Penulis Muhammad Rullyansyah 17 Desember 2024

Perlakuan diskriminatif dan koersif seperti penolakan dan pembubaran Jalsah Salanah (acara silaturahim tahunan) yang diselenggarakan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) secara sewenang-wenang beberapa waktu lalu bukanlah kali pertama kejadian serupa menimpa komunitas JAI di Manislor, Kuningan, Jawa Barat.
Peristiwa besar lain yang juga melibatkan banyak masa sebelumnya pernah terjadi pada 2007 dan 2010. Sebelum tahun 2007 aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok intoleran Anti-Ahmadiyah tidak sebesar itu. Samsu Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi mencatat bahwa meskipun penolakan terhadap JAI di Manislor sudah terjadi sejak awal aktivitas mereka pada tahun 1954, namun eskalasinya mulai meningkat pasca-reformasi tepatnya pada tahun 2002 (Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, 2014).
Sebelum tahun 2002 Jemaat Ahmadiyah hidup tenang dan bisa membaur dengan warga Desa Manislor bahkan bergotong-royong membangun Balai Desa dan Masjid Desa dengan masyarakat. Segregasi mulai muncul setelah beberapa tokoh Muslim Kuningan tidak terkecuali Manislor mengikuti seminar yang diadakan oleh LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) pada 11 Agustus 2002 di Jakarta.
Seminar tersebut menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan dan mendorong pembubarannya. Selang Tiga bulan kemudian Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Kuningan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pelarangan ajaran dan kegiatan Ahmadiyah yang ditandatangani oleh Bupati Kuningan H. Arifin Setiamihardja, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA), Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kuningan, MUI Kuningan, serta beberapa tokoh ormas Islam dan pimpinan pesantren se-Kuningan.
Tidak butuh waktu lama serangan juga perusakan terhadap warga dan aset Ahmadiyah mulai dilancarkan oleh kelompok Anti-Ahmadiyah.
Peristiwa penyerangan dan perusakan itu pertama kali dilancarkan pada 10 November 2002. Rentetan insiden serupa tetap berlanjut hingga akhir Desember 2003. Total ada tiga Mushala dan 30 lebih rumah warga Ahmadiyah Manislor yang dirusak dalam rentetan peristiwa tersebut. Lalu pada 30 Juli 2005 Pemerintah melalui Satpol PP menyegel Masjid An-Nur dan tujuh Mushala Ahmadiyah. Setelah beberapa bulan tidak bisa beribadah di Masjid dan Mushala, warga Ahmadiyah membuka sendiri Rumah Ibadah mereka itu pada pertengahan 2006.
Aksi tersebut baru mendapat respon dari kelompok intoleran pada akhir November 2007. Jemaat Ahmadiyah diancam melalui surat dari aliansi masyarakat yang menamakan diri Komponen Muslim Kabupaten Kuningan (KOMPAK). Surat itu berisi ancaman penyerangan melalui gerakan jihad jika pihak Ahmadiyah tidak mengentikan kegiatan, membongkar semua tempat kegiatanya dan menanggalkan pengakuan beragama islam (Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, 2014).
Tak lama setelahnya Masjid An-Nur dan dua mushala milik Ahmadiyah kembali disegel paksa, kemudian masa intoleran kembali melakukan penyerangan yang mengakibatkan delapan rumah warga Ahmadiyah dan dua Mushalanya. Yang penting untuk dicatat dalam peristiwa Desember 2007 adalah pertama Polisi menangkap dan memproses pelaku-pelaku penyerangan hingga dijatuhi hukuman penjara selain mengerahkan kekuatan untuk membendung massa.
Ke dua peristiwa tersebut menandai peningkatan gerakan Anti-Ahmadiyah secara signifikan. Jika sebelum 2007 aktor penentang Ahmadiyah berasal dari dalam Kuningan, pada peristiwa tersebut dan setelahnya massa Anti-Ahmadiyah juga berasal dari luar Kuningan (Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, 2014).
Aksi Intoleran terhadap JAI pada 2010 dan 2024
Seperti insiden 2007, peristiwa Juli 2010 juga diawali desakan ormas-ormas intoleran terhadap pemerintah Kuningan untuk menutup rumah ibadah Ahmadiyah di Manislor. Sebelum penyerangan meletus, kelompok Anti-Ahmadiyah melakukan demonstrasi (2 maret 2010) dan menekan pemerintah dalam pertemuan (1 dan 14 Juni) yang dihadiri Muspimda selain MUI dan tokoh-tokoh ormas. Kapolres Kuningan yang saat itu dijabat oleh Kombes. Pol. (Purn) Dra. Yoyoh Indayah, M. Si.
Segera membaca gelagat kelompok Anti-Ahmadiyah akan mengerahkan massa ke Manislor. Tindak lanjut dari pertemuan itu adalah penyegelan tempat ibadah yang terjadi pada 26 dan 28 Juli 2010 namun selalu gagal karena warga Ahmadiyah melakukan perlawanan.
Yoyoh Indayah kemudian menerima surat pemberitahuan kegiatan istigasah di Masjid (Desa Manislor) Al-Huda pada 29 Juli 2010. Benar saja, setelah istigasah selesai sekitar jam 11:00 WIB massa mulai bergerak ke Masjid An-Nur, setelah sebelumnya beberap kiai, tokoh ormas bergiliran menyampaikan provokasi penyerangan. Massa yang hadir dalam istigasah diperkirakan berjumlah 1000-1500 orang yang berasal dari Cirebon, Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur, selain dari dalam Kuningan.
Pada kejadian ini Polres Kuningan dibantu satu Satuan Setingkat Kompi (SSK) Brimob Polda Jawa Barat dan Satu Satuan Setingkat Pleton (SST) anggota Kodim dan Dishub Kuningan yang dipimpin langsung oleh Yoyoh Indayah berhasil mengurai dan membubarkan massa intoleran. Setelah peristiwa tersebut Kapolres Kuningan mengumpulkan sejumlah pimpinan ormas dan memperingatkan bahwa Polres Kuningan tidak segan-segan untuk membekuk mereka jika melakukan tindakan pidana lagi.
Penjagaan di Manislor sudah berjalan sejak 26 Juli 2010 ketika upaya penyegelan pertama kali dilakukan. Penting untuk dicatat bahwa pengamanan pada Juli 2010 dilakukan oleh ribuan personal selama beberapa hari, Ibu Yoyoh harus berhutang ke beberapa warung makan karena dana operasional tidak mencukupi (Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, 2014). [AA]