Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
–
Sumber: Arsip Dokumentasi MAARIF Institute
Jakarta, 4 Juli 2024 – Tidak dipungkiri bahwa Indonesia masih menjadi negara yang dihuni oleh mayoritas Muslim, namun sejak era pasca-Reformasi, intoleransi dan kekerasan atas nama agama meningkat. Riset tentang The Role of Moderate Islamic Organizations in Preventing Violent Extremism (Muhammadiyah Case) oleh MAARIF Institute bersama P3M dan INFID telah menyoroti peran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam menangkal radikalisme sebagai pilar utama Islam moderat di Indonesia.
Dengan latar belakang tersebut, MAARIF Institute telah berinisiatif mengembangkan modul Non-Violent Communication (NVC): Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Aktivis Muda Lintas Agama, guna memperkuat kapasitas orang muda lintas agama dalam membangun komunikasi humanis dan menyelesaikan konflik secara damai. Untuk menyempurnakan modul tersebut, MAARIF mengadakan focus group discussion (FGD) pada 4 Juli 2024 di Kantor MAARIF Institute, Jakarta. FGD ini bertujuan untuk mencari ide bersama dan membangun persepsi perubahan progresif yang bisa diadaptasi pada tingkat individu, kelompok, lembaga, dan kebijakan organisasi berbasis keagamaan.
Nonviolent communication (NVC) merupakan pendekatan komunikasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip anti kekerasan. Metode ini digagas oleh psikolog klinis bernama Marshall Rosenberg sekitar tahun 1960-1970. Rosenberg menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama. Konflik seringkali muncul bukan disebabkan oleh perbedaan kebutuhan, melainkan perbedaan strategi yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan.
NVC dirancang sebagai alat untuk menumbuhkan empati dalam proses komunikasi. Idealnya, ketika manusia mencapai keharmonisan pada hubungan sosialnya dengan orang lain, potensi munculnya kesalahpahaman dapat dihindari sehingga konflik pun diharapkan tidak terjadi. NVC berdasar pada, bahwa semua manusia penuh kasih dengan alam dan bahwa strategi kekerasan-baik perilaku verbal atau fisik merupakan bagian dari yang dipelajari, diajarkan dan didukung oleh budaya yang berlaku. NVC juga mengasumsikan bahwa semua manusia setara dan bahwa setiap tindakan manusia adalah strategi untuk memenuhi satu atau lebih dari kebutuhan ini.
Shofan, Program Coordinator MAARIF Institute dalam pengantarnya menjelaskan bahwa pendekatan NVC, yang dikembangkan oleh Marshall Rosenberg, sangat relevan diterapkan di Indonesia meskipun belum banyak digunakan. NVC menekankan pada komunikasi yang jujur, empatik, dan penuh pemahaman. Ia meyakini bahwa metode ini dapat menjadi alat transformasi sosial yang kuat, terutama dalam konteks keberagaman komunitas. Namun, penerapannya tetap memerlukan penyesuaian dengan kondisi lokal yang beragam.
Paparan dari narasumber yaitu Nur Ihsanti Amalia, memperdalam pemahaman mengenai prinsip dan praktik NVC. Nur Ihsanti menggarisbawahi bahwa NVC mendorong tumbuhnya empati dengan menyadari kebutuhan dasar manusia yang universal. Ia juga menyebut beberapa bentuk komunikasi yang menghambat hubungan, seperti penghakiman moral, membandingkan diri, dan menyangkal tanggung jawab.
Sementara itu, Siti Lutfi Latifah, narasumber kedua menambahkan bahwa NVC membantu seseorang untuk terhubung lebih dalam dengan diri sendiri dan orang lain melalui kesadaran pada empat aspek: observasi, perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Dalam penerapannya yang lebih luas, NVC bisa dimanfaatkan sebagai pendekatan mediasi dalam menyelesaikan sengketa dan konflik di berbagai tingkatan. Melalui latihan NVC, seseorang dapat mengembangkan komunikasi yang lebih otentik, memperkuat pemahaman antar individu, memperdalam koneksi, serta menciptakan penyelesaian konflik yang lebih konstruktif.
Dinamika forum berlanjut pada sesi diskusi, salah satu peserta yaitu Dr. Muqowim mengangkat tentang menghargai keunikan tradisi dan latar belakang tiap individu dalam proses komunikasi. Ia menekankan bahwa konflik kerap terjadi karena ketidaktahuan, dan memperbanyak pertemuan lintas iman dapat menjadi solusi untuk mengurangi gesekan.
Beberapa peserta lain, seperti Yendra, Syafira, dan Teguh, memberikan masukan teknis untuk penguatan modul, antara lain: pentingnya kontrak belajar, kurikulum, klasifikasi usia peserta, serta adanya panduan untuk fasilitator agar pelatihan berjalan lebih terstruktur dan inklusif.
Masukan terkait pendekatan yang kontekstual dan inklusif berasal dari Sisy dari Setara Institute, yang mengingatkan agar tidak menciptakan eksklusi bagi peserta minoritas dan mendorong penggunaan isu-isu yang lebih mudah diterima di awal pelatihan.
Secara umum, FGD ini menjadi ruang diskusi bersama untuk memperkaya modul NVC dengan perspektif yang lebih luas dengan fokus strategi komunikasi dan intervensi program dalam mengarusutamakan toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan, dan penghormatan terhadap keragaman, serta menyesuaikan metode pelatihan dengan kebutuhan nyata peserta di lapangan. Harapannya, modul ini bukan hanya menjadi panduan teknis, melainkan juga alat transformasi sosial yang mengakar pada nilai inklusi, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman.
FGD pengembangan modul NVC merupakan bagian dari aktivitas Program INKLUSI yang digagas oleh konsorsium lembaga masyarakat sipil yang bertujuan untuk pemberdayaan kepemimpinan dalam memperkuat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan menjadikan masyarakat tangguh di sektor strategis.