oleh: Ryan Richard Rihi
editor: Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Sebagai upaya dalam menyusun modul Living Our Values Everyday (L.O.V.E) untuk pelatihan penguatan inklusi sosial keagamaan bagi guru agama, MAARIF Institute menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Need Assessment pada Kamis, 23 Februari 2023.
Bertempat di Hotel Harris Tebet, Jakarta, kegiatan ini melibatkan 15 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk 11 laki-laki dan 4 perempuan, untuk menggali masukan dan perspektif dari berbagai pihak yang terlibat.
Pengembangan modul L.O.V.E merupakan bagian dari implementasi program INKLUSI, dengan fokus pada upaya penguatan inklusi sosial bagi pihak terkait. Modul ini akan disiapkan sebagai panduan bagi pelatihan yang berupaya untuk memperkuat nilai-nilai perdamaian melalui revitalisasi nilai-nilai pribadi dan sosial.
Membuka FGD ini, Abd. Rohim Ghazali selaku Direktur Eksekutif MAARIF Institute menyoroti sekolah sebagai pintu masuknya paham intoleran.
“Ada tiga pintu, melalui kepala sekolah, melalui guru, bukan guru agama tapi guru lain, karena agamanya yang menggebu-gebu akhirnya dia menanamkan nilai-nilai keagamaan yang tidak ada nilai-nilai kebangsaan. Dan melalui pintu alumni, bisa melalui OSIS, atau Rohis,” jelas Abd. Rohim.
Oleh karenanya, ia berharap agar modul yang akan didiskusikan dapat menjadi rujukan bagi pihak-pihak terkait, terutama oleh guru agama sebagai fokus dari implementasi program ini.
Selanjutnya, paparan pengantar pada acara ini dibawakan oleh Moh. Shofan. Shofan menyampaikan tujuan pelaksanaan asesmen ini. Menurutnya, asesmen ini merupakan bagian dari persiapan MAARIF Institute untuk melaksanakan program pelatihan penguatan inklusi sosial keagamaan bagi guru agama di 5 wilayah, yaitu Bekasi, Lamongan, Malang, Ambon, dan Manado.
Dalam acara ini, diundang beberapa narasumber yang memiliki kapasitas dalam isu pendidikan inklusif. Narasumber tersebut meliputi Budhy Munawar Rachman dari Esoteric Forum, Mahnan Marbawi dari AGPAII, dan Kartini dari Divisi Kurikulum Madrasah Kementerian Agama.
Sebagai narasumber pertama, Budhy menyampaikan usulannya agar modul yang dirumuskan mengintegrasikan 4 (empat) elemen kunci sesuai Pasal 4 Ayat 1 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang meliputi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Budhy juga menekankan pentingnya memasukkan indikator moderasi beragama seperti cinta tanah air, toleransi tinggi, anti-kekerasan, dan apresiasi terhadap budaya lokal ke dalam modul tersebut.
Selain itu, Budhy juga menyoroti perlunya pelatihan yang mendorong peserta untuk tidak hanya mengetahui (learning to know), tetapi juga melakukan (learning to do), menjadi (learning to be), hidup bersama (learning to live together), serta mengubah diri serta masyarakat (learning to transform self and society).
Sementara itu, alih-alih hanya berfokus pada isu inklusi sosial semata, Mahnan Marbawi selaku narasumber kedua menyoroti tantangan kesejahteraan yang dihadapi guru agama, “Yang menjadi persoalan guru bukan intoleransi, radikalisme, yang dijadikan persoalan adalah kesejahteraan, ikut sertifikasi untuk guru agama yang sangat sulit” terangnya.
Oleh karenanya, Mahnan menyarankan agar modul tidak membebani guru lebih lanjut dan fokus pada isu-isu utama seperti pemahaman produksi informasi di media sosial serta penguatan guru sebagai agen perubahan.
Narasumber berikutnya, Kartini dari Kementerian Agama menekankan perlunya mempertimbangkan keterbatasan waktu guru akibat kerja-kerja administratif yang membebani serta kurangnya literasi. Oleh karenanya, dalam hal pengembangan modul, Ia mengusulkan agar pelatihan dapat dilakukan secara daring atau melalui aplikasi digital untuk memudahkan akses bagi guru.
Di sisi lain, mengenai kerja-kerja yang dilakukan oleh Kementerian Agama, Kartini menjelaskan upaya penguatan moderasi beragama sebagai agenda besar lembaganya itu, yang menyasar institusi pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga ke perguruan tinggi.
Upaya yang dilakukan meliputi penguatan cara pandang, sikap dan praktik beragama jalan tengah; penguatan harmonisasi dan kerukunan umat beragama; penyelarasan relasi agama dan budaya; peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama; serta, pengembangan ekonomi dan sumber daya keagamaan.

Setelah para narasumber menyampaikan paparannya, sesi dilanjutkan dengan diskusi dengan para peserta yang hadir. Siti Lutfi dari Bogor menyoroti rendahnya tingkat toleransi di kalangan guru agama di wilayah tersebut, menekankan pentingnya membangun kesadaran melalui modul dan pelatihan.
Sementara itu, Hengky Ferdiansyah menyarankan agar bahasa dan diksi yang digunakan dalam modul bersifat netral dan tidak kontroversial untuk menghindari konflik. Masukan lain juga disampaikan oleh Program Manager INFID, AD Eridani, menyarankan agar dalam modul turut mengintegrasikan rencana tindak lanjut pasca pelatihan. Hal ini dimaksudkan supaya komunikasi dengan guru-guru yang dilatih tetap terawat. Dengan masukan dari berbagai pihak, MAARIF Institute berharap dapat mengembangkan modul L.O.V.E yang mampu membangun masyarakat yang lebih inklusif, saling menghargai, dan harmonis dengan cara mengeksplorasi nilai-nilai pribadi dan sosial, memahami perbedaan, mengatasi masalah sosial, mengembangkan keterampilan positif, merumuskan aksi nyata untuk toleransi, perdamaian, dan keberbagaian, serta mendukung gerakan sosial yang memberdayakan kehidupan berdampingan secara damai dan saling menghormati.