Penulis Luthfi Maulana Adhari 10 Januari 2025
“Sawit itu pohon, ada daunnya, menyerap karbon dioksida.” Di balik klaim ini, terdapat deforestasi yang masif, eksploitasi buruh—khususnya perempuan, dan marginalisasi masyarakat adat yang tak pernah diumbar penguasa dalam pidato-pidato publik.

“Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit, ya, pohon, ya, kan? Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya, kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu.”
Ucapan tersebut keluar dari mulut Presiden Prabowo Subianto dalam pengarahan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta pada Senin (30/12). Prabowo menekankan pentingnya kelapa sawit sebagai komoditas strategis sekaligus membantah tuduhan bahwa perkebunan sawit adalah penyebab deforestasi.
Sektor kelapa sawit yang selalu digembar-gemborkan sebagai pilar ekonomi Indonesia menyimpan kenyataan pahit. Narasi keberhasilan sebagai produsen utama minyak sawit mentah (CPO) dunia sejak 2007 menutupi kisah eksploitasi buruh, terutama buruh perempuan di perkebunan sawit.
Amalya Reza Oktaviani dari Trend Asia mengungkapkan, rencana pemerintah memperluas lahan hingga 20 juta hektare kemungkinan besar melibatkan sawit, jauh melebihi alokasi 12,8 juta hektare dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021. Menurutnya, pembukaan 4,5 juta hektare hutan saja sudah bisa melepaskan 2,59 miliar ton emisi karbon.
“Ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap reforestasi. Dalam krisis iklim, kita tidak bisa terus melakukan deforestasi. Sebelum bicara perluasan sawit, tata batas dan tata kelola hutan harus dibereskan dulu,” tegas Amalya dalam rilis pers Trend Asia.
Dalam konteks yang lebih luas, argumen Prabowo tentang sawit sebagai solusi yang “hijau” menjadi tidak relevan ketika diperhadapkan dengan fakta bahwa perluasan sawit berkontribusi pada hilangnya hutan alam. Selain itu, masalah eksploitasi buruh di sektor ini semakin memperkuat narasi bahwa manfaat ekonomi sawit sering kali tidak sebanding dengan dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya.
Terlebih perempuan menjadi tenaga kerja yang sering kali tidak terlihat dalam statistik, tetapi menjadi bagian integral dari sistem kapitalisme sawit. Perluasan lahan untuk perkebunan ini, jika tidak disertai dengan reformasi tata kelola hutan dan perlindungan buruh, hanya akan memperburuk deforestasi dan krisis sosial di Indonesia.
Sejarah tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit sendiri dimulai sejak kolonial Belanda membuka perkebunan di Sumatra pada 1911. Pada masa itu, para buruh yang disebut “kuli” berasal dari Jawa, Penang, dan Cina. Sistem kuli, yang awalnya berbasis kerja kontrak, mulai dihapus pada tahun 1910 dan digantikan oleh sistem tenaga kerja bebas. Namun, tenaga kerja bebas ini tetap dibangun di atas fondasi eksploitasi dengan sistem “family formation,” yakni buruh diperbolehkan membawa keluarganya ke perkebunan, tetapi dengan beban kerja tambahan bagi perempuan sebagai pekerja informal dan domestik.
Perempuan sering direkrut sebagai buruh murah karena dianggap “lemah lembut” dan “penurut.” Peran mereka tidak hanya sebagai buruh produktif di lapangan, tetapi juga sebagai pengasuh dan penjaga rumah tangga. Proses ini melanggengkan subordinasi perempuan dengan membentuk perempuan menjadi tenaga kerja yang disiplin dan murah melalui kerja formal maupun informal. Hariati Sinaga, peneliti yang lama melakukan riset perburuhan sawit menyebut buruh perempuan sawit sebagai “buruh siluman” karena kontribusi mereka sering kali tidak terlihat secara statistik dan tidak diakui dalam struktur formal.
Hariati dalam penelitiannya yang berjudul Buruh Siluman: The Making and Maintaining of Cheap and Disciplined Labour on Oil Palm Plantations in Indonesia memaparkan bahwa buruh perempuan di perkebunan sawit sering kali menjadi korban eksploitasi sistemik. Posisi mereka yang marginal dan tidak tercatat secara formal memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan tenaga mereka dengan upah yang sangat rendah. Hal ini tidak terlepas dari warisan kolonial yang sejak awal menciptakan sistem kerja berbasis subordinasi dan eksploitasi terhadap perempuan.
