oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Persoalan intoleransi dan radikalisme di Indonesia masih terjadi dan terus mengalami pergeseran pola dan bentuk, salah satunya melalui pemanfaatan media digital sebagai sarana informasi dan penyebaran narasi terkait. Media sosial menjadi ancaman pada praktik toleransi di Indonesia.
Beberapa kasus yang muncul seperti kasus terorisme oleh pelaku mandiri/tidak berkelompok (Indeks Potensi Radikalisme BNPT 2021) serta kasus tingginya intoleransi pelajar di sekolah (Penelitian PPIM 2018). Kedua kasus ini memiliki kesamaan, yakni media sosial menjadi kanal informasi dan pengetahuan yang menyokong.
Di sisi lain, Perkumpulan MediaLink bersama Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET) MUI juga mendalami potensi penggunaan media sosial dan media massa untuk menjadi saluran penyebaran disinformasi dan politisasi agama jelang tahun politik 2024.
Menyikapi situasi ini, diskusi Koordinasi Pengelola Media Online dengan tajuk “Mencegah Disinformasi & Politisasi Agama dalam Pemilu 2024” digelar di Hotel Aston Priority Simatupang, Jakarta, pada 17 Mei 2023. Pertemuan ini menghadirkan narasumber Irjen Pol (Purn) Hamli dari BPET MUI dan Hasanuddin Ali dari Alvara Institute. Selain itu, diskusi ini difasilitasi oleh M. Najih Arramadhoni. Hadir pula perwakilan dari berbagai organisasi, seperti INFID, Setara Institute, Medialink, BPET MUI, serta sejumlah media dan lembaga keislaman.
Dalam sambutannya, Ahmad Faisol, Direktur Eksekutif Perkumpulan MediaLink menegaskan tujuan pelaksanaan diskusi sebagai upaya untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi tahun politik di 2024 mengantisipasi penyebaran disinformasi dan politisasi agama.
Diskusi dilanjutkan oleh Hasanuddin Ali, sebagai narasumber yang membahas mengenai Peta Potensi Ancaman Hoaks, Disinformasi, dan Politisasi pada Perempuan Gen X di Pemilu 2024. Ali menyampaikan peta demografi pemilih pada Pemilu mendatang yang didominasi kaum muda, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di berbagai daerah Indonesia.
Di sisi lain, Ali juga membahas tentang makin pentingnya peran media sosial jelang pemilu mendatang. “Peran media sosial sangat besar dibandingkan 2019. Hampir semua anak muda terkoneksi dengan internet,” urai Ali.
Ali mencatat penggunaan media sosial oleh sebagian kelompok bertujuan untuk mempengaruhi pemilih agar memilih berdasarkan identitas. Para pemilih juga penting memperoleh edukasi politik agar dapat memilih dengan tepat serta mempertimbangkan kompetensi, visi-misi, dan program dari kandidat yang berkontestasi.
Melanjutkan paparan sebagai narasumber kedua, Irjen Pol (Purn) Hamli menyoroti situasi hiruk-pikuk di media sosial saat ini. Ia mempertanyakan ke mana arah intervensi harus dilakukan terhadap kelompok Islam di Indonesia, mengingat banyaknya aliran yang berkonflik dan sulit dibedakan mana kawan dan lawan.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan menghimpun masukan dari masing-masing peserta media yang hadir serta mendiskusikan tantangan yang dihadapi. Peserta menyampaikan sejumlah poin penting. Salah satunya adalah perlunya militansi dari kalangan moderat dalam memberi perlawanan narasi.
Selain itu, dari segi isu, muncul usulan untuk mendorong dua isu utama, yakni kekerasan seksual dan fikih perempuan. Sementara itu, dari segi pelibatan aktor lain, muncul usulan untuk berkolaborasi dengan berbagai lembaga lainnya.
Para peserta juga menyampaikan beberapa tantangan. Salah satunya adalah ketiadaan figur yang dimiliki oleh media moderat. Di sisi lain, peserta juga menekankan pentingnya memahami target audiens dengan baik.
Hal ini karena dari sudut pandang anak muda, konten keagamaan kerap dinilai terlalu serius. Padahal, banyak hal ringan atau “receh” yang dapat dijadikan konten menarik bagi Generasi Z. Oleh karenanya, penggunaan media dan konsep-konsep kreatif yang membangun perasaan terkait (relate) kaum muda dengan konten yang dibuat menjadi sangat penting untuk merebut atensi kaum muda. Secara keseluruhan, diskusi ini menyoroti urgensi pengelolaan narasi di media menghadapi tahun politik 2024. Diperlukan konsolidasi bagi kekuatan-kekuatan moderat untuk mengimbangi narasi intoleransi dan radikalisme di ruang digital. Selain itu, pendekatan yang kontekstual, atraktif, serta memanfaatkan tren terkini menjadi kunci untuk menjangkau kaum muda yang akan memainkan peran penting pada pesta demokrasi mendatang