Oleh: Neli Purnamasari, SHI.,S.Pd.,ME. (Ketua PC Fatayat NU Kota Bandung dan Pengurus Bidang Hukum dan Advokasi PW Fatayat NU Jawa Barat)
Dalam belantara intoleransi yang menghantui sebagian besar kota di Indonesia, Kota Depok berdiri sebagai lambang dari tantangan terbesar dalam kebebasan beragama. Data Setara Institute pada tahun 2021 menggambarkan Depok sebagai kota dengan tingkat intoleransi tertinggi di Jawa Barat. Laporan tersebut cukup mencengangkan karena Kota Depok secara konsisten menempati posisi teratas dalam pelanggaran kebebasan beragama selama 14 tahun berturut-turut.
Menggali lebih dalam, Supian Suri (bakal calon wali kota Depok), mengungkapkan akar masalah yang menghambat kemajuan kota ini, yakni masalah eksklusivitas pemerintah Kota Depok. Menurutnya, sikap tertutup dan keengganan untuk merangkul perbedaan telah menciptakan sekat yang tak hanya mengisolasi masyarakat tetapi juga memperparah ketegangan sosial.
Sementara itu di tahun 2023, Setara Institute melaporkan Depok berada di urutan paling terakhir dari 94 kota yang diteliti, dengan nilai mencerminkan betapa parahnya keadaan. Ismail Hasani, Direktur Setara Institute, menyoroti dua masalah utama, yakni produk hukum diskriminatif dan instruksi wali kota yang kontroversial untuk menutup masjid Al-Hidayah (tempat ibadah Ahmadiyah). Langkah-langkah ini menurutnya hanya memperburuk intoleransi dan menunjukkan betapa mendalamnya krisis yang ada.
“Penta Helix Collaboration”: Menyusun Kembali Jembatan Toleransi
Masalah-masalah intoleransi di Kota Depok, tentunya menjadi PR bagi pemerintah Jawa Barat untuk memikirkan strategi apa yang harus dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka menanggulangi banyaknya kasus intoleransi beragama terutama di Kota Depok Adapun hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menggunakan konsep “Pentahelix Collaboration” dalam rangka menanggulangi intoleransi di Jawa Barat.
Konsep “Pentahelix Collaboration” ini menggunakan kekuatan lima unsur, yaitu: 1) Pemerintah, 2) Akademisi), 3) Dunia usaha, 4) Masyarakat/komunitas, 5) Media. Kelima unsur ini harus saling bersinergi bahu membahu dalam rangka membangun iklim masyarakat yang humanis dalam penguatan dan peningkatan moderasi beragama
Pertama-tama, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama pemerintah kota harus bersinergi dalam menyusun dan menerapkan kebijakan yang efektif. Kebijakan yang sudah tidak relevan harus diperbaharui, sementara yang baru harus diimplementasikan dengan pengawasan yang ketat. Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: Apakah kebijakan ini benar-benar efektif? Apakah mereka membawa dampak positif dalam mengatasi intoleransi? Ini adalah tantangan besar yang memerlukan kepemimpinan yang berani dan visioner.
Kemudian, kolaborasi dengan Akademisi juga dalam upaya membangun jembatan antar kelompok agama dan peran institusi pendidikan tidak bisa diabaikan. Kolaborasi ini bisa dilakukan dengan mengadakan diskusi dan workshop yang melibatkan dosen dan mahasiswa dapat membuka ruang bagi pemahaman yang lebih baik dan mengurangi prasangka. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran.
Selain itu, sinergi dengan dunia usaha harus diperkuat. Sosialisasi mengenai pentingnya moderasi beragama dalam bisnis dapat dilakukan melalui seminar dan lokakarya. Tema seperti “Membangun Ekosistem Moderasi Beragama dalam Dunia Bisnis di Jawa Barat” dapat menjadi platform yang efektif untuk mengedukasi pelaku usaha tentang tanggung jawab sosial mereka.
Komunitas juga harus diberikan ruang untuk berdialog lintas iman. Diskusi antara kelompok dengan latar belakang yang berbeda dapat membantu menghilangkan prasangka dan membangun rasa saling memahami. Advokasi dan workshop literasi digital juga penting untuk meningkatkan harmoni antar umat beragama dari tingkat paling dasar hingga tingkat kota.
Akhirnya, media sosial berperan besar dalam membentuk opini publik. Pemerintah harus bekerja sama dengan media sosial untuk mempromosikan akun yang mendukung toleransi dan menghindari konten yang merusak. Media sosial bisa menjadi alat yang kuat untuk membangun jaringan antarumat beragama dan menyebarluaskan pesan-pesan moderasi.
Realitas intoleransi di Kota Depok mencerminkan tantangan yang lebih luas di Indonesia. Dengan mengadopsi pendekatan “Penta Helix Collaboration,” kita memiliki kesempatan untuk merajut kembali benang-benang yang telah tercerai dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Ini bukanlah takdir yang tak terhindarkan, tetapi sebuah tantangan yang dapat diubah dengan upaya kolektif dan sinergi yang kuat.
“Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI”