Diskriminasi Berlapis Perempuan Ahmadiyah

Loading

Penulis Muhammad Akbar Darojat Restu Putra 29 November 2024

Arrahim.id

Menjadi bagian dari kaum minoritas agama di Indonesia barangkali adalah hal yang menyedihkan bila bukan tragis. Tak seindah apa yang dikatakan banyak orang bahwa menjadi berbeda dari kebanyakan itu unik dan istimewa.

Kata-kata itu tentu saja nir-manfaat bagi mereka yang terlahir atau memilih memiliki pemahaman agama yang berbeda dari pemahaman mayoritas. Bukan hanya sederet stigmatisasi atau hinaan yang akan hinggap di pundak mereka, melainkan juga kekerasan dan diskriminasi yang akan sekonyong-konyong tiba dari kubu mayoritas.

Seperti yang dialami langsung oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Selama bertahun-tahun hidup di Indonesia, mereka hampir selalu memperoleh berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi dari kaum muslim mayoritas. Tindak tak manusiawi itu antara lain ialah pengrusakan tempat ibadah, pembakaran rumah, penganiayaan hingga pengusiran.

Banyak pihak menuding bahwa aksi intoleran yang selama ini menyelimuti mereka disebabkan oleh terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Ini bisa dilihat dari kondisi kehidupan beragama JAI yang setelah lebih dari satu dekade sejak diterbitkan SKB tersebut nyatanya tetap tak bebas dari intoleransi dan malah kian runyam. Seperti yang dicatat oleh Setara Institute bahwa sepanjang tahun 2007-2020 terdapat 570 kasus kekerasan yang dilakukan terhadap JAI. Setara Institute pun mencatat bahwa sepanjang tahun 2007-2018 terdapat 2.400 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan yang paling sering menjadi korban adalah JAI dengan 554 kasus.

Dalam konteks itulah, artikel ini berpretensi untuk menunjukkan bagaimana SKB tersebut mendorong pelanggaran kebebasan beragama terhadap JAI. Tak sebatas itu, artikel ini juga akan menunjukkan bagaimana perempuan JAI mengalami diskriminasi berlapis akibat tindakan intoleran yang bermuara pada SKB tersebut.

Pembatasan Aktifitas Kelompok JAI

Satu-satunya alasan yang mengakibatkan mengapa JAI dilarang untuk mendakwahkan ajarannya dan dibatasi berbagai aktivitasnya adalah karena ajarannya yang menisbatkan kenabian pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Alasan inilah yang selalu diumbar-umbar oleh MUI ketika terjadi kasus intoleransi terhadap JAI.

MUI mengklaim bahwa SKB tersebut tak perlu dicabut karena dapat melindungi aqidah kaum muslim. MUI menganggap bahwa bila SKB tersebut dicabut, maka akan terjadi penyesatan dan pemurtadan terhadap kaum muslim. Sehingga yang perlu dilakukan bukan malah mencabut SKB tersebut, melainkan justru memperketat pelaksanannya.

Di sini patut dipertanyakan apakah memang bila JAI melakukan aktivitas keagamaan lantas aqidah kaum muslim lainnya terganggu? Jawabannya tentu tidak karena itu sama dengan berpikir bahwa—misalnya—ibadah sholat 5 kali kaum muslim di NTT dapat mengganggu kepercayaan kaum mayoritas Kristen.

Walaupun kemudian dikatakan dalam SKB tersebut larangan untuk mengganggu kelompok JAI, namun klaim penyesatan itu secara tak langsung membikin banyak kaum muslim geram dan kemudian melakukan tindakan intoleran terhadap mereka. Apalagi bila klaim penyesatan itu keluar dari mulut tokoh agama atau ulama, maka kaum muslim cenderung menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah kebenaran.

Dengan klaim sesat pula dapat dikatakan bahwa SKB tersebut sebenarnya tak sepenuhnya mau menerima eksistensi JAI di Indonesia. Lebih jelasnya, pembatasan yang dilakukan dalam SKB 3 tersebut barangkali hendak merongrong JAI untuk beregenerasi. Dan bila tak ada regenerasi, maka JAI akan menjadi punah.

Diskriminasi Berlapis Perempuan Ahmadiyah

Tindakan intoleransi yang diakibatkan oleh adanya SKB tersebut menyisakan trauma yang mendalam bagi kelompok JAI, khususnya bagi kaum perempuan. Ini bisa dilihat pada kasus pengrusakan masjid Ahmadiyah di daerah Sintang, Kalimantan Barat, di mana perempuan cemas dan takut untuk keluar rumah pasca tragedi itu. Pasalnya, pelaku pengrusakan itu mengancam akan meratakan bangunan masjid itu bila pemerintah tidak menghancurkan tempat ibadah tersebut. Sebagaimana dituturkan oleh Imas Mansyuroh dikutip dari BBC News Indonesia:

Perempuan di sini ada yang masih trauma, mereka takut keluar rumah. Ada yang seharian tidak bisa bangun, gemetar, dan lemas. Tapi sebagian sudah tenang, tapi rasa takut masih ada.

Perasaan traumatis juga menghampiri perempuan JAI yang mengungsi di asrama Transito di Mataram, Lombok. Setelah diperkusi dan diusir dari tempat tinggal mereka, perasaan tenang tak juga datang di lubuk hati mereka ketika berada di tempat pengungsian. Ketika berbelanja di toko kelontong, misalnya, para penjual menolak karena mereka dianggap sesat. Sehingga, mereka harus pergi ke pasar atau toko swalayan untuk berbelanja.

Mereka juga sempat merasakan kesulitan memperoleh identitas kependudukan dan akses layanan publik. Dalam konteks ini, beberapa perempuan akhirnya terpaksa melahirkan anaknya di tempat pengungsian dan bukan di rumah sakit atau tempat yang memiliki fasilitas kesehatan yang memadai.

Dalam kehidupan sehari-sehari, berbeda dengan laki-laki, perempuan mengalami beban kerja ganda. Di satu sisi, mereka harus mengurus anak (dan juga suami). Di sisi lain, mereka harus membantu suami bekerja guna menopang perekomian keluarga. Karena bagaimanapun, mereka meninggalkan hampir seluruh harta benda mereka ketika mengungsi. Dan bantuan yang diberikan pemerintah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perempuan JAI menghadapi diskriminasi berlapis yakni, agama dan gender. Di satu sisi, mereka menanggung beban menjadi kaum minoritas beragama. Di sisi lain, mereka juga menanggung beban sebagai perempuan yang harus melakukan reproduksi sosial untuk menghidupi keluarganya. Tanpa mencabut SKB yang melahirkan tindakan intoleransi terhadap JAI tersebut, diskriminasi itu akan terus melapisi kehidupan mereka. [AA]

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content