Laporan Akhir Penelitian Media Monitoring Isu-isu Moderasi Keberagaman dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Media Online

Loading

Tahun 2019 pemerintah melalui Kementrian Agama menetapkan tahun ini menjadi “Tahun Moderasi Keberagamaan” yang bertujuan agar setiap kebijakan yang diambil pemerintah dalam memutuskan suatu persoalan yang berkaitan dengan soal-soal agama, selalu dilandasi dengan nilai-nilai moderasi. Pemerintah berharap, moderasi beragama yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah membawa masyarakat dalam pemahaman yang lebih moderat, tidak ekstrim dalam beragama, dan juga tidak merasa “paling benar” di hadapan yang lainnya.

Moderasi beragama didiskusikan, dipraktikan dan dikampanyekan sebagai frame dalam mengelola kehidupan masyarakat Indonesia yang mutikultural. Kebutuhan terhadap narasi keagamaan yang moderat tidak hanya menjadi kebutuhan personal atau kelembagaan, melainkan secara umum bagi masyarakat, khususnya media.

Dalam masyarakat demokratis, media memiliki fungsi sebagai alat penyebaran gagasan pluralitas, penghargaan terhadap kebebasan, dan nilai-nilai demokrasi lainnya. Media juga dapat dijadikan sebagai cerminan realitas masyarakat, di mana tingkat kematangan pandangan, sikap dan tindakan tercermin dalam informasi.

Terlebih di era perubahan cepat, di mana media sudah bertransformasi dalam bentuk digital yang semunya dikendalikan oleh kecepatan elektronik di ruang digital, eksistensi manusia mengalami perubahan mendasar dari sebuah bentuk tubuh yang bergerak di dalam ruang, menjadi sebentuk tubuh yang diam di tempat dan hanya mampu menyerap setiap informasi yang lewat melalui simulasi elektronik.

Pada fase inilah, ruang-ruang digital dimanfaatkan oleh kelompok tak bertanggung jawab untuk mensosialisasikan ide-ide konflik dan menyuburkan politik identitas sehingga ruang digital lebih banyak didominasi oleh nilai-nilai keagamaan yang menjurus kepada eksklusifisme golongan.

Faham-faham keagamaan mulai banyak dipertentangkan dengan kebijakan-kebijakan negara. Otoritas keagamaan tidak lagi dipegang oleh kalangan agama yang otoritatif dan kredibel. Heidi Campbell dalam Religious-Social Shaping of Technology menggambarkan kondisi sebagai sesuatu yang sudah mengubah sikap beragama masyarakat dengan mulai pudarnya afiliasi terhadap lembaga keagamaan, bergesernya otoritas keagamaan, menguatnya individualisme, dan perubahan dari pluralisme menjadi tribalisme.

Fakta ini terjadi dalam masyarakat kita, di mana pemerintah kini dihadapkan dengan semakin menguatnya tindakan intoleransi beragama, ekstrimisme agama, radikalisme, dan politik identitas keagamaan. Dalam kondisi ini, media diperhadapkan dengan bagaimana seharusnya bersikap dan peran apa yang diambil dalam mensikapinya.

Media seharusnya memiliki peran untuk mengkampanyekan nilai-nilai toleransi, keragaman agama, hak kebebasan untuk berkeyakinan, dan nilai rekognisi pada minoritas serta mengkampanyekan nilai-nilai negasi seperti intoleransi, kekerasan atas nama agama, ekstrimisme agama, radikalisme, dan terorisme.

Dalam isu keragaman agama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, media memiliki peran besar dalam mempromosikannya, penghargaan minoritas, dan keragaman agama. Namun seringkali pesan ini tidak tersampaikan kepada publik karena praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip jurnalisme, di samping juga karena pertimbangan ideologis dan pragmatisme media itu sendiri. Fakta-fakta tersebut di atas menjadi alasan bagi Medialink untuk melakukan penelitian media monitoring.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content