Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
Sumber: Arsip Dokumentasi INFID
Tangerang, 6 Februari 2025 – Konsorsium Program INKLUSI mengadakan Workshop Penulisan Cerita Perubahan di Swiss-Belhotel, Serpong, Tangerang Selatan pada 5-6 Februari 2025. Workshop ini diikuti oleh delapan lembaga anggota konsorsium yang terdiri dari INFID sendiri, MAARIF Institute, Perkumpulan MediaLink, PW Fatayat NU Jawa Barat, PW Fatayat NU Jawa Timur, SETARA Institute, UNIKA Soegijapranata, dan Yayasan Inklusif.
Awalnya Program INKLUSI lahir dari kepedulian terhadap masih kuatnya hambatan struktural dan budaya di berbagai sektor penting, mulai dari media, pemerintah daerah, pendidikan, hingga kepemimpinan perempuan. Sejak 2022, program ini telah mendorong lahirnya forum lintas iman, panduan keberagaman bagi pemerintah daerah, hingga penguatan kelompok rentan. Dalam pelaksanaannya, INFID dan anggota konsorsium juga mengutamakan prinsip GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) sebagai acuan pengelolaan Program INKLUSI.
Seiring berbagai capaian yang telah diraih Program INKLUSI, anggota konsorsium merasa perlu mendokumentasikan dampak nyata dari kegiatan yang sudah dijalankan. Untuk itu, mereka menggunakan pendekatan Most Significant Change (MSC) sebagai cara menggali dan menulis cerita perubahan berdasarkan pengalaman langsung para mitra maupun penerima manfaat. Metode ini membantu organisasi menemukan, mencatat, dan memilih cerita yang benar-benar mencerminkan dampak yang signifikan di masyarakat.
Syafira Khairani, Program Officer INFID, mengatakan bahwa mendokumentasikan praktik baik melalui cerita, membuat dampak program lebih mudah diterima oleh berbagai pihak. “Cerita ini nantinya bukan sekadar laporan, tetapi bisa jadi bahan advokasi,” ujarnya.
Sumber: Arsip Dokumentasi INFID
Agenda pertama kegiatan di buka dengan sambutan dari Abdul Waidl, Program Manager INFID. Ia mengingatkan bahwa cerita perubahan perlu ditulis dengan hati, tidak kaku seperti laporan. Penulisannya harus mampu mengangkat sisi kemanusiaan dan rasa yang dialami para penerima manfaat.
Setelah pembukaan, Maria Hartiningsih sebagai wartawati senior Kompas membawakan materi penulisan features dengan pendekatan humanis dalam storytelling. Ia menekankan bahwa tulisan yang baik tidak hanya menyajikan data, tetapi membawa pembaca melihat manusia di balik kebijakan. Di penghujung sesi, Maria merangkum bahwa features sejatinya adalah bentuk komunikasi tertulis yang menggali fakta dan hasil riset secara mendalam, lalu merangkainya menjadi cerita yang menggugah, informatif, dan tetap mengedepankan sisi kemanusiaan.
“Kebijakan lahir dari manusia, bukan sebaliknya. Ceritakan manusianya dulu” kata Maria.
Untuk memudahkan proses penulisan cerita perubahan, peserta diberi beberapa materi teknis. Mulai dari cara menulis dengan pendekatan humanis atau human-centered, teknik menggali cerita, menyusun narasi yang mengalir, hingga memanfaatkan kutipan dan visual. Peserta juga diajak untuk menjawab tiga pertanyaan pemantik yaitu, (1) cerita perubahan apa yang akan digali, (2) memetakan aktor yang terlibat, (3) dan perubahan apa yang terlihat.
Kemudian di dalam diskusi kelompok, peserta diajak membedah draft cerita yang sebelumnya sudah disusun. Dalam sesi ini muncul dinamika menarik, beberapa peserta sudah siap dengan detail cerita perubahan dengan menambahkan unsur GEDSI, sementara yang lain masih meraba sudut pandang terbaik untuk memilih cerita perubahan yang signifikan. Demikian suasana diskusi diwarnai oleh obrolan ringan seputar pengalaman lapangan masing-masing anggota konsorsium.
Hari kedua workshop, dimulai dengan sesi materi wawancara untuk cerita perubahan. Maria Hartiningsih menjelaskan bahwa wawancara pada dasarnya mudah, tetapi tetap menantang, karena kuncinya terletak pada cara membangun obrolan yang mengalir dan membuat narasumber nyaman tanpa merasa diinterogasi.
Beberapa cerita yang muncul menarik perhatian. Yayasan Inklusif, misalnya, bercerita tentang perubahan pola pikir Kepala Kesbangpol Kota Depok. Awalnya, Kesbangpol menolak program mereka. Namun lewat dialog dan pelatihan, akhirnya terbit Peraturan Wali Kota yang mendukung penguatan toleransi. Proses ini menggambarkan bagaimana negosiasi dan pendekatan bertahap bisa mengubah kebijakan lokal.
Di Jawa Timur, Fatayat NU mendirikan Forum Islam Damai (Forisda) yang mempertemukan pemimpin Islam perempuan dari berbagai kelompok. Forum ini membuka ruang dialog bagi mereka yang selama ini saling menjaga jarak karena stigma. Ida Rochmawati dari Fatayat NU Jawa Timur menuturkan, “Lewat forum ini, kami belajar menanggalkan prasangka dan saling mendengar.”
MediaLink mengangkat cerita dari Bhabinkamtibmas perempuan di Pondok Cabe yang berhasil menjaga proses pemilihan RW lintas agama agar tetap damai, meski ada calon dari agama berbeda. Pendekatan Bhabinkamtibmas ini menjadi contoh bagaimana keamanan inklusif bisa terwujud di tingkat lokal, jika aparat mau terlibat dalam menjaga keamanan keberagaman.
Workshop ini menunjukkan bahwa di balik data dan tabel capaian program, selalu ada subjek manusia dan cerita kecil yang bisa diangkat. Cerita perubahan ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi sekaligus inspirasi, bahwa kerja membangun ruang aman dan inklusif memang tidak selalu mulus. Ada penolakan, revisi cara pandang, dan kesepakatan-kesepakatan kecil yang pelan-pelan membangun perubahan.
Lewat narasi yang lahir dari peserta workshop, Konsorsium Program INKLUSI berharap publik bisa lebih memahami bagaimana upaya menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan berjalan di akar rumput.Di akhir sesi, peserta sepakat akan melanjutkan penulisan selama dua bulan ke depan dengan pendampingan secara daring. Cerita-cerita ini nantinya akan disusun menjadi buku kompilasi dari praktik baik program INKLUSI. Demikian juga pertemuan ini sebagai langkah awal untuk menyiapkan concept note sebagai dasar perencanaan Konsorsium Program INKLUSI fase kedua.