MAARIF Institute Memperkenalkan Pendekatan Non-Violent Communication (NVC) sebagai Upaya Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan Aktivis Muda Lintas Agama

Loading

Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Rahmatul Amalia Nur Ahsani, Program Assistant Building Resilience Against Violent Extremism INFID

Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak yang memiliki pemikiran, sikap, dan praktik keagamaan yang moderat. Namun, sejak era pasca reformasi, muncul peningkatan kasus intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Berbagai riset mengenai ekstremisme kekerasan dan peran organisasi Islam moderat, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah dilakukan.

Penelitian oleh MAARIF Institute, bekerjasama dengan P3M dan INFID, mengeksplorasi peran Muhammadiyah dan NU dalam menangkal radikalisme. Penelitian dilakukan di basis-basis kedua organisasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Temuan penelitian menunjukkan bahwa meskipun Muhammadiyah dan NU kuat dalam mempertahankan watak wasathiyah (modernisme), terdapat perbedaan pandangan di antara pengurus dan anggota terkait isu-isu kontroversial keagamaan dan politik. Namun, secara umum, kedua organisasi ini tegas menolak intoleransi dan kekerasan atas nama agama serta memiliki daya tahan kuat terhadap ideologi Islam radikal.

Untuk mendukung toleransi, MAARIF Institute merancang pelatihan Non-Violent Communication (NVC) yang bertujuan memperkuat kapasitas para aktivis muda lintas agama dalam menyelesaikan konflik dan membangun hubungan berdasarkan kesadaran saling ketergantungan. Pelatihan ini mengajarkan keterampilan praktis dan konkret yang membantu menciptakan kehidupan yang lebih harmonis.

MAARIF Institute juga melakukan asesmen pada 26 Februari 2024 di Jakarta untuk memahami kondisi dan kebutuhan para aktivis serta lembaga terkait. Penilaian ini akan membantu menyusun panduan atau modul pelatihan NVC. Program pelatihan ini akan dilakukan di lima kota: Malang, Manado, Ambon, Kupang, dan Bali, dengan tujuan mendorong toleransi, kebebasan beragama, dan penghormatan terhadap keragaman, serta mencegah ekstremisme kekerasan.

Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute membuka pertemuan dengan menekankan pentingnya menyebarkan paham-paham keagamaan dengan cara damai. Ia menyatakan bahwa sebagai umat beragama, setiap individu memiliki tugas untuk menyebarkan kebaikan sesuai ajaran masing-masing. Toleransi, menurut Abd. Rohim adalah kunci untuk mencapai harmoni dalam keberagaman. Ia menekankan bahwa generasi muda memegang peranan penting sebagai pemimpin masa depan yang akan membawa perubahan positif. Dalam konteks NVC, penting untuk mencakup peserta dari berbagai perspektif, termasuk mereka yang dianggap intoleran, untuk berdialog dan membangun kesepahaman.

Rohim juga menyatakan bahwa proses penyebaran paham inklusif harus dilakukan melalui diskusi, bukan perintah. Dengan berdiskusi, diharapkan dapat tercipta saling pengertian dan saling menghargai meskipun terdapat perbedaan. Pertemuan ini bertujuan mencari formula yang tepat untuk menyampaikan nilai-nilai inklusif dengan cara yang baik dan konstruktif.

Moh Shofan, Direktur Program MAARIF Institute dalam pengantarnya menyatakan bahwa konflik sering kali terjadi bukan karena perbedaan kebutuhan, tetapi karena perbedaan strategi dalam mengelola kebutuhan. NVC digunakan sebagai pendekatan dalam penguatan inklusi sosial keagamaan, dengan fokus tahun ini pada penguatan kapasitas para aktivis muda lintas agama di lima kota: Malang, Manado, Ambon, Kupang, dan Bali. Shofan menekankan pentingnya observasi, pengamatan, dan permintaan dengan pendekatan pedagogi dalam memahami kebutuhan manusia.

Shofan menjelaskan bahwa pelatihan ini diperluas ke semua agama agar manfaatnya dirasakan lebih luas.

Yayah Khisbiyah (Dosen UMS Solo) narasumber utama tentang NVC, membagi perdamaian menjadi dua jenis: perdamaian negatif (ketiadaan kekerasan) dan perdamaian positif (integrasi masyarakat sejahtera). Ia menekankan bahwa perdamaian bermakna lebih dari sekadar tidak adanya konflik; perdamaian mencakup keadilan dan pemerataan kesejahteraan untuk semua. Yayah menyarankan untuk memasukkan diskursus yang jujur dan kolaborasi dalam program inklusif untuk mencapai hasil yang lebih efektif. Yayah juga menyoroti pentingnya fondasi utama perdamaian, yaitu toleransi, kesalahpahaman, solidaritas, dan kohesi sosial. Dengan pemahaman bahwa perbedaan identitas suku, ormas, dan budaya tidak mengakibatkan diskriminasi dan kekerasan, diharapkan dapat tercipta mutual understanding dan mutual respect. Kolaborasi untuk mengatasi persoalan intoleransi menjadi tujuan utama.

Ahsan Jamet Hamidi dari The Asia Foundation menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah dan perempuan dalam program ini. Hamidi juga mengkritisi penggunaan istilah-istilah asing seperti ekstrimisme dan radikalisme yang mungkin kurang tepat dan menyarankan perluasan program untuk menjangkau lebih banyak kelompok, termasuk pemerintah dan masyarakat sipil. Hamidi menambahkan bahwa keterlibatan perempuan sangat penting, karena perempuan sering kali menghadapi beban ganda dalam situasi konflik. Perempuan memiliki mekanisme alamiah yang mampu mendamaikan dan harus dilibatkan dalam semua tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi program.

Faisol dari MediaLink juga mengungkapkan bahwa survei menunjukkan bahwa semakin muda usia seseorang, semakin sering mereka terpapar hoaks. Oleh karena itu, literasi digital perlu diangkat dalam pelatihan ini. Ia menyarankan untuk menciptakan echo chamber (ruang gema) yang inklusif sebagai bagian dari strategi komunikasi.

Dinamika diskusi berlanjut dengan masukan dan evaluasi yang disampaikan peserta dengan pertimbangan-pertimbangan terkait perlunya penyesuaian konten komunikasi sesuai dengan konteks lokal, kebutuhan orang muda dan pelibatan aktivis yang berpengalaman dalam advokasi kebijakan. Indra, perwakilan dari Ahmadiyah menegaskan bahwa  pentingnya mengedepankan dialog yang mampu menghasilkan kebijakan dengan pelibatan orang muda di dalamnya. Kemudian, pendekatan advokasi kebijakan dengan pemerintah secara efektif adalah dengan cara merangkul. M. Subhi salah satu peserta dari Yayasan Inklusif yang tergabung dalam Program INKLUSI, menambahkan bahwa NVC perlu menjadi model komunikasi yang bisa menghubungkan kelompok intoleran dan pentingnya membuka diri atau mendengarkan dari sudut pandang kelompok tersebut. Pertemuan ini menegaskan komitmen MAARIF Institute dalam menguatkan inklusi sosial keagamaan melalui pendekatan NVC. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan memperhatikan masukan yang konstruktif, diharapkan program ini dapat membawa dampak positif dalam menciptakan masyarakat yang lebih toleran, inklusif, dan damai di Indonesia melalui kolaborasi dan komunikasi yang inklusif.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content