Diskusi Islam Damai: Peran Perempuan dalam Membangun Jaringan Kolaboratif Lintas Iman

Loading

Penulis: Gresy Kristriana

Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI

Gambar 1: Foto Bersama Peserta dan Narasumber Diskusi Islam Damai Sesi 4 yang Diselenggarakan oleh Fatayat NU Jawa Timur
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jawa Timur

Lamongan, 4 Juli 2024 – Pemimpin Islam perempuan memiliki peran strategis dalam menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang sebagai manifestasi dari Islam rahmatan lil ‘alamin (Ajaran Agama Islam sebagai sumber kasih sayang, kedamaian, dan kebaikan bukan hanya bagi umat Islam saja, tapi juga bagi seluruh umat manusia, makhluk hidup, dan alam semesta). Dalam konteks masyarakat yang semakin kompleks, perempuan merupakan subjek yang mampu menarasikan ajaran Islam yang damai dan inklusif. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan masih adanya keterlibatan perempuan dalam jaringan radikalisme dan terorisme, bahkan sebagai pelaku utama, seperti yang terjadi dalam kasus bom Surabaya tahun 2018. Peran perempuan dalam aksi kekerasan ini menunjukkan bahwa pendekatan keagamaan yang moderat dan berperspektif kemanusiaan, terutama dalam konteks daerah perlu digaungkan, yang mana kerap distigma sebagai sarang teroris seperti Kabupaten Lamongan.

Sebagai respons atas kondisi ini, Fatayat NU Jawa Timur telah menyelenggarakan Diskusi Islam Damai Sesi 4 pada 4 Juli 2024 di Kampus Universitas Islam Lamongan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kolaborasi antar pemimpin Islam perempuan, baik dari organisasi masyarakat maupun pemerintah. Selain itu, forum diskusi ini juga sebagai wadah untuk membangun narasi bersama tentang Islam damai dan meneguhkan komitmen kolektif dalam menciptakan masyarakat yang toleran, adil, dan berkeadaban. Kolaborasi ini diharapkan mampu melawan stigma negatif terhadap Lamongan sekaligus memperluas pengaruh gerakan perempuan dalam membumikan Islam yang penuh kedamaian.

Peran Strategis Perempuan dalam Promosi Perdamaian

Kegiatan dibuka oleh paparan dari Nur Diana Khalida sebagai Pengasuh PP Putri Nurussalam Bondowoso menyampaikan peran pemimpin lembaga Islam perempuan dalam membangun masyarakat yang inklusif, khususnya dalam mencegah dan menghalau radikalisme, ekstremisme, dan fundamentalisme. Ia mengajak peserta untuk menyadari bahwa perempuan bukan hanya objek dalam gerakan sosial keagamaan, tapi juga aktor kunci dalam menciptakan ruang aman dan damai, terutama melalui pendekatan berbasis keluarga dan komunitas. 

“Kalau kita sudah satu pemahaman, satu frame, ini mudah bagi kita berbagi peran,” tegasnya.

Ibu Diana juga menyoroti bagaimana perempuan bisa menjadi korban sekaligus pelaku dalam gerakan ekstrem, sebagaimana yang terjadi dalam kasus bom Surabaya yang melibatkan seorang ibu dan anak. Ia mempertanyakan, “Siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini?” dan menekankan perlunya program penyadaran yang terus menerus, seperti mother school yang berbasis majelis taklim (lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan Agama Islam). 

Lebih lanjut, ia membagikan pengalaman kolaboratif di Bondowoso bersama organisasi lintas iman seperti GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), dalam kegiatan sosial seperti bersih-bersih sungai dan lomba literasi. Ia percaya bahwa kebersamaan tersebut membentuk ruang toleransi yang sehat, dan mencegah diskriminasi yang sering terjadi terhadap kelompok minoritas.

Di menit akhir pemaparannya, Diana mengajak seluruh elemen perempuan, termasuk dari Fatayat NU, Aisyiyah, dan organisasi Islam lainnya, untuk mengambil bagian aktif dalam upaya membendung narasi intoleransi. Menurutnya semua itu bisa dimulai dari organisasi terkecil yaitu, keluarga. Ketika komunikasi dalam keluarga dibangun dengan baik, maka secara otomatis radikalisme akan tersisih. “Pola komunikasi yang dibangun, penguatan keluarganya sudah cukup, maka ekstremisme itu akan minggir dengan sendirinya,” pungkasnya.

Upaya Membangun Budaya Kolaboratif Lintas Iman

Diskusi Islam Damai berlanjut dengan paparan dari Hasan Mahfud, M.A., Ketua Rumah Moderasi Beragama UIN Sunan Ampel Surabaya, yang menyoroti peran perempuan dalam kepemimpinan yang inklusif dan kolaboratif. Ia membuka sesi dengan pendekatan interaktif melalui platform menti.com, mengajak peserta untuk merefleksikan karakter kepemimpinan mereka. Hasil refleksi menunjukkan bahwa para pemimpin perempuan dalam forum ini memiliki kualitas kepribadian dan visi yang kuat, seperti amanah, bijaksana, berakhlak, dan visioner.

Hasan menegaskan bahwa kepemimpinan inklusif perlu ditopang dengan kolaborasi lintas iman dan antar-lembaga. Ia mencontohkan praktik kolaborasi yang telah dijalankan oleh Rumah Moderasi Beragama bersama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), yang menjadi contoh konkret dalam membangun jejaring untuk menciptakan ruang sosial yang damai dan terbuka. Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang kolaboratif ini sangat strategis dalam mewujudkan masyarakat yang lebih toleran dan adil.

Lebih lanjut, Hasan mengangkat isu keterlibatan perempuan dalam konteks ekstremisme. Ia mengutip hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di kalangan guru perempuan ternyata lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Temuan ini, menurutnya, menunjukkan bahwa perempuan berada dalam posisi yang rentan terhadap paparan ideologi kekerasan. Namun, di saat yang sama, mereka juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perdamaian yang aktif dan transformatif dalam masyarakat.

Dalam sesi diskusi kelompok, peserta diminta berbagi pandangan berdasarkan pengalaman pribadi terkait isu intoleransi dan radikalisme di Lamongan, serta peran dan strategi pemimpin perempuan Islam dalam menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif.

Diskusi menghasilkan temuan bahwa kasus intoleransi memang masih terjadi di Lamongan, seperti adanya pemaksaan ibadah di sekolah tanpa memperhatikan keberagaman keyakinan, serta isu pemakaman dan kurikulum pesantren yang eksklusif. Sehingga peran pemimpin perempuan Islam dianggap krusial dalam mewujudkan kolaborasi lintas iman dan generasi, perlindungan HAM, serta penguatan literasi digital inklusif.Sebagai langkah lanjut, peserta sepakat membentuk forum bersama bernama FORISDAMA (Forum Islam Damai Lamongan). Forum ini akan menjadi wadah kolaborasi dalam merespons isu intoleransi dan merancang kampanye bersama, termasuk melalui pelatihan jurnalisme damai yang akan melibatkan orang muda.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content