Laporan Akhir Praktik Moderasi Beragama di Lembaga Publik: Studi Kasus Bank Syariah Indonesia (BSI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), SMAN 53 Jakarta, dan MAN Insan Cendekia Sumatra Barat

Loading

Dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, disebutkan bahwa moderasi beragama menjadi modal sosial mendasar untuk pembangunan bangsa dan menjadi proyek nasional dan arah kebijakan negara. Oleh karena itu, kementerian dan lembaga harus turut serta mendukung dan melaksanakan program tersebut. Bukan hanya Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Tetapi, juga kementerian yang lain termasuk Kementerian BUMN.

RPJMN saat ini telah memasuki tahun keempat (2023). Sudah ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di antaranya, pertama, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Kedua, Kementerian Agama telah membuat peta jalan dan bersama Kementerian Pendidikan berupaya mendorong moderasi beragama di lembaga pendidikan. Ketiga, di akhir Januari 2023, terbit Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2023 yang menetapkan Badan Moderasi Beragama sebagai salah satu Organisasi Tata Kerja (Ortaker) Kementerian Agama. Dan keempat, Pemerintah juga mengalokasikan dana APBN yang cukup besar untuk memastikan program moderasi beragama berjalan dan memperoleh hasil yang baik sesuai harapan dan sasaran.

Setelah kesungguhan di tingkat nasional (kementerian dan lembaga), pertanyaannya, apakah kesungguhan serupa juga tercermin (dilaksanakan) di lembaga-lembaga yang bahkan bernaung di bawah pemerintah? Apakah, misalnya, lembaga pendidikan (di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan) dan lembaga bisnis (di bawah BUMN) telah berkomitmen dan berupaya melaksanakan program moderasi beragama di masing-masing lembaga tersebut?

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Penelitian “Praktik Moderasi Beragama di Lembaga Publik” ini telah selesai dan dapat kita simak laporan hasilnya. Penelitian ini berlokasi di 2 lembaga BUMN (BSI dan PLN) dan 2 lembaga pendidikan milik pemerintah (SMAN 53 Jakarta dan MAN Insan Cendekia Sumatera Barat). Penelitian yang dilaksanakan pada Januari-Maret 2023 ini mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan besar tentang implementasi program moderasi beragama di lembaga yang bernaung di bawah pemerintah. Di dalamnya, termasuk pula melihat seberapa efektif dampak program di tingkat lapangan.

Penelitian ini melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilaksanakan oleh INFID yang terkait dengan perkembangan narasi moderasi beragama (non ekstremisme berkekerasan) di lembaga pendidikan (menengah dan perguruan tinggi), lembaga peribadatan dan BUMN (2019-2022). Juga tidak terlepas dari penelitian tentang regulasi di tingkat nasional dan daerah yang mendukung atau sebaliknya (kontra produktif) terhadap upaya mendorong moderasi beragama.

Sebagian temuan dari riset ini adalah sebagai berikut. Pertama, Di lingkungan sekolah negeri, praktik moderasi beragama menemukan praktik yang sistemik dan terbatas. SMAN 53 Jakarta bisa menjadi contoh praktik baik moderasi beragama karena dilakukan tanpa menggunakan label moderasi beragama. Namun, di MAN Insan Cendekia, madrasah favorit di bawah Kementerian Agama, praktik moderasi beragama lebih bersifat formal dan menekankan pada aspek peribadatan (‘ubudiyah) saja.

Kedua, pola penerimaan kritis terhadap gagasan moderasi beragama ditemukan pada sebagian responden di PLN dan MAN Insan Cendekia. Meski tidak menolak moderasi beragama, namun ada nalar penerimaan kritis yang terlihat dari kewaspadaan yang menekankan pada batasan atau koridor dalam moderasi beragama agar jangan menyentuh akidah dan terbatas pada aspek mu’amalah (hubungan sosial) saja.

Ketiga, praktik negosiatif dalam moderasi beragama ditemukan dalam bentuk penggunaan strategi yang menghindari pola konfrontatif, berusaha merangkul semua kelompok keagamaan. Di PLN, pola ini lahir dari perspektif perusahaan sebagai “rumah bersama” sehingga tidak ada larangan terhadap unsur yang berafiliasi dengan HTI. Pemimpin lembaga yang kebetulan beragama selain Islam mendorong untuk bersikap hati-hati dalam isu keagamaan yang diyakini sensitif.

Dan keempat, penelitian ini tidak menemukan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim yang bertentangan dengan indikator moderasi beragama di keempat lembaga. Sebaliknya, ditemukan banyak praktik baik terkait dengan kepemimpinan perempuan dan non-muslim. Tidak ditemukan kebijakan pemaksaan pakaian berdasarkan keyakinan agama di lembaga yang tidak berbasis agama. Meski demikian, ada kebijakan standardisasi berpakaian di BSI yang meski tidak bertentangan dengan norma agama Islam (aurat) tetapi tidak mengakomodasi gaya busana aliran keagamaan yang berbeda.

Terima kasih banyak kami haturkan kepada semua peneliti, termasuk peneliti lapangan, serta semua narasumber di lembaga pendidikan dan BUMN yang berkenan menjadi responden utama. Dan terima kasih untuk para kolega saya di INFID atas upaya memfasilitasi penelitian ini sehingga membuahkan hasil yang baik. Selamat membaca.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content