Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
Sumber: Canva
Indonesia dewasa ini masih mengalami pemberitaan yang cenderung memecah belah dan minim keberpihakan pada korban menjadi tantangan serius di tengah derasnya arus informasi. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2021, 3.640 konten ujaran kebencian berbau SARA telah ditangani di ruang digital. Studi lain dari Ningrum, Suryadi, dan Chandra Wardhana (2018) mengungkapkan bahwa ujaran kebencian kategori penistaan agama paling banyak ditemukan di Facebook (25%), diikuti oleh penyebaran berita bohong (20%).
Hal inilah yang membawa PW Fatayat NU Jawa Timur untuk menyelenggarakan Pelatihan Jurnalistik Damai dengan tema Jurnalisme Inklusif untuk Kebangsaan dan Kesetaraan pada Juli 2024 lalu, yang berdampak positif pada pembangunan perspektif dan gaya penulisan para peserta dalam meliput berita. Pelatihan ini mendorong peserta untuk menyajikan berita yang lebih inklusif dan mengedepankan perdamaian.
Sebagai langkah keberlanjutan, Fatayat NU Jawa Timur kembali mengumpulkan 27 peserta dari Pelatihan Jurnalistik Damai untuk mempraktekkan ilmunya dalam bentuk karya Penulisan Jurnalistik Damai. Penulisan yang dilakukan oleh peserta dilaksanakan selama 12 hari mulai dari tanggal 22 September hingga 7 Oktober 2024. Peserta nantinya akan menghasilkan berupa 27 tulisan dalam bentuk depth news, esai, atau artikel yang membahas isu-isu toleransi, kesetaraan, inklusi sosial dan KBB. Tulisan-tulisan dari peserta diharapkan dapat dimuat di media daring terpercaya dan dapat memberikan warna berbeda dari berita mainstream yang hanya mengedepankan popularitas media.
Dari hasil review oleh Miftah Farid, jurnalis CNN Indonesia yang juga menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan pelatihan Jurnalisme Damai, terlihat adanya dinamika beragam dalam pemahaman dan penerapan prinsip jurnalisme inklusif. Beberapa tulisan cenderung bergaya seperti siaran kehumasan atau talking news, di mana informasi yang disampaikan hanya bersumber dari satu sisi tanpa verifikasi lapangan atau pendalaman terhadap pengalaman kelompok rentan yang menjadi fokus isu.
Masih tampak pula keterbatasan dalam menggali dimensi inklusif dari sebuah peristiwa. Beberapa tulisan menyentuh isu-isu besar seperti bencana, politik perempuan, atau keberagaman, namun kurang menggali suara dan pengalaman dari kelompok yang terdampak langsung, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, atau minoritas agama.
Selain itu, sebagian peserta tampaknya belum membedakan dengan jelas antara penulisan jurnalistik dengan esai opini. Sejumlah naskah justru lebih menyerupai refleksi pribadi atau tulisan teoritis, minim data lapangan, tanpa narasumber yang valid, dan cenderung mengandalkan pemikiran penulis karya. Format seperti ini membuat pesan yang ingin disampaikan kurang kuat secara jurnalisme.
Beberapa kendala lain yang mencuat adalah kurangnya kedalaman, konteks, dan teknik wawancara. Tulisan-tulisan dengan potensi tema yang kuat kerap gagal memberi narasi yang hidup, minim kutipan, dan kurang referensi pendukung. Di sisi lain, aspek teknis seperti judul yang terlalu panjang, serta kutipan narasumber yang lemah, menunjukkan perlunya penguatan kapasitas dalam penulisan dan peliputan.
Rangkaian dinamika ini mencerminkan bahwa meskipun semangat untuk mempraktikkan jurnalisme damai dan inklusif telah tertanam, penerjemahannya ke dalam bentuk tulisan masih memerlukan bimbingan lebih lanjut. Proses review menjadi ruang belajar bersama yang krusial untuk meningkatkan kualitas liputan yang tidak hanya adil dan empatik, tapi juga kuat secara jurnalistik.
Proses ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara teori jurnalisme damai yang telah dipelajari dan praktik lapangan dalam penulisan. Beberapa peserta tampak belum terbiasa melakukan verifikasi mendalam, menggali banyak narasumber, atau menghadirkan data pendukung. Sebagian lainnya masih terbawa gaya penulisan opini atau rilis, yang menghindari narasi kritis terhadap ketimpangan atau pelanggaran hak.
Tantangan lain muncul dari kurangnya keberanian atau akses peserta untuk menemui kelompok marginal secara langsung. Beberapa naskah yang membahas disabilitas, toleransi antarumat beragama, atau kekerasan terhadap perempuan hanya bertumpu pada kutipan umum atau hasil desk riset. Padahal esensi jurnalisme inklusif adalah hadir bersama mereka yang kerap tak terdengar suaranya.
Meski demikian, kegiatan ini membuka ruang belajar yang nyata bagi para jurnalis muda dan penggiat media untuk terus memperkuat kapasitas mereka. Melalui review yang kritis namun konstruktif, peserta dapat memperbaiki naskahnya atau mencoba pendekatan penulisan baru ke depannya.
Kegiatan tindak lanjut ini tidak hanya mendorong lahirnya konten media yang lebih berempati, tetapi juga membentuk jaringan kerja antar pelaku media yang bisa saling mendukung dalam membangun narasi damai. Jika proses seperti ini bisa berlanjut secara berkala, bukan tidak mungkin ruang digital Indonesia akan semakin kaya dengan konten yang menyejukkan, berkeadilan, dan memperkuat semangat kebangsaan.
Referensi
[1] Mega Purnamasari, Deti. (2021). Kompas.com: Sejak 2018, Kominfo Putus 3.640 Konten Ujaran Kebencian SARA. Diakses pada 28 Mei. https://nasional.kompas.com
/read/2021/04/27/11400241/sejak-2018-kominfo-putus-3640-konten-ujaran-kebencian-sara
[2] Ningrum, D. J., Suryadi, & Wardhana, D. E. (2018). Kajian Ujaran Kebencian di Media Sosial. Jurnal Ilmiah Korpus, 2(3), 241-252