oleh : Ryan Richard Rihi
editor : Syafira Khairani, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID
Di Indonesia, persoalan intoleransi, ekstremisme, radikalisme, hingga politik identitas berbasis agama masih belum usai. Dalam situasi semacam ini, posisi media sangat strategis, sebab dapat menjadi corong disalurkannya kontra narasi terhadap praktik-praktik tersebut di atas, serta untuk promosi nilai-nilai pluralisme agama, toleransi, rekognisi pada minoritas, dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kondisi ini mendorong MediaLink menggelar focus group discussion (FGD) di Hotel Teraskita, Cawang, Jakarta, pada Selasa, 17 Januari 2023. Dihadiri oleh 15 peserta yang terdiri dari 9 laki-laki dan 6 perempuan, FGD ini merupakan bagian dari persiapan riset media monitoring pada klaster isu kebebasan beragama.
Media monitoring ini akan menjadi ajang penting dalam rangka memetakan sejauh mana pemberitaan media online terkait isu kebebasan beragama, melakukan profiling media berdasarkan frekuensi pemberitaan dan isu yang banyak diangkat, serta melakukan pengawasan terhadap komitmen media pada isu kebebasan beragama.
Diskusi ini dibuka dengan paparan yang disampaikan oleh Ahmad Faisol, Direktur Eksekutif MediaLink. Ahmad menyampaikan penjelasan terkait desain riset yang telah disusun. Menurut paparannya tersebut, riset ini hanya berfokus pada media-media online yang terdaftar dan terverifikasi di Dewan Pers.
“Hal ini bertujuan, selain untuk menyeleksi media-media yang menjalankan prinsip kode etik dan jurnalisme, langkah ini juga sebagai upaya MediaLink untuk menyadarkan betapa pentingnya media-media itu tergabung dengan institusi yang valid dan kompatibel di bidangnya,” jelas Ahmad.
Beberapa kata kunci yang digunakan untuk monitoring pemberitaan oleh media ini antara lain terorisme, pelarangan tempat/kegiatan ibadah, moderasi keberagamaan, pluralisme/keberagaman agama, radikalisme, toleransi/intoleransi, kekerasan atas nama agama, kebebasan beragama, dan lain-lain.
Terkait dengan kata kunci ini, berdasarkan monitoring yang dilakukan, berhasil ditemukan 775 berita di sepanjang tahun 2022 yang memuat kata kunci dimaksud. Selanjutnya, terhadap berita-berita yang terkumpul ini, akan dilakukan analisis isi (content analysis) pemberitaan.
Setelah Ahmad Faisol menyampaikan paparannya, sesi dilanjutkan dengan diskusi bersama seluruh peserta yang hadir.
Dalam diskusi, Ir. Hamli menyetujui pembatasan penelitian hanya pada media yang terverifikasi dan terdaftar di Dewan Pers. Di sisi lain, beliau menyarankan untuk mengganti kata kunci “pluralisme” dengan istilah yang lebih netral seperti “keragaman”. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari bias identitas.
Setali tiga uang dengan pendapat sebelumnya, Gus Najih juga menilai diksi “pluralisme” punya potensi resistansi kuat karena dianggap membenarkan semua agama. Disisi lain, beliau turut mengapresiasi penelitian ini dan mengusulkan agar hasilnya dapat disebarluaskan, termasuk kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Terkait inklusi dan kesetaraan gender, AD Eridani, Program Manager for Membership & Partnership INFID mengusulkan untuk memasukkan isu perempuan. Di sisi lain, M. Subhi dari Yayasan Inklusif menambahkan perlunya membuat analisis tren pemberitaan agar media punya alat untuk melakukan perubahan ke arah pemberitaan yang lebih positif.
Usul ini juga ditambah Subhi dengan saran untuk memperbanyak kata kunci positif sehingga memunculkan wacana positif di media. Selain itu, MediaLink didorongnya untuk membangun konsolidasi dengan para wartawan yang mendukung toleransi.
“Medialink dapat melakukan liputan pada peristiwa, tujuannya untuk mendekati teman-teman yang melakukan liputan untuk membangun kelompok-kelompok wartawan yang memiliki cara pandang mendukung toleransi dan memperkuat toleransi serta dapat membuat event yang informal,” usul Subhi.
Peserta lainnya, Priharsa Nugraha, mengusulkan perlunya memberikan edukasi bagi wartawan dan jurnalis. Hal ini demi membekali para wartawan dan jurnalis dengan informasi dan pengetahuan dasar terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan serta inklusivitas yang mereka butuhkan sebelum melakukan pemberitaan.
“Mengedukasi wartawan dan editor terkait isu positif perlu simultan dengan asupan informasi yang berkaitan dengan isu tersebut, jangan sampai dibutuhkan usaha yang lebih besar bagi media untuk memuat berita positif dibanding berita yang negatif,” ujar Priharsa.
Senada dengan usul Priharsa tersebut, Ahmad Faisol menegaskan perlunya kelas editor dan jurnalis agar tidak salah memahami isu. Hal ini juga agar editor dan jurnalis mau dan mampu menulis sesuai kode etik jurnalistik.
“Mengedukasi media untuk memenuhi pedoman pemberitaan AMSI dan Dewan Pers yang mewajibkan hak koreksi sangat penting,” pungkas Ahmad.
FGD ini adalah bagian dari implementasi program INKLUSI, sebuah inisiatif pemberdayaan kepemimpinan untuk memperkuat kebebasan beragama dan berkeyakinan dan resiliensi masyarakat di sektor kunci strategis.
Kegiatan yang melibatkan diskusi mendalam dan masukan dari berbagai pihak ini diharapkan dapat menghasilkan desain riset media monitoring yang komprehensif dan inklusif dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis di tengah keberagaman di Indonesia. Hasil dari riset media monitoring diharapkan dapat menjadi dasar masukan bagi serta untuk mendorong komitmen media pada isu-isu kebebasan beragama.