Bukti Sesat Pikir Prabowo dan Janji Sawit yang Selalu Pahit
Kisah Roaini, seorang buruh perempuan di Sumatera Selatan, adalah salah satu contoh nyata argumentasi Prabowo “Sawit sama-sama pohon, ada daunnya, kan?,” adalah kesesatan berpikir. Siti pernah memiliki sebidang tanah yang ia gunakan untuk bercocok tanam. Bersama tetangganya, ia menanam kopi, karet, padi, dan berbagai tanaman lainnya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, segalanya berubah ketika perusahaan sawit datang ke desanya membawa janji kehidupan yang lebih sejahtera.
Perusahaan menawarkan harga murah untuk tanahnya, hanya lima juta rupiah per hektar, dengan iming-iming lapangan kerja di perkebunan. Dengan harapan hidup yang lebih baik, Roaini menyerahkan tanahnya. Namun, kenyataan pahit menyusul. Ia tidak dipekerjakan langsung oleh perusahaan, melainkan melalui pihak ketiga (outsourcing) yang membayar upah rendah tanpa jaminan perlindungan.
Dengan status ini, Roaini harus bekerja di bawah tekanan target yang tinggi, tanpa alat pelindung diri, dan sering kali menghadapi ancaman pemutusan kerja. Setiap hari, ia harus menyemprot empat hektare kebun atau memupuk hingga lima ratus kilogram pupuk.
“Kalau kita tidak capai target, kita kena teguran,” keluh Roaini dalam diskusi tematik ‘Perempuan di Sekitar Perkebunan Sawit’, (16/6/2023) yang dipublikasi Konde.co.
Setali tiga uang dengan Roaini, Mirna (bukan nama sebenarnya), buruh sawit di Jambi, nyaris kehilangan penglihatannya akibat percikan pestisida yang mengenai matanya. Suatu hari, ia lupa memperhatikan arah angin saat menyemprot, dan cairan kimia berbahaya masuk ke matanya.
“Langsung masuk mata percikan air pestisida di tangki semprot. Cepat sekali kejadiannya, dan mata langsung merah dan pedih,” kenangnya dalam publikasi Konde.co.
Mirna mencoba mengobati sendiri dengan obat tetes mata, tetapi kondisi matanya semakin parah hingga ia harus pergi ke rumah sakit. Sayangnya, seluruh biaya pengobatan, yang mencapai Rp1,7 juta, harus ditanggung sendiri karena perusahaan tidak menyediakan jaminan kesehatan.
Mirna terpaksa bolak-balik selama lima jam perjalanan ke rumah sakit terdekat hanya untuk mempertahankan penglihatannya. Meskipun matanya belum sepenuhnya pulih, ia harus kembali bekerja untuk menghidupi keluarganya.
Kisah serupa dialami oleh Aisyah (bukan nama sebenarnya), buruh sawit lainnya di Jambi yang sudah bekerja selama lebih dari sewindu. Setiap hari, ia membawa tangki berisi 18 liter pestisida yang diikatkan di punggungnya. Beban fisik yang berat ini menyebabkan sakit punggung yang kronis, tetapi ia tidak punya pilihan selain terus bekerja. Aisyah mengungkapkan bahwa perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, atau sepatu bot. Semua peralatan tersebut harus dibeli sendiri oleh para buruh. “Kalau tidak pakai sarung tangan, tangan ini langsung gatal dan kemerahan. Tapi siapa yang peduli? Perusahaan hanya peduli kita kerja atau tidak,” katanya dengan getir sebagaimana terdokumentasi dalam artikel Konde.co.
Siti (bukan nama sebenarnya), seorang buruh perempuan lainnya, tinggal di sebuah barak berdinding kayu bersama keluarganya. Barak tersebut tidak memiliki kamar mandi atau fasilitas air bersih. Setiap pagi, ia harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk mengantar anak-anaknya ke sekolah sebelum mulai bekerja di perkebunan. Siti hanya bekerja selama 14 hingga 17 hari setiap bulan, dengan upah harian sebesar Rp 96 ribu. Upah ini sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama karena tidak ada tunjangan tambahan seperti asuransi kesehatan atau cuti.
