oleh: Ryan Richard Rihi
editor: Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Dalam rangka memperkuat nilai-nilai inklusi dalam pendidikan agama di Indonesia, Maarif Institute kembali menggelar need assessment dengan tema “Arah Baru Penguatan Nilai-Nilai Inklusi dalam Pendidikan Agama: Model dan Strategi” pada Rabu, 15 Maret 2023 yang lalu.
Need assessment kali ini adalah pertemuan yang kedua, setelah sebelumnya (23/2) telah diadakan, serta merupakan bagian dari proses persiapan penulisan modul Living Our Values Everyday (L.O.V.E) yang difasilitasi oleh Maarif Institute.
Kegiatan ini digelar dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan bertempat di Mercure Hotel, Gatot Subroto, Jakarta. Untuk memantik diskusi, narasumber yang berpengalaman dihadirkan, di antaranya Dra. Rani Anggraini Dewi, M.A., Ahmad Gaus AF, serta Debbie Affianty.
Selain itu, turut hadir sebanyak 15 peserta dari berbagai latar belakang, meliputi 9 laki-laki dan 6 perempuan, dengan tujuan menggali perspektif tentang metode dan strategi pelaksanaan program penguatan nilai-nilai inklusif.
Dalam paparannya mengantar diskusi ini, Moh. Shofan dari Maarif Institute menjelaskan bahwa rencana kegiatan didahului dengan pelaksanaan FGD untuk penyusunan modul pelatihan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan pelatihan modul kepada guru-guru agama tingkat SMA/sederajat di lima kota berbeda. Shofan juga menjelaskan tujuan dari diskusi need assessment yang diadakan tersebut..
“Tujuan dari need assessment yang kedua ini adalah untuk menggali perspektif terkait dengan metode dan strategi pelaksanaan program. Hasil dari kegiatan ini akan dijadikan sebagai bahan penyusunan modul pelatihan,” terang Shofan.
Narasumber pertama dalam diskusi adalah Dra. Rani Anggraini Dewi, M.A., dosen psikologi agama dari Universitas Paramadina. Rani membahas tentang pentingnya peningkatan diri batiniah (inner self-improvement) dan penghayatan akan nilai-nilai (living our values) serta memaparkan tiga konsep utama dalam mengembangkan pendidikan nilai, yaitu psikologi positif, pendidikan nilai kehidupan (living value education), dan mindfulness.
Dalam kaitannya dengan metode dan strategi pelaksanaan program, Rani menggarisbawahi kekuatan dari pendekatan berbasis experiential learning, di samping juga menyarankan penggunaan pendekatan lain seperti berbagi, gim, meditasi, refleksi, hingga detoks emosi.
“Kenapa harus experiential learning? Perilaku manusia itu 83% dipengaruhi oleh apa yang dia lihat, 11% apa yang didengar, dan 6 % dipengaruhi dari berbagai stimulus campuran. Jadi, kalau dari mulai usia anak sudah melihat atau mengalami kekerasan, maka si anak akan melakukan kekerasan,” tegas Rani.
Sementara itu, Ahmad Gaus AF, pengamat isu keagamaan muda, melihat perlunya mengkaji kembali konsep-konsep keagamaan seperti fiqih, teologi, dan etika sosial dari perspektif yang lebih terbuka dan inklusif. Beliau juga menegaskan bahwa penguatan nilai-nilai inklusif dalam pendidikan agama bersandar pada ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Debbie Affianty selaku narasumber ketiga mengidentifikasi faktor-faktor penghambat toleransi, meliputi penyempitan ruang perjumpaan, rendahnya literasi identitas internal dan eksternal, serta penguatan konservatisme dan kapasitas kohesif.
Debby memberikan gambaran situasi sosial-keagamaan di lima wilayah sasaran program, yaitu Bogor, Bekasi, Bandung, Malang, dan Lamongan. Selain itu, dalam pengembangan modul, Ia menyarankan agar mengarusutamakan toleransi, melibatkan organisasi profesi guru seperti AGPAII, serta melakukan kampanye narasi.
Setelah para narasumber memaparkan presentasinya, sesi dilanjutkan dengan diskusi bersama peserta yang hadir. Para peserta memberikan masukan berharga, baik terkait substansi modul, maupun mengenai teknis pelaksanaan pelatihan dari modul tersebut.
Fithri Dzakiyah, salah satu peserta, menceritakan situasi kontras yang tampak dengan meningkatnya tawuran pelajar di Bogor di tengah maraknya majelis taklim. Ia juga menyampaikan fenomena menurunnya kepercayaan peserta didik pada guru agama.
“… hal ini terjadi karena mereka tidak mendapatkan kenyamanan dalam belajar agama dari guru agama sekolahnya,” ungkap Fithri. Oleh karenanya, Ia membagikan pendekatan yang dilakukannya melalui model pembelajaran mengawasi dan melindungi serta bermain peran (role play).
George Sicilia, peserta lain, menekankan pentingnya mempertimbangkan minat peserta saat perekrutan, menghadirkan variasi peserta muslim dan non-muslim, serta memberikan kesempatan bagi guru untuk berbagi cerita. Beliau juga mengusulkan inovasi dalam metode penyampaian materi dengan mempertimbangkan kondisi lelah yang dialami guru saat ini.
Menanggapi respons para peserta, Debbie Affianty menambahkan saran untuk melibatkan tokoh lokal setempat serta memanfaatkan kearifan lokal.
Acara need assessment ini merupakan langkah penting dalam mempersiapkan modul pelatihan L.O.V.E (Living Our Values Everyday) yang akan dilaksanakan di lima wilayah sasaran. Masukan dan perspektif yang diperoleh akan menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan model dan strategi komunikasi serta intervensi yang efektif untuk mengarusutamakan nilai-nilai inklusi dalam pendidikan agama di Indonesia.