Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
Sumber: Arsip Dokumentasi Fatayat NU Jawa Timur
Surabaya, 12 Oktober 2024 – Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Timur kembali menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) Sekolah Inklusi Perempuan 2 di Hotel Bumi Surabaya yang berlangsung pada 11-12 Oktober 2024. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari pelaksanaan modul Sekolah Inklusi Perempuan yang telah dikembangkan bersama Konsorsium Program INKLUSI sejak tahun 2023. Program ini diarahkan untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan perempuan Fatayat dalam membangun masyarakat yang inklusif, toleran, dan terbebas dari kekerasan berbasis identitas, dengan menitikberatkan pada nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin–Islam yang membawa kasih sayang dan kebaikan bagi semesta alam.
Pelatihan telah diikuti oleh 30 peserta yang merupakan Ketua dan Pengurus Cabang Fatayat NU dari berbagai kabupaten dan kota di Jawa Timur. Mereka mengikuti rangkaian sesi yang dipandu oleh fasilitator Siti Hanifah dari Yayasan Bhakti Budi Pertiwi serta dua narasumber, yaitu Dr. Nabiela Naily dari UIN Sunan Ampel Surabaya dan Tedi Kholiludin dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ELSA. Para peserta tidak hanya mendapatkan materi secara konseptual, tetapi juga diajak melakukan praktik langsung untuk membaca dinamika komunitas secara lebih tajam dan empatik.
Salah satu pendekatan yang dikenalkan dalam pelatihan ini adalah Participatory Rural Appraisal (PRA), yaitu metode yang digunakan untuk menggali informasi dan kondisi sosial secara partisipatif bersama masyarakat. PRA memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan pengalaman, kebutuhan, dan potensi mereka sendiri.
Dalam pelatihan, peserta melakukan simulasi pemetaan sosial dan teknik fasilitasi yang mengedepankan kesetaraan, di mana kelompok marginal seperti perempuan, kelompok disabilitas, dan minoritas agama turut dilibatkan sebagai subjek pembangunan. Pendekatan ini terbukti membantu fasilitator lapangan mengenali struktur kekuasaan lokal, potensi konflik, serta jalur komunikasi yang efektif di komunitas.
Pelatihan juga memperdalam pemahaman peserta mengenai Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) dengan sudut pandang keislaman. Dalam sesi yang difasilitasi Dr. Nabiela Naily, peserta diajak menelusuri bagaimana Islam sesungguhnya mengajarkan keadilan sosial dan pengakuan terhadap keberagaman manusia. Diskusi membongkar bias yang selama ini mengakar di masyarakat, termasuk soal stereotip peran perempuan dan laki-laki, pemahaman keliru tentang disabilitas, serta minimnya akses kelompok rentan dalam ruang publik.
Dalam sesi ini, peserta juga diajak membedakan antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Pemahaman ini menjadi krusial untuk mencegah generalisasi serta penilaian moral yang kerap menstigma kelompok tertentu.
Sesi tersebut juga menampilkan berbagai contoh dari kehidupan sehari-hari yang menunjukkan bagaimana struktur sosial sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Mencakup soal ketimpangan peran domestik, pandangan bahwa laki-laki lebih utama sebagai pencari nafkah, dan absennya fasilitas ramah anak dan kelompok disabilitas dalam kegiatan organisasi keagamaan.
Pelatihan ini tidak hanya menghadirkan pengetahuan, tetapi juga membuka ruang refleksi pribadi yang mendalam. Salah satu peserta, Begum Fauziah, mengungkapkan kebimbangan awalnya dalam mengikuti pelatihan karena latar belakang pendidikannya yang lebih dekat pada ilmu pasti. Ia mengaku terbiasa berpikir dalam logika “satu tambah satu sama dengan dua” dan mengalami tantangan dalam memahami dinamika sosial yang tidak selalu linier. Namun dalam proses pelatihan, ia menyadari bahwa kompleksitas persoalan sosial tidak dapat disederhanakan, dan justru membutuhkan pendekatan yang lebih empatik dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang.
Refleksi tersebut menjadi titik balik yang mendorong lahirnya berbagai rencana tindak lanjut di tingkat lokal. Beberapa di antaranya adalah komitmen untuk menyelenggarakan diseminasi materi di tingkat cabang, merekomendasikan untuk memasukkan tema kesetaraan gender dan toleransi dalam khutbah Jumat, serta memperjuangkan ketersediaan fasilitas ramah anak dan disabilitas dalam kegiatan organisasi.
Dalam sesi penutup, fasilitator Siti Hanifah menyampaikan “Jangan pernah membuat pasangan atau rekan kerja kita menjadi disabilitas, karena kita merasa harus mengerjakan semuanya sendiri. Berbagilah peran, dan berdayakan satu sama lain.” Ucapan ini disambut dengan tepuk tangan dan menjadi penanda bahwa pelatihan telah diselesaikan.
Sekolah Inklusi Perempuan bukan sekadar pelatihan dua hari. Pelatihan ini merupakan bagian dari strategi penguatan akar rumput dalam mendorong lahirnya masyarakat yang adil dan setara, khususnya bagi kelompok perempuan. Melalui modul yang dirancang secara kontekstual dan berbasis pengalaman komunitas, para pemimpin perempuan NU kini memiliki bekal untuk memperluas jangkauan kerja-kerja inklusif. Dalam konteks sosial-politik yang masih menyisakan banyak praktik diskriminatif, kegiatan Sekolah Inklusi Perempuan seperti ini menunjukkan bahwa perubahan dapat dimulai dari ruang-ruang kecil yang saling terhubung. Ketika kesadaran kolektif tumbuh dan diperkuat melalui kepemimpinan perempuan, maka nilai-nilai Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin bisa benar-benar dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, dan bisa dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali.