Kegiatan Lintas Iman sebagai Potret Toleransi dalam Keberagaman Indonesia di Masa Depan

Loading

Oleh: Fauziah Muslimah (Fatayat NU Depok, Peserta Pelatihan Jurnalisme Inklusif untuk Kebangsaan dan Kesetaraan)

“Bhineka Tunggal Ika—berbeda-beda teteapi tetap satu jiwa”, begitulah semboyan nasional bangsa kita yang mencerminkan persatuan dalam keanekaragaman bangsa Indonesia. Namun, dalam praktiknya semboyan nasional itu masih belum cukup untuk di realisasikan. Barangkali, tiap masyarakat masih lekat dengan kehidupan yang bersifat homogen atau masih ada perasaan takut dari menjalani hidup yang beraneka ragam.

Fenomena tersebut membuat berbagai elemen masyarakat membuat kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak pihak yang beragam untuk menciptakan lingkungan heterogen yang semakin inklusif dengan perspektif moderasi beragama.

Berbicara tentang moderasi agama di Indonesia, bukan hanya soal interaksi antar umat beragama dengan sikap toleran, tapi juga akomodasi budaya nusantara yang kaya. Aktivitas moderasi beragama tersirat nilai-nilai kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat hadir dalam berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia. Dengannya, kehidupan masyarakat akan semakin meneguhkan semboyan persatuan di tengah keanekaragaman.

Menghidupkan Nilai Moderasi Melalui Pengalaman Pribadi

Terkait nilai moderasi, saya teringat pengalaman berkesan di awal tahun 2023. Saya berkesempatan ikut serta dalam kegiatan #NyadranPerdamaian yang diinisiasi oleh AMAN Indonesia di Desa Temanggung, Jawa Tengah. Dalam rangkaian acara tersebut, saya menginap di rumah umat Buddha selama tiga hari dan mengikuti rangkaian festival dari acara agama hingga seni budaya.

Nyadran atau Sadranan, merupakan sebuah tradisi turun-temurun di masyarakat Temanggung, di Dusun Krecek dan Gletuk, dikemas menarik dengan Nyadran Perdamaian. Anak-anak muda dari berbagai agama, suku, budaya, tradisi, dan generasi bersama-sama mempelajari nilai-nilai Nyadran.

Acara Nyadran Perdamaian memiliki beberapa keunikan, di antaranya pelaksanaan di dua dusun dengan latar belakang keagamaan berbeda namun tetap rukun. Kegiatan yang bertujuan menggali nilai-nilai kebudayaan lokal, kerukunan, perdamaian, gotong royong, dan solidaritas meramaikan acara. Program life in selama empat hari memungkinkan peserta tinggal bersama warga, belajar filosofi sesaji, karawitan, jaran kepang, meditasi, perempuan bertutur, dan pentas seni topeng ireng.

Pengalaman paling berkesan bagi saya adalah saat program life in, tinggal dan belajar bersama Mba Kurni, seorang perempuan Hindu di Dusun Krecek. Dari pengalaman tersebut, saya bisa mengenal dan berinteraksi intens dengan teman-teman lintas iman.

Tak hanya Nyadran Perdamaian, saya juga berkesempatan mengikuti kegiatan pelatihan jurnalistik inklusif yang melibatkan generasi muda (Gen Z dan Gen Milenial) dari lintas iman yang berlangsung di Bandung pada Rabu-Kamis (20-21/03/2024), inisiasi program dari Fatayat NU dan INFID.

Dalam kegiatan tersebut, saya bertemu beberapa teman muda lintas iman yang sudah aktif dalam berbagai kegiatan inklusif. Tidak hanya dari kalangan umat muslim, peserta Fatayat NU dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang hadir mewakili afiliasi masing-masing, di antaranya Sunda Wiwitan, Ijabi, Penghayat Puan Hayati, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Gereja Kristen Pasundan (GKP), dan lainnya.

Dari berbagai pertemuan tersebut, saya mendapatkan banyak cerita pengalaman dan perspektif inklusif, serta pelatihan menulis untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama di media massa dan media sosial. Beberapa teman tersebut bercerita bahwa mereka sudah aktif mengikuti kegiatan dengan teman-teman lintas iman, seperti kegiatan Jabar Welas Asih, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), Setara, dan lainnya.

Tak hanya dua kegiatan tersebut, pada akhir tahun 2023 lalu, saya juga berkesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan inklusif bagi pemimpin muda lintas agama yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Dalam kegiatan tersebut, dosen dan mahasiswa program doktor UIII menjadi fasilitator untuk menyebarkan nilai-nilai inklusif lewat kegiatan di masing-masing organisasi kami.

Dalam menyebarkan nilai-nilai inklusif tersebut, berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama lewat program moderasi beragama dan lembaga lain patut kita dukung bersama. Kegiatan dan kampanye sosial yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti AMAN Indonesia, UIII, Fatayat NU, dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) lewat program pelatihan jurnalistik inklusif menjadi contoh bahwa kerja kolaborasi bisa dan harus dilakukan untuk memberikan ruang-ruang lingkungan inklusif yang lebih luas, tentu dengan program yang berkelanjutan. Pengalaman-pengalaman berkesan tersebut membuat saya yakin bahwa di Indonesia yang beragam ini, kita bisa tinggal dan berinteraksi dengan damai. Sikap moderasi beragama dan inklusif bisa menjadi pedoman yang pas untuk menjadi jalan tengah bagi masyarakat Indonesia. Kita juga patut berprasangka baik dan bersikap positif pada masa depan keberagaman di Indonesia. Dengan sikap dan perspektif inklusif, kita bisa terus berkarya dan bermanfaat dalam lingkungan yang toleran, damai, serta berbudaya. Semoga.

“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content