Penulis: Gresy Kristriana
Editor: Naztia Haryanti, Consultant for Campaign INKLUSI
–
Sumber: Arsip Dokumentasi MAARIF Institute
Denpasar, 18 September 2024 – MAARIF Institut setelah berhasil menyelesaikan dan menyempurnakan modul Non-Violent Communication (NVC): Penguatan Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Aktivis Muda Linta Agama. Dari modul tersebut, telah diinisiasi pelatihan oleh MAARIF Institute bersama Konsorsium Program INKLUSI sebagai rangkaian seri pelatihan NVC di tiga kota, yaitu Bali, Manado dan Kupang.
Pelatihan pertama diadakan di Denpasar, Bali yang diikuti oleh 23 orang muda dari berbagai organisasi keagamaan dan budaya, mulai Karang Taruna Loloan, Pemuda Panca Marga, Nahdlatul Ulama, Hidayatullah, Muhammadiyah, Banser, pemerintah kecamatan, komunitas Kristen dan Buddha, Pasikian Yowana MDA, Majelis Desa Adat, tokoh masyarakat, Dewan Masjid, serta kalangan sejarawan. Bertempat di HARRIS Hotel & Conventions, pelatihan ini menjadi upaya memperkuat nilai inklusi sosial-keagamaan bagi orang muda lintas iman dan latar belakang.
Pelatihan ini dilaksanakan sebagai respons atas meningkatnya tantangan keberagaman di masyarakat. Melalui pendekatan pendidikan yang memadukan refleksi personal dan dinamika kelompok, peserta diajak memikirkan kembali tentang memahami diri sendiri, orang lain, dan dunia. Prof. Dr. Muqowim bersama Lutfi Latifah memfasilitasi sesi-sesi pelatihan, mulai dari eksplorasi nilai pribadi, resolusi konflik hingga korelasinya dengan NVC.
Sebagai gambaran, Non-Violent Communication (NVC) adalah pendekatan dalam berkomunikasi yang berakar pada prinsip menghindari kekerasan, baik dalam ucapan maupun tindakan. Metode ini dikembangkan oleh Marshall Rosenberg, seorang psikolog klinis, pada era 1960 hingga 1970-an. Rosenberg meyakini bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasar yang serupa. Menurutnya, konflik seringkali muncul bukan disebabkan oleh perbedaan kebutuhan, melainkan perbedaan strategi yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Kembali pada pelatihan di Bali, sesi-sesi pelatihan dirancang untuk menciptakan suasana yang inklusif, terbuka, dan setara. Termasuk duduk dalam lingkaran untuk menandai kesetaraan dan keterbukaan. Di hari pertama, sesi perkenalan dibuka dengan refleksi tentang nilai yang terkandung dalam nama masing-masing peserta. Peserta diajak mengenali apa yang menjadi akar dalam hidup mereka lewat aktivitas “Pohon Kehidupan.” Dalam sesi ini, peserta menggambarkan pohon masing-masing yang mencerminkan nilai, pengalaman, dan peran sosial yang mereka jalani.
Pada sesi lainnya, peserta dilatih untuk menyusun strategi membangun masyarakat yang inklusif. Mereka memetakan tantangan yang dihadapi di lingkungan masing-masing, lalu menyusun ide-ide dan inisiatif yang bisa dilakukan setelah pelatihan. Dari pertemuan ini, lahir komitmen kecil namun penting untuk menyebarkan nilai inklusi dengan mempraktikkan komunikasi yang lebih terbuka di komunitas, mengajak diskusi lintas kelompok, dan menjadi penghubung ketika muncul ketegangan sosial.
Proses yang terjadi dalam pelatihan ini berjalan dinamis. Beberapa peserta mengakui bahwa masih ada kegelisahan atau ragu-ragu saat berdiskusi dengan kelompok yang secara pandangan keagamaan berbeda jauh. Namun, lewat proses yang penuh empati dan pendekatan komunikasi yang tidak menghakimi, dinamika itu justru menjadi ruang belajar bersama bagi para peserta untuk mendengarkan dan memahami berbagai sudut pandang.
Tak luput dari tantangan, beberapa peserta pelatihan mengungkapkan bahwa sebagian masyarakat masih belum sepenuhnya terbuka terhadap perbedaan di Bali, terutama terhadap kelompok di luar agama mayoritas. Bahkan dalam beberapa kegiatan bertema inklusi sosial, pendekatannya masih dominan pada kepentingan kelompok mayoritas, sehingga berpengaruh pada bentuk kebijakan dan pola komunikasi yang terbangun di masyarakat Bali. Tantangan ini menunjukkan bahwa upaya mendorong nilai-nilai inklusi tak cukup hanya dengan penyuluhan atau acara seremonial. Perlu ada kesadaran yang lebih dalam dari masyarakat untuk memandang keberagaman sebagai sesuatu yang wajar dan setara.
Sebagai langkah strategis, para peserta diajak untuk mengambil peran krusial dengan menghidupkan nilai-nilai inklusi lewat berbagai cara. Pendampingan, pelatihan, dan ruang refleksi dapat menjadi media untuk menumbuhkan perspektif yang lebih terbuka terhadap keberagaman. Selain itu peserta diharapkan mampu mempraktikkan nilai-nilai ini dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan masyarakat, misalnya melalui kegiatan lintas kelompok yang memberi ruang setara bagi semua pihak. Dengan cara ini, inklusi sosial keagamaan bisa tumbuh lebih alami dan kontekstual, sesuai dengan dinamika lokal masing-masing.
Dari pelatihan ini, NVC bukan hanya metode komunikasi, melainkan juga cara merawat relasi. NVC menjadi jembatan yang menghubungkan kelompok-kelompok yang selama ini terpisah oleh stigma, keyakinan, atau sekadar ketidaktahuan. Dalam konteks sosial seperti di Bali, NVC berpotensial menjadi penghubung dengan tradisi lokal yang lekat.
Kegiatan pelatihan NVC ini merupakan bagian dari aktivitas Program INKLUSI yang digagas oleh konsorsium lembaga masyarakat sipil yang bertujuan untuk pemberdayaan kepemimpinan dalam memperkuat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan menjadikan masyarakat lebih tangguh di sektor strategis.