Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
–
Sumber: Arsip Dokumentasi MAARIF Institute
Kupang, 16 November 2024 – MAARIF Institute telah menjalankan rangkaian kegiatan pelatihan Non-Violent Communication (NVC) yang telah berhasil diselenggarakan di Kota Bali dan Manado. Kemudian giliran Kupang, Nusa Tenggara Timur sebagai kota terakhir penyelenggaraan pelatihan ini. Bertempat di Harper Hotel Kupang pada 15-16 November 2024, kegiatan ini diikuti oleh 22 peserta dari berbagai latar belakang organisasi, agama, dan komunitas. Peserta berasal dari Muhammadiyah, Pemuda Sinode GMIT, KANWIL Kementerian Agama NTT, FKUB NTT, IRMA NTT, komunitas Buddha, STAI Kupang, perwakilan Agama Hindu, HMI Cabang Kupang, Fatayat NU NTT, BPAN Kupang, MAWU Kupang, dan Muda-Mudi Lembata.
Kegiatan ini diselenggarakan untuk menjawab kebutuhan akan penguatan kapasitas pemuda di Kupang, kota yang dikenal dengan keberagamannya. Berdasarkan riset SETARA Institute tahun 2023, Kupang berada di posisi ke-9 dalam Indeks Kota Toleran di Indonesia. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, keberagaman tetap menyimpan potensi ketegangan, terutama jika tidak dikelola dengan baik. Maka, pelatihan ini hadir sebagai ruang refleksi, dialog, dan latihan keterampilan komunikasi, dengan harapan para peserta bisa menjadi mediator damai di lingkungan masing-masing.
Kegiatan diawali dengan sambutan dari Andar Nubowo, Direktur Eksekutif MAARIF Institute. Ia menyampaikan bahwa konflik sosial bermula dari salah paham terhadap sejarah atau ajaran agama, yang diperparah oleh narasi kebencian di media sosial. Ia menegaskan, “Kupang punya modal sosial yang kuat, tapi itu harus terus dirawat.” Dalam sambutannya, ia juga menyebut bahwa orang muda memiliki posisi strategis dalam menjaga keberagaman agar tak berujung pada perpecahan. Itulah alasan Kupang dipilih sebagai lokasi pelatihan.
Hari pertama dimulai dengan perkenalan, membuat peta konsep NVC, menggambar “Pohon Kehidupan” untuk merefleksikan nilai-nilai yang membentuk diri peserta. Setiap pohon punya cerita unik. Beberapa peserta dengan bangga menggambarkan relasi lintas agama yang mereka jalani sejak kecil, sementara yang lain menggambarkan perjuangan pribadi dalam merawat kepercayaan diri di tengah tekanan sosial.
Sebagai catatan, Prof. Dr. Muqowim mengutip Dalai Lama “Perhatikan apa yang kamu pikirkan, karena itu yang akan kamu lakukan, dan perhatikan apa yang kamu lakukan, karena itu yang akan menjadi kebiasaan.”
Di hari kedua, pelatihan masuk ke tahap yang lebih dinamis. Peserta memainkan permainan puzzle yang mensimulasikan realitas sosial. Ada kelompok yang harus bernegosiasi, ada yang cenderung pasif, dan ada pula yang menjadi mediator. Dari permainan ini terlihat pola yang sering terjadi di masyarakat, yaitu tidak semua pihak punya kemauan untuk terlibat di dalam dialog. Tapi ketika ruang aman dibuka, bahkan kelompok yang paling diam pun mulai bersuara.
Setelah latihan resolusi konflik, peserta diajak mempraktikkan komunikasi persuasif. Dalam skenario kasus yang dibahas, seperti pernikahan beda agama atau konflik di tempat kerja. Peserta ditantang untuk belajar merespons situasi, bukan dengan membantah atau menghakimi, melainkan dengan mendengarkan, memahami, dan mencari titik temu. Beberapa peserta menunjukkan kepekaan dan keberanian untuk memposisikan diri di tengah ketegangan. Di sinilah pelatihan NVC terasa menyatu dengan realitas. Orang muda dipersiapkan bukan sebagai penonton, tapi sebagai penggerak perubahan sosial di lingkungan terdekat mereka. Dari proses ini, mereka tumbuh sebagai calon mediator damai yang mampu hadir dan menjembatani perbedaan.
Materi akhir pelatihan ditandai dengan sesi Design for Change. Dalam kelompok, peserta diminta merancang proyek sosial dari skenario untuk menciptakan bangunan inklusif. Salah satu kelompok mengembangkan gagasan “Coffee of Hope”, sebuah kafe yang ramah terhadap difabel dan menyediakan ruang kerja untuk mereka. Kelompok lain mengembangkan sekolah inklusif dengan kurikulum dan fasilitas yang bisa diakses semua siswa, tanpa memandang latar belakang. Ada pula kelompok yang membuat konsep rumah singgah untuk mereka yang terpinggirkan, termasuk layanan kesehatan dan pendidikan dasar.
Kupang menjadi contoh bagaimana pelatihan ini bisa memperkuat posisi pemuda sebagai penjaga harmoni. Di tengah masyarakat multikultur yang rentan terhadap gesekan sosial, para peserta menunjukkan bahwa mereka tidak hanya belajar memahami diri dan orang lain, tapi juga mampu menyusun rencana tindakan. Pelatihan ini mendorong peserta mengembangkan gagasan yang realistis, dimulai dari pengalaman mereka sendiri.
Pelatihan NVC di Kupang menunjukkan bahwa para peserta mampu membayangkan kehidupan masyarakat yang inklusif dan membangun cara pandang dalam komunikasi anti-kekerasan. Selama dua hari, pelatihan NVC di Kupang telah menjadi ruang belajar, ruang tumbuh, dan ruang perjumpaan. Hal ini menjadi sebuah kemajuan yang tercermin melalui permainan, refleksi, diskusi, dan interaksi yang sarat nilai positif sepanjang kegiatan.