Dari Lensa Gender, Bagaimana Kita Bisa Belajar Mencegah Ekstremisme Kekerasan?

Loading

Penulis: Gresy Kristriana

Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI

Gambar 1: Foto Bersama Training of Trainer Sekolah Inklusi Perempuan yang diselenggarakan oleh Fatayat NU Jawa Barat di Bandung pada 24-25 Agustus 2024
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jawa Barat

Bandung, 25 Agustus 2024 – Walau jumlah aksi teror telah menurun pada tahun 2024, namun dalam proses perekrutannya yaitu, kelompok radikal masih berjalan kuat. Berangkat dari tahun 2023, BNPT berhasil mengidentifikasi sebanyak 2.670 konten digital yang mengandung unsur intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Dalam konteks ini, pendekatan inklusi menjadi penting sebagai upaya pencegahan ekstremisme berbasis nilai keberagaman.

Sebagai bentuk respon terhadap tren isu tersebut, Fatayat NU Jawa Barat bersama INFID telah menyelenggarakan Training of Trainers (ToT) Sekolah Inklusi Perempuan sebagai ikhtiar untuk memperkuat pemahaman dan praktik prinsip GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) di tengah komunitas dan masyarakat. Pelatihan telah dilaksanakan pada 24-25 Agustus 2024 di Bandung, Jawa Barat. Kegiatan ini juga menjadi ruang konsolidasi tokoh-tokoh perempuan lintas agama untuk memperkuat peran mereka dalam mendorong masyarakat inklusif sejak dari lingkungan terdekat.

Dr. Antarini Arna, Senior Gender Advisor dari USAID (United States Agency for International Development), membuka kegiatan dengan pemaparan materinya untuk mengajak peserta memahami politik perempuan dan interseksionalitas. 

“Politik perempuan adalah politik harapan yang men-generate sejarah baru,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa inklusi sosial tidak mungkin tercapai tanpa kesadaran akan eksklusi yang terjadi karena identitas sosial. Dalam diskusi, para peserta merefleksikan pengalaman mereka, termasuk hambatan yang dihadapi kelompok seperti perempuan disabilitas, transpuan, atau masyarakat etnis minoritas untuk mengakses layanan dasar seperti BPJS atau KTP.

Konsep interseksionalitas menjadi kunci dalam memahami bahwa tidak semua perempuan atau kelompok minoritas menghadapi kesulitan yang sama. 

“Perempuan keturunan kiai dan berasal dari etnis dominan di Jawa Barat, misalnya, memiliki privilege yang tidak dimiliki oleh perempuan dari kelompok lain,” ungkap Antarini. 

Identitas sosial dapat membuat seseorang berada dalam posisi marginal atau justru memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya. Maka, Sekolah Inklusi Perempuan ini bukan hanya tentang pendidikan, tapi juga tentang kesadaran kolektif untuk melihat siapa yang tertinggal dan bagaimana mengajak mereka maju bersama.

Melihat Hubungan Gender dengan Ekstremisme Kekerasan

Antarini dalam temuannya mengungkapkan bahwa banyak orang masih menganggap bahwa isu gender tidak berkaitan dengan ekstremisme kekerasan, padahal keduanya saling beririsan. Ekstremisme kekerasan sendiri bukan semata-mata soal agama, tetapi soal ideologi ekstrem yang bisa bersumber dari keagamaan, sosial, politik, atau budaya. Misalnya, ideologi yang memuliakan satu ras atau menindas kelompok tertentu tanpa dasar agama pun termasuk dalam ekstremisme. Sayangnya, dalam konteks pembangunan perdamaian, gender dianggap tidak relevan oleh program yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan atau Preventing/Countering Violent Extremism (P/CVE). 

Banyak aktor perdamaian yang mengklaim mendukung kesetaraan gender namun menolak mengintegrasikannya ke dalam program P/CVE dengan alasan seperti, masyarakat yang masih tradisional atau karena fokus utama program adalah keamanan, bukan keadilan gender.

“Padahal ekstremisme kekerasan selama ini masih didominasi oleh perspektif maskulin, seolah-olah pelaku dan korban hanyalah laki-laki. Perempuan yang terlibat dalam jaringan teror atau menjadi korban seringkali tidak terlihat karena bias ini. Asumsi semacam ini membuat gender tidak masuk dalam analisis faktor pendorong (push) dan penarik (pull) yang membuat seseorang terpapar ekstremisme. Bahkan dalam sistem pemasyarakatan seperti lapas dan bapas, pendekatan yang digunakan seakan-akan netral gender, padahal pelaku teror di dalamnya juga memiliki dinamika berbasis gender. Mengintegrasikan perspektif gender dalam program P/CVE menjadi penting untuk mendekonstruksi narasi dominan yang bias, serta memastikan upaya pencegahan dan deradikalisasi lebih inklusif dan efektif.” ungkap Antarini.

