana mereka bertumbuh saat ini dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
“Karena itu, melibatkan anak muda dalam diskusi tentang pengelolaan keberagaman memiliki potensi untuk merumuskan pendekatan yang lebih dinamis, relevan, dan inovatif dalam mengatasi tantangan yang berkaitan dengan keberagaman dan inklusi dalam masyarakat,” ungkap Subhi.
Diskusi kelompok terfokus ini selanjutnya didahului oleh paparan mengenai pokok pikiran dari pedoman yang disusun, sebelum kemudian mendapatkan tanggapan pada curah pendapat oleh seluruh peserta yang hadir.
Dalam paparan untuk mengantar diskusi ini, Gamal Ferdhi, perwakilan Yayasan Inklusif, kembali menegaskan signifikansi pedoman atau protokol ini untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pencegahan, penanganan, pemantauan, evaluasi pemenuhan, pemajuan hak-hak beragama/berkeyakinan yang inklusif.
Seirama dengan paparan Gamal tersebut, Rizka Antika, Program Officer for Promoting Tolerance & Respect for Diversity INFID, juga menyebut bahwa partisipasi bermakna, terutama dari kaum muda dan kelompok minoritas, harus benar-benar dipastikan terpenuhi secara proporsional.
“Dalam protokol, penting juga untuk memastikan bahwa partisipasi dari semua pihak, terutama orang muda dan kelompok minoritas, bukan hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar memiliki dampak positif dan relevan dalam membentuk kebijakan dan praktik yang inklusif (meaningful participation),” tegas Rizka.
Selanjutnya, ketika diskusi diteruskan dengan tanggapan dari seluruh peserta yang hadir, terdapat beberapa catatan penting yang dihasilkan untuk perbaikan pedoman. Pertama, dari segi regulasi dan kebijakan, pedoman ini diharapkan dapat menjadi instrumen dalam mendorong pemerintah daerah untuk mengadopsi kebijakan yang melarang diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan. Hal ini juga meliputi pelbagai praktik diskriminatif yang terjadi dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan publik, dan sektor lainnya.
Selain itu, pemerintah daerah juga dipandang perlu untuk mendorong penghargaan terhadap hak-hak dan kebutuhan semua individu, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender.
Lebih lanjut, para peserta menekankan bahwa pemerintah daerah perlu memberikan pengakuan resmi terhadap hari-hari suci dari berbagai agama yang ada di wilayahnya sebagai upaya untuk membangun adanya pengertian dan penghargaan terhadap praktik-praktik keagamaan yang beragam.
Kedua, dari aspek pendidikan, pedoman ini juga diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk mempromosikan pendidikan yang menghargai dan memahami berbagai agama dan budaya. Hal ini dipandang harus terintegrasi secara utuh dan tidak terpisahkan dari sistem pendidikan daerah.
Sekolah-sekolah, sebagai institusi pendidikan dengan kedudukan yang sangat strategis, didorong untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan pengertian terhadap perbedaan. Ketiga, pada aspek tata kelola dan penyediaan fasilitas, pedoman ini diharapkan dapat mendukung pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas secara adil dan transparan. Sebagai contoh, pemerintah daerah, ketika menyediakan fasilitas keagamaan, seperti tempat ibadah, diharapkan dapat dilakukan secara merata serta dapat diakses oleh semua warga, tanpa memandang agama. Di sisi lain, pedoman ini juga diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah dalam memfasilitasi pengakuan hukum bagi kelompok minoritas.

Seluruh tanggapan peserta menjadi masukan penting bagi penyempurnaan pedoman ini. Fasilitator kegiatan ini, Nur Laeliyatul Masruroh, menegaskan bahwa pedoman yang dihasilkan harus memastikan pengelolaan keberagaman yang inklusif dan menghormati hak semua individu. “Protokol harus memiliki tujuan untuk memastikan pengelolaan keberagaman yang inklusif dan menghormati hak-hak semua individu, tanpa memandang agama, keyakinan, atau identitas lainnya. Protokol ini menekankan nilai-nilai seperti non-diskriminasi, pendidikan yang inklusif, akses merata terhadap fasilitas publik, pengakuan hukum bagi kelompok minoritas, kesetaraan gender, hak LGBT, dan penghargaan terhadap praktik-praktik keagamaan yang beragam,” ungkap Masruroh.