Jalan Menuju Toleransi dan Kebebasan Beragama

Loading

Penulis Mohamad Khusnial Muhtar 15 Januari 2025 

Sebagai negara yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman sudah menjadi hal yang niscaya di bumi Nusantara ini. Namun, sebagai warga negara apakah kita benar-benar memahami dan menjalankan nilai ini?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari kitab Sutasoma, ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14, dalam konteks aslinya, kalimat ini menggambarkan harmoni antara penganut agama Hindu dan Buddha di Nusantara.

Sutasoma mengajarkan bahwa meski ada perbedaan dalam keyakinan dan cara hidup, sejatinya kita tetap satu dalam kemanusiaan. Semangat ini dihidupkan kembali oleh para pendiri bangsa ketika mereka merancang fondasi negara kita, menjadikannya semboyan resmi untuk mencerminkan keberagaman yang kita miliki.

Sekali lagi, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya slogan di dinding sekolah atau tulisan di uang kertas. Ia adalah panggilan untuk hidup dengan saling menghormati, saling memahami, dan saling menjaga di tengah perbedaan. Kita harus merenungkan: Siapa kita sehingga merasa diri paling benar? Dalam setiap diri manusia, ada kelemahan, ada kesalahan. Kita bukan nabi, bukan rasul, bukan malaikat. Kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah paham, salah langkah, bahkan dosa.

Meskipun demikian, ada yang sering terjadi. Kita kerap melihat orang yang merasa dirinya paling benar, yang memaksakan kehendak, bahkan melakukan tindakan zalim atas nama kebenaran. Memang benar, menyerukan kebenaran adalah keharusan. Tetapi apakah menyerukan kebenaran dengan cara yang tidak benar adalah sebuah keutamaan? Apakah pantas kebenaran diperjuangkan melalui kekerasan, pemaksaan, atau penghinaan terhadap orang lain?

Khususnya bagi penganut Islam, penting untuk mengingat bahwa Islam sendiri mengajarkan kebebasan dalam beragama. Dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman dengan sangat jelas: “Tidak ada paksaan dalam agama.” Ayat ini menjadi pedoman bahwa dakwah atau seruan kepada kebenaran harus dilakukan dengan hikmah, kelembutan, dan toleransi.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik dalam hal ini. Beliau hidup berdampingan dengan penganut agama lain, baik itu Yahudi, Kristen, maupun penyembah berhala. Beliau mengajarkan bahwa dakwah yang berhasil adalah yang mengedepankan kasih sayang, bukan kekerasan.

Dalam konteks Indonesia, semangat ini sangat relevan. Di tanah air yang begitu beragam ini, tidak ada cara lain untuk menjaga persatuan selain dengan saling menghormati. Toleransi bukan sekadar membiarkan orang lain hidup sesuai keyakinannya. Toleransi berarti memahami, menghargai, dan bahkan merayakan perbedaan itu. Kita berbeda, tetapi kita bersatu. Kita berbeda dalam banyak hal, tetapi kita memiliki kesamaan yang jauh lebih besar—kita adalah sesama manusia, dan kita adalah sesama anak bangsa.

Bhinneka Tunggal Ika adalah fondasi untuk menciptakan ruang di mana semua orang merasa diterima dan dihormati. Ini adalah dasar untuk kebebasan beragama yang sejati, di mana setiap orang dapat menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut, dan tanpa intimidasi. Kebebasan beragama tidak berarti bebas tanpa batas, tetapi bebas dengan tanggung jawab untuk tidak melukai orang lain, baik secara fisik maupun emosional.

Jika kita benar-benar ingin menguatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, maka kita harus memulainya dari diri sendiri. Kita harus belajar untuk tidak merasa diri paling benar. Kita harus sadar bahwa pandangan kita, keyakinan kita, dan cara hidup kita bukanlah satu-satunya yang benar. Ada banyak jalan menuju kebaikan, dan setiap orang berhak memilih jalannya sendiri. Tugas kita bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menjadi teladan kebaikan.

Jika di masa Nabi Muhammad SAW, Islam bisa hidup berdampingan dengan agama-agama lain, mengapa kita, sebagai umatnya, tidak bisa melakukan hal yang sama? Jika kita benar-benar ingin meneladani Nabi, maka kita harus mencontoh sikap beliau yang penuh kasih sayang, penuh kebijaksanaan, dan penuh toleransi. Nabi tidak pernah memaksakan agama kepada siapa pun. Beliau selalu mengedepankan dialog, pengertian, dan cinta dalam berdakwah.

Sebagai bangsa Indonesia, kita juga harus belajar dari sejarah kita sendiri. Keberagaman adalah kekuatan kita. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda semua warga negara diikat oleh semangat persatuan yang luar biasa sebagai sebuah bangsa.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content