Ketidakpastian juga terjadi pada status kerja para buruh perempuan. Sebagian besar dari mereka berstatus buruh harian lepas (BHL), meskipun pekerjaan mereka bersifat terus-menerus. Status ini membuat mereka tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti BPJS atau perlindungan ketenagakerjaan. Bahkan, banyak dari mereka tidak memahami hak-hak yang seharusnya mereka miliki karena kurangnya pendidikan dan informasi
Krisis Hak Adat di Tengah Ambisi Proyek Strategis Nasional
Di samping pembukaan lahan 2 juta hektare untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) cetak sawah, jutaan hektare hutan di Tanah Papua telah disulap menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit. Menurut catatan Pusaka Bentala Rakyat, pada 2019 pemerintah telah menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada 58 perusahaan sawit di Papua dengan luas total 1,57 juta hektare, setara dengan 23 kali daratan DKI Jakarta. Namun, hanya 169.152 hektare (sekitar 10%) yang benar-benar dikembangkan
Menurut Wiko Saputra, ekonom dan salah satu penulis laporan berjudul “Investasi Bodong: Mengungkap Beban dan Manfaat dari Investasi Sawit di Tanah Papua” banyak perusahaan memanfaatkan lahan ini untuk praktik land banking. Area ini dibiarkan telantar, kayu hutan ditebang untuk keuntungan jangka pendek, dan izin hak guna usaha (HGU) sering digunakan sebagai agunan bank.
“Perusahaan membabat hutan atas nama izin sawit, kayunya diambil, lantas lahannya ditelantarkan,” ungkap Wiko pada peluncuran laporan tersebut yang disiarkan Bentala Rakyat pada Agustus 2024.
Contoh nyata praktik ini terlihat pada PT Henrison Inti Persada (HIP), yang mengantongi izin atas 32.546 hektare lahan di Kabupaten Sorong, Papua Barat, tetapi hanya menanam sawit di 13.457 hektare (41,3%). Pola serupa juga ditemukan di perusahaan lain seperti PT Inti Kebun Lestari dan PT Papua Lestari Abadi, yang memiliki izin besar tetapi belum mengelola lahan mereka
Hutan-hutan yang dibebani izin perusahaan ini adalah wilayah kelola masyarakat adat selama ratusan tahun. Papua bukanlah tanah kosong, tetapi tanah adat yang kaya akan nilai budaya dan ekologis. Praktik land banking oleh perusahaan tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga menciptakan ketegangan dengan masyarakat adat yang dilarang berburu, meramu, atau mengelola tanah adat mereka sendiri.
Masyarakat adat yang kehilangan akses ke hutan juga menghadapi ancaman kemiskinan, gizi buruk, dan bencana ekologi seperti banjir akibat penggundulan hutan.
Urgensi RUU Masyarakat Adat dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Laporan Yayasan Pusaka menemukan bahwa investasi sawit di Papua membawa manfaat ekonomi sebesar Rp 17,64 triliun, tetapi kerugian ekonomi lingkungannya jauh lebih besar, mencapai Rp 96,63 triliun. Dampak ini meliputi hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal, kerusakan ekosistem, dan peningkatan risiko bencana ekologis.
Ironisnya, dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, pola yang sama terlihat jelas. Pemerintah mempromosikan proyek dengan skala besar, seperti pengembangan sawah baru dan perkebunan tebu, tanpa transparansi atau konsultasi dengan masyarakat adat. Selain itu, wilayah yang digunakan berada di kawasan hutan dan daerah moratorium izin baru (PIPIB), yang semestinya dilindungi
RUU Masyarakat Adat, yang terhambat pengesahannya hingga kini, menjadi kunci untuk melindungi hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka. Prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) harus ditegakkan dalam setiap proyek pembangunan. Namun kenyataannya, banyak proyek seperti PSN Merauke berjalan tanpa kajian sosial atau lingkungan yang memadai, mengabaikan hak masyarakat adat, dan melanggar konstitusi.
Proyek Strategis Nasional di Merauke mencerminkan kegagalan struktural dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Praktik land banking, eksploitasi sumber daya tanpa batas, dan marginalisasi masyarakat adat menunjukkan bahwa proyek ini lebih berpihak pada korporasi daripada masyarakat lokal. Dalam konteks ini, mendesak pemerintah untuk menghentikan PSN Merauke dan mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah mendesak untuk mencegah krisis yang lebih besar di tanah Papua.
Narasi sawit sebagai penyelamat ekonomi dan lingkungan hanyalah ilusi yang menyembunyikan kenyataan gelap. Krisis ekologis akibat deforestasi, pelanggaran hak buruh yang sistemik, hingga kehilangan hak adat menunjukkan bahwa proyek sawit bukanlah cerita sukses yang patut dirayakan, melainkan bukti dari kegagalan kebijakan pembangunan yang berpihak pada korporasi alih-alih rakyat.
Apabila pemerintah terus bertahan dalam sesat pikir ini, masa depan Indonesia hanya akan dipenuhi hutan yang hilang, masyarakat adat yang dirugikan, dan warisan sosial-ekologis yang rusak. Saatnya bagi pemerintah untuk menghentikan sesat pikir ini dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat, kelestarian lingkungan, serta penghormatan terhadap hak-hak adat.