Pengalaman Perempuan: Pola dan Tren Kaitannya dengan Ekstremisme Kekerasan

Pendekatan pencegahan ekstremisme kekerasan tak bisa dilepaskan dari pemahaman yang utuh mengenai faktor-faktor gender dan ketimpangan sosial. Penelitian UN Women tahun 2019 menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan politik dengan ekstremisme. Misalnya, mereka yang menyetujui kekerasan terhadap istri juga cenderung mendukung tindakan ekstremisme kekerasan.

Kemudian kekerasan berbasis gender (KBG) dan diskriminasi terhadap perempuan menjadi akar dari banyak kasus ekstremisme. Tidak sedikit perempuan yang tergabung dalam kelompok seperti ISIS karena melarikan diri dari kekerasan di rumah, atau karena mendapatkan janji akan pekerjaan dan pelatihan yang tak mereka temui di tempat tinggalnya. Narasi ini sering kali dibungkus dengan pendekatan agama dan maskulinitas yang menjanjikan “martabat” dan peran penting di dalam kelompok ekstrem.

Sayangnya, korban (baik perempuan maupun anak) kerap diabaikan dalam sistem perlindungan yang ada. Negara masih menerapkan paradigma keamanan berbasis ancaman (state security), yang lebih mengutamakan eks-narapidana teroris ketimbang korban langsung ekstremisme. Hal ini bertolak belakang dengan pendekatan keamanan insani (human security) yang menempatkan kebutuhan individu, baik pelaku maupun korban, dalam kerangka perlindungan yang setara mencakup hak atas pangan, keselamatan domestik, dan kesehatan mental.

Pendekatan ini juga menggarisbawahi pentingnya mendengarkan perspektif korban. Sebagai contoh, saat konflik di Aceh, laki-laki mendefinisikan keamanan sebagai tidak adanya perang. Namun, bagi perempuan, keamanan juga berarti ketersediaan pangan dan perlindungan dari kekerasan seksual. Ini menunjukkan bahwa rasa aman bersifat kontekstual dan dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Lebih lanjut, narasi superioritas maskulin juga digunakan dalam propaganda kelompok ekstrem. Misalnya, janji bahwa laki-laki yang bergabung akan mendapatkan “perempuan cantik” menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini menandakan bahwa narasi gender sangat kental dalam strategi rekrutmen kelompok ekstremis.

Bagaimana Kita Bisa Mencegah Ekstremisme Kekerasan?

Pencegahan kekerasan ekstremisme tidak bisa dipisahkan dari pendekatan pembangunan yang responsif gender. Antarini mengajak peserta untuk menggunakan beberapa pertanyaan dalam merespon lima domain utama yang perlu dianalisis:

  1. Hukum, Kebijakan, dan Praktik Institusi: Apakah hukum dan kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan bias gender? Apakah praktiknya justru mendiskriminasi kelompok tertentu meski niat awalnya baik?
  2. Peran dan Tanggung Jawab Gender: Bagaimana peran laki-laki, perempuan, dan kelompok rentan di tingkat keluarga hingga institusi? Apakah ada ketimpangan yang menghambat partisipasi mereka?
  3. Akses dan Kontrol atas Sumber Daya: Siapa yang memiliki, mengakses, dan mengendalikan sumber daya di komunitas? 
  4. Nilai Budaya, Pengetahuan, dan Kepercayaan: Apa norma tentang menjadi laki-laki/perempuan baik menurut komunitas? Ini penting untuk memahami keputusan hidup yang mereka ambil, seperti menjadi pekerja migran atau bergabung dengan kelompok ekstrem.
  5. Pola Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan: Siapa yang memutuskan apa di komunitas? Siapa yang punya kuasa dan bagaimana sumber daya kekuasaan digunakan?

Dalam proses pencegahan ini, Antarini menambahkan bahwa GEDSI perlu menjadi bagian dari program pencegahan ekstremisme. Hal ini dikarenakan selama masih ada ketimpangan gender, peminggiran disabilitas, dan marginalisasi kelompok minoritas, upaya pencegahan akan selalu timpang.

Sehingga pencegahan ekstremisme yang efektif tak hanya berbicara tentang ancaman kekerasan, tapi juga memperjuangkan keadilan dan inklusi sebagai strategi jangka panjang membangun ketahanan sosial lewat kebijakan-kebijakan yang memiliki keberpihakan kepada kelompok rentan dan kelompok minoritas.

Referensi

[1] Setiawan, M. Fikri. (2019) Antaranews: BNPT temukan 2.670 konten radikalisme dan terorisme sepanjang 2023. Diakses pada 27 Mei. https://www.antaranews.com/berita/3892506/bnpt-temukan-2670-konten-radikalisme-dan-terorisme-sepanjang-2023

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content